Perjanjian Pernikahan Kontrak
1. Dilarang mencampuri urusan satu sama lain. 2. Dilarang jatuh cinta. 3. Bercerai setelah satu tahun menikah. Mata Aruna seketika mengerjap beberapa kali setelah membaca setiap kata yang tertulis di atas kertas HVS itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Bukankah seharusnya dia dipecat karena kelakuan ayah tirinya yang berbuat onar kemarin? Tetapi kenapa dia malah ditawarkan pernikahan? Belum lagi dengan ajaibnya orang yang menawarkan pernikahan padanya adalah orang yang sudah cukup lama Aruna kagumi. Sayangnya, berapa kali pun Aruna mengajak kepalanya untuk berpikir, dia tetap tidak menemukan jawaban yang paling mungkin. Alhasil dia dengan takut-takut mengangkat kepala untuk menanyakan langsung maksud dari semua ini. "Maaf, Pak. Tapi apa maksud dari semua ini ya?" tanya Aruna dengan hati-hati. "Kamu tidak perlu tahu. Dan jangan banyak tanya. Tanda tangani saja surat perjanjian itu!" tukas Ganindra. " ... " Nada sengit yang digunakan Ganindra untuk menjawab pertanyaannya membuat Aruna lebih mengerutkan kening curiga. Dia memang sudah mengagumi pria ini dari sejak lama, tapi menyetujui perjanjian pernikahan yang begitu tiba-tiba ini juga tidak benar. Aruna belum segila itu untuk terjebak dalam fatamorgana bernama Ganindra. Meskipun dia orang miskin dan hanya lulusan SMA, tapi Aruna tidak bodoh. Siapa yang tahu hal merugikan apa yang akan menunggunya jika dia menandatangani perjanjian ini dengan membabi buta. Aruna lantas mendorong map hitam itu ke tengah meja seraya berkata. "Maaf Pak, saya tidak bisa begitu saja menandatangani perjanjian macam ini." "Kamu tidak memiliki hak untuk menolak. Kamu hanya bisa memilih menandatangani perjanjian itu atau dipecat. Tentunya kamu belum lupa kalau ayah tirimu sudah berbuat onar di perusahaan saya kemarin, 'kan?" tukas Ganindra. " ... " Aruna seketika bungkam. Dia tidak bisa membantah. Ayah tirinya itu memang sumber kesialan bagi Aruna. Dihadapan pada pilihan otoriter ini, Aruna hanya bisa berjudi. Sambil menggigit bibir bawahnya dengan keras, Aruna menatap lamat-lamat tepat di manik mata Ganindra . "Bagaimana kalau saya memilih untuk dipecat saja?" tukas Aruna dengan hati-hati. Suaranya terdengar serak seperti tikus kejepit pintu. Setelah itu jantungnya juga berdegup semakin tidak karuan. Keringat dingin bahkan mulai menjalar di sepanjang garis punggung. Aruna sebenarnya tidak benar-benar ingin dipecat. Apalagi saat ini mencari pekerjaan itu amatlah susah. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Bagaimana kalau dirinya dijadikan sebagai tumbal proyek jika dia dengan nekat menandatangani perjanjian pernikahan kontrak yang tidak jelas ini. Bagaimana tidak? Berdasarkan gosip yang pernah Aruna dengar dari rekan sejawat, Ganindra ini sudah memiliki orang lain yang dia sukai. Kabarnya wanita yang disukai oleh Ganindra itu adalah wanita yang telah memiliki suami. Belum lagi wanita itu juga dikabarkan sangat cantik dan merupakan anak dari seorang pengusaha batu bara. Namanya adalah Kanina Eleanka Subiantoro. Jadi sangat kecil kemungkinannya, Ganindra akan secara sukarela meminang upik abu macam dirinya. Lalu bagaimana dengan alasan klise seperti keluarga Widjaja sudah sangat menginginkan pewaris secepatnya? Hal ini bahkan lebih tidak mungkin lagi. Di sekitar Ganindra sendiri pasti banyak sekali wanita cantik dan juga pintar yang siap untuk dipilih. Dia tidak perlu merepotkan diri memilih cleaning service yang tidak memiliki nilai kelebihan seperti dirinya. Lagipula orang kaya mana yang dengan bodohnya mengambil sembarang wanita untuk dijadikan istri? Jadi kenapa? Pertanyaan ini hanya bisa menggantung di