AH! BRONDONGKU SAYANG

AH! BRONDONGKU SAYANG

last updateLast Updated : 2025-11-19
By:  Kim Hwang RaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
5Chapters
18views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Lima tahun menikah, Alia terjebak dalam rumah tangga yang terasa seperti penjara—suami yang dingin, kata-kata yang menyakitkan, dan mertua yang menuntut cucu seolah hidup Alia hanya berharga jika ia bisa memberi keturunan. Hingga suatu malam sebuah kecelakaan kecil mempertemukannya dengan Arhan, seorang mahasiswa yang tanpa sengaja melihat bagaimana suami Alia merendahkan harga dirinya di depan umum meski berbisik. “Udah mandul, masih nyusahin.” Satu kalimat itu mengubah segalanya. Bukan hanya bagi Alia-tapi juga bagi Arhan Ketika perhatian kecil berubah menjadi kedekatan, dan kedekatan berubah menjadi kebutuhan… muncul fakta yang selama ini dikubur: Alia bukanlah pihak yang mandul. Rahasia itu menjadi pintu ke hubungan terlarang yang tak pernah mereka bayangkan. Yang bisa memberi Alia sesuatu yang tak akan pernah ia dapatkan dari suaminya. Namun setiap pilihan memiliki konsekuensi. Dan di antara rasa bersalah, hasrat, dan luka yang lama terpendam, Alia harus memilih: menyelamatkan dirinya… atau mempertahankan pernikahan yang sejak awal tak pernah memihaknya.

View More

Chapter 1

Bab 1 : Arti keluarga

Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”

Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.

Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.

Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.

“Selamat ya, Alia!”

“Cantik banget hari ini!”

Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.

Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.

Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka cepat, langkah sepatu berderap. Rendra masuk tanpa menatapnya. “Kamu belum tidur?” tanyanya datar, sambil melepas jas kerja.

“Belum,” jawab Alia pelan. “Aku baru selesai makan.”

“Kamu makan duluan?”

“Kamu pulangnya terlalu malam.”

Rendra mendengus pelan. “Tapi bukan berarti kamu nggak bisa nunggu suamimu. Istri yang baik biasanya nyambut suaminya pulang, bukan makan sendirian kayak gini.”

Alia menatap piring kosongnya.

“Aku cuma ... sedikit kecewa. Hari ini aku wisuda, Ren. Kamu nggak datang, bahkan nggak ngabarin.”

Rendra menghela napas panjang, seperti sedang berbicara pada anak kecil yang keras kepala. “Aku kerja, Alia. Ada rapat penting. Masa kamu nggak ngerti juga sih?”

“Tapi kamu bisa kirim pesan. Atau sekadar ‘selamat’. Itu juga nggak sempat?”

“Udah, jangan mulai drama lagi malam-malam.”

Sebelum Alia sempat menjawab, suara kunci pintu lain terdengar. Ibu Rendra masuk, membawa tas belanja dan wajah lelah tapi tajam.

“Ada apa ini ribut-ribut malam-malam?” tanyanya curiga.

“Alia ngambek cuma karena aku nggak datang ke wisudanya,” jawab Rendra sambil melempar jas ke kursi.

Ibu mertuanya mendecak. “Alia, kamu ini udah nikah hampir dua tahun, tapi masih aja manja. Hidup itu nggak selalu soal kamu. Rendra kerja buat masa depan kalian, bukan buat main datang ke acara seremonial begitu.”

Alia menggenggam ujung bajunya. Matanya mulai panas, tapi ia berusaha bicara tenang. “Bu, aku nggak minta banyak. aku cuma pengin dihargai. Selama ini aku diam, aku ikut semua aturan di rumah ini. aku belajar masak, belajar ngomong sopan, belajar sabar waktu dimarahi tanpa alasan. Tapi kalau aku cuma dianggap salah terus, buat apa aku bertahan?”

“Kamu mulai melawan sekarang?” suara ibu Rendra meninggi.

“Dari dulu kamu terlalu banyak menuntut. Coba jadi istri yang tahu diri sedikit, Rendra juga pasti lebih sayang.”

“Sayang?” Alia tertawa kecil, tapi suaranya pecah di tengah. “Kami bahkan nggak pernah tidur di kamar yang sama, Bu. Dua tahun, aku pura-pura bahagia di depan orang-orang, supaya nama Rendra tetap bagus di mata rekan kerjanya. Tapi di rumah ini, aku cuma penghuni yang nggak dianggap.”

Hening. Bahkan jam dinding pun terdengar terlalu keras.

Rendra menatapnya tajam. “Kamu ngomong apa sih? Jangan bikin malu!”

Alia menatap suaminya, mata yang dulu ia kira tempat pulang, kini terasa asing. “Aku udah cukup malu selama dua tahun, Ren. Tapi kali ini, biar kamu aja yang ngerasain.”

Ia berdiri, melepas cincin di jari dan meletakkannya di meja makan, di samping piring yang tak sempat disentuh Rendra.

“Aku cuma pengin tenang. Itu aja.”

Malam itu, langkah Alia menuju kamarnya terasa pelan, seolah setiap langkahnya adalah serpihan keberanian yang baru ia temukan.

******

Pagi itu meja makan tampak sunyi.

Biasanya suara ibu Rendra sudah terdengar dari dapur. Mengomel tentang hal-hal kecil yang dilakukan Alia: kadang nasi yang terlalu lembek, kadang teh yang kurang manis, kadang hanya karena Alia menaruh sendok di sisi yang salah.

Tapi kali ini, tak ada Alia di dapur. Tak ada aroma kopi yang baru diseduh. Dan tak ada suara lembut memanggil, “Bu, ayo sarapan dulu, nanti keburu dingin.”

Ibu Rendra melangkah ke meja makan, mendapati dua piring dan dua gelas sudah tersaji rapi. Namun uapnya sudah tak ada—semuanya dingin. “Alia ini kemana pagi-pagi? Tumben nggak bangunin kita,” gumamnya sambil menarik kursi.

Rendra turun dari kamar, masih dengan wajah lelah. “Dia keluar dari tadi. Katanya mau lari pagi.”

“Lari pagi?” nada suara ibunya meninggi. “Sarapan kita malah dibiarkan dingin? Astaga, perempuan itu makin nggak tahu diri. Disuruh jadi istri baik-baik aja susah banget!”

Rendra hanya duduk diam, menatap piringnya yang dingin. Tak berusaha membela, tapi juga tak ikut marah. “Ya udahlah, Bu. Makan aja dulu.”

“Makan apa? Ini dingin semua!” Ibu Rendra mendengus keras, lalu berdiri dengan malas.

“Nggak becus banget. Apa susahnya tinggal manasin sebentar dan manggil kita? Dulu waktu baru nikah aja sok rajin, sekarang udah kelihatan aslinya.”

Rendra tidak menjawab.

Sementara ibunya membuka panci di dapur dan memanaskan ulang sarapan, suara panci dan kompor menambah suasana yang makin tegang. Tapi tetap saja, meja makan terasa kosong tanpa Alia di sana.

Di sisi lain, Alia sedang berlari pelan di jalan kompleks perumahan. Udara pagi menampar lembut wajahnya, memberi rasa segar. Earphone terpasang di telinganya, musik lembut mengalun, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia merasa ... bebas.

Tak ada suara omelan. Tak ada tatapan dingin. Tak ada beban untuk pura-pura bahagia. Langkahnya makin ringan, sampai tiba-tiba ….

Seseorang berjongkok di sisi jalan, tengah mengikat tali sepatu. Alia yang tidak memperhatikan karena terlalu asyik dengan musiknya, tak sengaja menabrak orang itu.

“Aduh!” seru Alia sambil terhuyung sedikit. “Maaf! Aku nggak lihat!”

Laki-laki itu mendongak cepat. Wajahnya tegas, mata tajam, dan tinggi badannya jauh di atas Alia. “Lain kali kalau lari, lihat jalan,” katanya dengan nada ketus.

Alia buru-buru melepaskan earphone-nya. “Iya, aku minta maaf, aku nggak sengaja—”

“Iya, tapi kan mata kamu bisa dipakai.” Nada suaranya dingin. Itu bukan marah yang meledak. Lebih seperti orang yang tidak punya waktu untuk basa-basi.

Alia terdiam, menunduk sedikit. “Maaf,” ulangnya pelan.

Tapi laki-laki itu tak menjawab. Ia hanya menghela napas pendek, lalu berbalik dan melanjutkan larinya tanpa menoleh lagi.

Alia berdiri di sana beberapa detik, menatap punggung orang itu yang makin menjauh. Entah kenapa, perasaannya campur aduk—antara malu, jengkel, tapi juga sedikit... penasaran. Dia kembali memasang earphone-nya, menarik napas panjang. Lalu berlari lagi, kali ini lebih pelan. Sambil berpikir—bahwa pagi yang sepi ini, untuk pertama kalinya, bukan karena kesepian... tapi karena dia memilih untuk tenang.

Tanpa sadar saat Alia kembali melangkah dengan arah lain, seseorang tadi menoleh ke belakang. Bergantian menatap punggung Alia dari kejauhan, entah dia juga sedikit penasaran atau dia merasa akan bertemu lagi dengan Alia.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
5 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status