dalam benak Aruna untuk sementara waktu. "Apakah kamu yakin ingin dipecat saja? Padahal jika kamu bersedia menikah dengan saya, hidup kamu akan terjamin dan tidak akan pernah merasa kekurangan lagi. Saya bisa memberikan uang sebanyak 50 juta setiap bulan kalau kamu mau," Mendengar besaran nominal yang disebutkan oleh Ganindra membuat Aruna sesaat merasa goyah. Kedalaman matanya bergetar penuh dengan keinginan. Biar bagaimanapun, dia sudah lama bosan menjalani hidup susah. Akan tetapi, Aruna sebisa mungkin menahan diri agar tidak begitu cepat terpengaruh. "Di luar sana banyak orang mengatakan bahwa saya ini dekil dan tidak akan ada laki-laki yang suka. Jadi tidak bisakah saya mengetahui alasan mengapa Anda ingin menikah dengan saya? Padahal di luar sana banyak sekali wanita cantik dan putih yang bisa Anda pilih," seloroh Aruna merendahkan dirinya. Sepanjang dia mengucapkan kalimat ini, Aruna menghimpun keberanian untuk terus memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi yang muncul di wajah Ganindra . Dan walaupun menyakitkan hati, tapi Aruna dapat menangkap sorot mata jijik yang berkelebat di kedalaman mata Ganindra saat melihat ke arahnya. "Bukan suatu hal yang penting. Dan seperti yang sudah saya bilang tadi, kamu tidak perlu tahu!" pungkas Ganindra. Nadanya penuh dengan penekanan di setiap kata. Melihat sikap tegas Ganindra yang menolak untuk memberitahukan apapun padanya, Aruna kembali menggigit bibir bawahnya dengan keras. Suatu kebiasaan yang dia kembangkan setiap kali tengah berpikir serius. "Tawaran Anda memang menggiurkan, tapi saya tetap tidak bisa menerimanya jika Anda menolak untuk menjelaskan apapun," ujar Aruna dengan berani. Dia juga sudah cukup muak ditindas oleh orang lain. "Apakah kamu yakin?" "Saya yakin!" jawab Aruna dengan mantap sambil menatap dengan tegas mata Ganindra. Dari sana Aruna dapat melihat kilatan pancaran geram yang ditujukan padanya. "Apakah kamu yakin?" tanya Ganindra sekali lagi. Sudut bibir Aruna berkedut samar. Ditatap oleh sorot mata tajam Ganindra membuat sekujur tubuhnya bergetar. "Atau bagaimana kalau Anda memberikan saya waktu untuk memikirkannya? Biar bagaimanapun hal ini terkait dengan kehidupan masa depan saya." " ... " Hening menyelimuti. Jari telunjuk Ganindra mengetuk-ngetuk di atas lengan kursi. Matanya terus menatap ke arah Aruna dengan sorot menyelidik. "Baiklah. Saya akan memberikan kamu waktu tiga hari untuk berpikir," ucap Ganindra memilih untuk berkompromi. "Terima kasih," "Kalau begitu, kamu bisa keluar!" usir Ganindra. Dia menggerakkan ujung dagunya menunjuk ke arah pintu. Namun, Aruna tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia menatap Ganindra dengan ragu-ragu. Ada satu lagi pertanyaan yang membuatnya penasaran. "Ada apa lagi?" tanya Ganindra kemudian. "Em~" Aruna bersenandung pelan sambil menggigit ujung bibirnya. "T-Tadi saya mendengar dari orang lain kalau Anda mengusir pria itu. Boleh saya tahu apa yang Anda katakan padanya?" tanya Aruna dengan hati-hati. Senyum miring seketika menghiasi bibir Ganindra yang membuat Aruna memiliki firasat buruk. "Saya mengatakan padanya kalau kamu mungkin saja sudah pulang. Saya akan memberitahunya kalau kamu berangkat bekerja hari ini," ungkap Ganindra. Aruna pun terlonjak dari tempat duduknya. "Tidak!" serunya. "Anda tidak boleh memberitahunya!" Ganindra mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Itu tergantung jawaban yang kamu berikan," katanya. Melihat tatapan tanpa kompromi Ganindra, Aruna seketika menjadi lesu. "Tapi kamu jangan khawatir. Kamu aman untuk tiga hari ke depan," ucap Ganindra lagi. * * *Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu