Hati wanita mana yang tidak merasakan sakit, ketika suaminya dianjurkan untuk menikah lagi, bahkan oleh keluarga sendiri, aku tahu, keturunan memang belum bisa kuberikan untuk menyambung trah keluarga Mas Damar, namun itu sungguh bukanlah keinginanku, Mas Damar sendiri yang tidak menginginkannya, bukan aku yang tidak mampu.
Pernah suatu kali, karena sudah bosan mendapat sindirian dari tantenya Mas Damar, karena aku yang tak kunjung hamil. Aku mencoba memintanya, merendahkan harga diriku sebagai wanita hanya untuk bisa disentuh oleh suamiku sendiri, namun apa yang kudapatkan? Hanya penolakan yang dibalut dengan kata-kata pedas. Sangat menyakitkan.“Jangan harap saya mau tidur denganmu, berdekatan saja rasanya saya jijik, jangan fikir karena kamu seorang dokter, kamu bisa menarik perhatian saya, cih, enggak sudi, lagipula, selama ini kami tau, kalau selain sebagai anak asuh bapak, kamu juga menjadi simpanannya, kan? Makanya dia selalu mensupport segala kebutuhanmu, kecil-kecil sudah murahan!” makinya begitu tajam.Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu, selain malu karena penolakan, hatikupun hancur, bagaimana bisa orang yang memiliki wajah sempurna sepertinya, bisa mengeluarkan kata-kata yang sangat buruk dan menyakitkan, kepada seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. Mungkin aku memang beruntung karena bisa menjadi anak asuh pak Aldian, namun sungguh, tidak sekalipun aku melacurkan diri kepadanya.Dia begitu peduli kepadaku laiknya seorang ayah kepada anaknya, begitupun caraku memperlakukannya, aku tidak pernah menggodanya apalagi menjadi simpanan orang sebaik pak Aldian. Cukup sudah harga diriku diinjak olehnya, sejak saat itu aku bersikap bagai orang asing di rumah suamiku sendiri.Aku akan bicara seperlunya saja, kalau dulu saat di rumah aku suka berpakaian sedikit terbuka untuk menarik perhatiannya, sejak saat itu aku selalu memakai pakaian yang agak tertutup, cukup sudah dia merendahkanku, tidak akan ku biarkan sekalipun diriku untuk kembali mengemis sentuhan darinya, sekuat apapun pesonanya terpancar.Aku lebih rela di hina sebagai wanita mandul, daripada difitnah sebagai wanita murahan, sungguh, aku tidak akan pernah melupakan kata-kata menyakitkan yang dia berikan kepadaku. Sampai kapanpun.==========Semua terdiam saat mendengar tante Yunita menghinaku, mengatakan aku hanya wanita mandul yang wajib menerima jika suamiku ingin menikah lagi. Sudah biasa, walaupun rasanya tetap sakit, lebih menyakitkan karena selama ini tidak pernah ada sedikitpun pembelaan yang Mas Damar berikan untukku. Dia hanya diam melihat istrinya dihina yang bahkan karena ulahnya.Aku mencoba untuk menguatkan hatiku sekali lagi, mengingatkannya untuk tetap sabar dan memerintahkan mataku untuk tidak menangis, setidaknya jangan sekarang, mungkin nanti, beberapa saat lagi, asal jangan dihadapan semua orang.Aku memilih terus melanjutkan langkah memasuki ruang tamu Eyang Uti, kemudian menghampirinya yang sedang duduk menatapkku dengan tatapan nanar, aku tau, Uti pasti ikut sedih karena melihatku selalu dihina oleh tantenya Mas Damar yang berarti adalah anaknya. Namun, bagai tidak berkutik, Uti hanya diam, sesekali mengusap bahuku untuk memberikan penguatan.Uti memiliki tiga orang anak, yang pertama adalah ibu mertuaku, yang kedua tante Yunita, dan yang ketiga om Farhan. Di usia Uti yang sudah menginjak angka tujuh puluh dua tahun, Uti masih cukup terlihat sehat, meski ketika berjalan harus menggunakan tongkat, karena penyakit asam urat yang di deritanya, namun Uti bisa dikatakan contoh orang dulu yang sehat meski sudah tua.Hubunganku dengan ibu mertua selama ini tidaklah hangat, terkesan hambar, beliau tidak pernah menunjukan respon suka atau tidak kepadaku, ibu juga tidak menolak atau menerima ketika bapak meminta anaknya menikahiku, datar, tapi yang jelas, aku merasa jika ibu termasuk yang menilaiku sebagai simpanan suaminya, sehingga membuatnya bersikap seperti ini kepadaku.“Jangan diambil hati ya, Nak, Uti tau Saf dan Damar pasti sudah berusaha, urusan anak itu rejeki dari Allah, kalau memang belum dikasih yaudah, berarti kalian disuruh pacaran dulu, ya!” ucapan Uti selalu mampu membuat hatiku yang terhimpit menjadi sedikit lebih lega.“Pacaran kok lama banget sampai dua tahun, Bu, ini sih memang si Safeea nya aja yang mandul, gabug, enggak bisa ngasih keturunan buat Damar. Ibu liat sendirikan, keluarga kita semuanya subur-subur, minimal punya anak dua, enggak ada tuh riwayat mandul kayak Safeea gini,” lagi-lagi Tante Yunita menghinaku dengan perkataan yang menyakitkan.Cukup, aku sudah tidak tahan, aku memutuskan permisi ke kamar mandi, tidak sanggup rasanya berlama-lama berada di sana. Ku tumpahkan segala sesak di dadaku, aku menangis sepuas yang kumau, tanpa takut ada yang mendengar atau melihatnya. Sakit, sakit sekali, lebih sakit dari saat aku mendapat makian seorang senior ketika sedang ospek dahulu.“Ayah, ibu, kenapa kalian ninggalin Safeea sendirian, kalau boleh meminta, ajak Saf untuk ikut kalian. Ayah, keberuntungan yang mengikuti Saf sepertinya sudah habis, hilang bersama kepergian pak Aldian. Di sini tidak ada yang sayang sama Saf. Aku sendirian, hu hu hu . . .” tangisku pecah karena merasakan sesak tiada tertahan.Andai motor ayah tidak ditabrak seseorang yang tidak bertanggung jawab, pasti ayah dan ibu tidak akan meninggal, aku tidak akan terjebak pada hutang balas budi karena kebaikan yang pak Aldian berikan, aku tidak akan ada diposisi ini sekarang, menjadi istri yang tidak dianggap, menjadi menantu yang dimusuhi dan selalu dihina.Jika boleh mengulang, ingin rasanya aku memperbaiki semuanya, tidak akan kubiarkan ayah mengajak kami berkeliling sore dengan motor kebanggaannya, tidak akan kubiarkan tubuh kecilku diabawa ke panti asuhan, tidak akan kubiarkan pak Aldian menjadikan ku anak asuhnya.Tok tok tok!“Saf, kamu di dalam?” tanya suara pria diluar kamar mandi.Aku berusaha menekan suaraku agar berhenti menangis, tapi tidak bisa, sesaknya belum hilang, makin terasa jika kupaksa berhenti, tapi, aku tidak ingin seorangpun tau jika aku selemah ini. Allah, berikanku kekuatan.“Saf! Kamu baik-baik aja di dalam? Buka pintunya, Saf!” siapa sebenarnya yang memanggilku, karena itu bukan suara mas Damar.“Ya, sebentar!” ucapku akhirnya.Aku bergegas mengapus air mataku, mencuci wajahku dengan air, tidak lupa aku membenarkan makeup yang sedikit rusak karena terkena air mata. Setelahnya aku menggunakan kacamata yang biasa kugunakan jika sedang bekerja, fungsinya selain untuk memfokuskan pandangan, juga bisa berfungsi untuk menutupi mataku yang sembab sehabis menangis. Sehabis itu baru aku membuka pintu kamar mandi yang sejak tadi diketuk.“Hey, are you okay?” ternyata om Farhan orangnya, dia yang sejak tadi mengetuk pintu kamar mandi.“Om, Farhan? Ya, saya baik-baik saja,” sahutku canggung, karena bagaimanapun dia adalah om dari suamiku, walaupun usianya hanya terpaut lima tahun dari mas Damar.“Kamu habis nangis, Saf?”“Ah, enggak, Om, maaf saya permisi dulu!” aku sengaja mengakhiri percakapan kami, tidak ingin rasanya jika sampai ada yang melihat kami sedang bicara hanya berdua saja, bagaimanapun, aku harus menjaga nama baik suamiku.“Saf,” cegahnya.“Lepaskan jika kamu sudah tidak kuat!” lanjutnya saat aku menghentikan langkah, masih dengan membelakanginya.“Maksud om Farhan apa?” tanyaku bingung.“Saya tau Saf, kamu tidak bahagia dengan Damar, kan? Lepaskan dia, biar kamu juga bisa bahagia dengan hidupmu,”“Maaf, Om, Saf enggak ngerti,” tanyaku masih berpura-pura, aku tidak boleh terpancing, selama ini tidak pernah ada yang tau kehidupan rumah tanggaku kecuali mbok Minah.“Saya tau kalau Damar masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya, saya yakin kamu juga mengetahuinya, kan?”Bagai tersambar petir saat mendengarnya, aku berusaha menenangkan detak jantungku, tidak ingin bersikap seolah aku istri yang patut dikasihani. Aku memilih mengabaikannya dan masuk kembali ke ruang tamu di mana semua sedang berkumpul.“Darimana kamu? Mojok sama om Farhan?”Mas Damar menarik kuat tanganku untuk mengikutinya pergi meninggalkan om Farhan, aku masih berfikir, darimana om Farhan bisa tau jika Mas Damar masih menjalin hubungan dengan mantan pacarnya? Apa om Farhan pernah melihat mereka jalan bersama?“Sudah saya bilang, jangan melakukan hal apapun yang tidak saya suruh,” tegurnya dengan suara yang ditekan, aku tau dia marah, dari caranya bicara dan mencengkram pergelangan tanganku.”Lepasin, Mas! Sakit! Aku enggak melakukan apapun? Kamu fikir aku ngapain?” berontakku berusaha melepaskan cengkraman tangannya, namun gagal, tenaganya terlalu kuat.“Setelah bapak enggak ada, kamu mau goda om Farhan juga? Hah? Cukup kamu menjadi benalu di keluarga ini!!” tandasnya penuh amarah, seraya mendorongku hingga terjerambab ke atas ranjang di salah satu kamar rumah Uti.“Kamu apa-apaan sih? Siapa yang goda om Farhan? Saya enggak pernah goda pria manapun, Mas! Tolong, saya bukan wanita murahan seperti yang kamu bilang, saya dan bapak tidak ada hubungan spes
Hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik air yang masih sesekali jatuh menyentuh bumi, aku memilih melihat keluar jendela, memfokuskan netraku pada bias-bias air hujan yang menempel pada kaca jendela disebelahku. Dulu, saat masih kecil, aku sering sekali main air hujan bersama teman-temanku, kami begitu senang setiap kali hujan turun, namun, setelah kecelakaan saat itu, aku jadi begitu enggan dengan hujan, karena hal itu akan mengingatkan ku kembali pada peritiwa yang merenggut nyawa ayah dan ibuku.Mas Damar baru mengurangi kecepatan laju mobilnya tepat ketika kami sudah menuruni jalanan berliku khas lewiliang, jangan tanya bagaimana perasaanku, takut, sangat takut, belum lagi Mas Damar mengendarai di tengah hujan deras, harus kuakui, skill menyetir suamiku ini di atas rata-rata, karena kalau tidak, pasti mobil kami sudah tergelincir dan masuk ke dalam jurang.“Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak bersikap begitu jahat kepada saya?” tanyaku pelan, saat kami sudah memasuki
Aku segera menggunakan jas putih kebanggaanku dan menuju ruang IGD untuk memberikan pertolongan kepada pasien kecelakaan. Aku melihat Dokter Jordy sedang membebat kasa kepada pasien pria dengan luka di pelipisnya.Cukup lama waktu yang kami butuhkan untuk melakukan pertolongan, selain aku dan Dokter Jordy, kami juga dibantu oleh dokter jaga yang bertugas malam ini. Sekitar pukul satu dini hari kami selesai, aku bergegas keluar dari ruangan IGD dan hendak masuk ke dalam ruanganku, saat dari bekalang terdengar suara pria yang dulu pernah akrab di telingaku.“Heii! Terima kasih sudah mau membantu,” ucapnya yang membuatku menghentikan langkah.==================================================================Angin malam berhembus cukup kencang, menyapu wajah dan juga rambutku hingga membuatnya berterbaran menjadi riak, sepertinya hujan akan turun, karena udaranya lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Aku masih tertegun kala mendengar suara seseorang yang menyapaku, seperti berada p
Jam di nakas menunjukan pukul lima pagi, saat samar-samar dirinya mendengar suara ketukan dari luar, dengan kesadaran yang belum sepenuhnya, Damar berjalan ke arah pintu untuk memutar kuncinya.“Mau apa?” bentaknya saat melihat wajah Safeea yang sudah berbalut mukena, berdiri di depan kamarnya.“Ma-maaf, Mas, saya cuma mau bangunin mas Damar untuk sholat subuh,” ucap Safeea takut-takut, saat melihat wajah garang suaminya.“Enggak usah sok suci kamu, pergi!!” makinya lagi, masih dengan intonasi tinggi, membuat Safeea ketakutan dan memilih pergi.==================================================================POV SafeeaPagi ini, setelah melaksanakan sholat shubuh, aku memilih untuk memejamkan mataku kembali, rasanya kepalaku sangat sakit, selain itu seluruh badanku terasa remuk, mungkin karena kemarin terlalu banyak menangis dan berjalan kaki cukup jauh sebelum mas Damar menemukanku di jalan. Selain itu semalam aku baru tiba di rumah sekitar jam dua pagi, jadi sangat wajar jika aku
Melihatnya begitu bahagia saat bersama perempuan lain, nyatanya memang sesakit ini, dua tahun aku bertahan, tidak pernah sekalipun dia memberikanku sedikit senyumnya, tapi bersama wanitaitu, Mas Damar terlihat sangat bahagia, wajahnya cerah, seperti tidak ada beban yang ditanggungnya. Apa aku harus mengalah, Mas? Agar kamu bisa bahagia terus dengannya?==================================================================Aku memilih meninggalkannya tanpa dia tau, jika aku melihatnya dengan wanita tadi, sekarang aku tau, jika hari ini dia berpakaian seperti itu karena ingin berpergian bersama kekasihnya. Setelah membayar sepatu yang kubeli, kuputuskan untuk keluar dari mall dan tidak jadi berbelanja bulanan. Aku menaiki taksi online yang sudah kupesan sejak di dalam toko sepatu tadi.Sepanjang perjalanan aku mengingat bagaimana mas Damar tersenyum begitu manis untuk wanita lain, sementara untuk istrinya, sedikitpun tidak pernah dia lakukan. Aku mengingat semua perlakuannya kepadaku. Sela
Aku menyambut uluran tangan Adelya, dia seumuran dengan Mas Damar, itulah mengapa aku memanggilnya dengan sebutan Mbak. Senyuman Adelya sangat manis, dia juga cantik, pantas jika suamiku tidak bisa move on darinya.“Kami berencana menikah pekan depan, Saf,” ungkap Mas Damar tepat saat tangaku baru saja terlepas dari tangan Adelya, membuatku mengarahkan pandang kepadanya.“Mi – minggu, de-depan?” ulangku terbata.==================================================================Seharusnya aku tau, jika sebagai istri yang tidak dianggap, aku tidak boleh berharap lebih dari seorang Mas Damar. Saat dia memintaku untuk mendatanginya, tentu hal tersebut adalah untuk kepentingannya, bukan untuk kami berdua, apalagi untukku. Aku masih mencoba menetralkan perasaanku, mengisi kekosongan dalam hati yang datang tiba-tiba. Harusnya aku sudah siap menghadapi hal ini, karena kemarin aku sendiri yang memberikannya lampu hijau, namun, jika naïf berkata dia tidak akan berani, aku salah, seorang Damar
“Kamu kenapa sih, Del? Sebenarnya kamu juga maukan menikah denganku?”“Aku tidak akan bertahan sejauh ini jika tidak ingin menikah denganmu, Mar, tapi aku ingin kamu tidak menyesali langkah yang kamu ambil dengan menikahiku,”“Kesalahanku adalah menerima perjodohan sial4n ini, Del!! Aku tidak akan pernah menyesal menika denganmu,” tandasnya mengakhiri percakapan.==================================================================Bagi banyak orang, hujan yang turun mengguyur bumi adalah suatu anugerah, karena dengan air hujan itu tamanan bisa tumbuh subur, petani sangat menyukai hujan, karena dengan begitu sawah mereka tidak akan kekeringan, masyarakat pedalaman juga sangat menyukai hujan, karena airnya bisa mereka tampung untuk keperluan sehari hari tanpa harus mengambil jauh ke sumbernya.Tapi bagi Safeea, hujan hanya mengingatkannya pada banyak peristiwa pahit yang dia alami dalam hidupnya. Ayah dan ibunya meninggal saat kecelakaan di bawah guyuran hujan. Dirinya harus terpisah dar
Priiiittt!!Pluit tanda dimulainya pertandingan telah ditiup. Semua peserta melompat ke dalam kolam renang. Damar berenang dengan penuh semangat. Dia berharap bisa memenangkan pertandingan dan membuat bapak serta ibunya bangga.Namun sayang, hingga pertandingan selesai, orang yang Damar tunggu tidak juga datang. Membuatnya harus menelan pil pahit di hari kemenangan nya."Damar benci sama bapak, kenapa bapak ingkar janji, Bu? Bapak bilang mau datang ke pertandingan Damar, tapi sampai sekarang bapak enggak datang juga, hu hu hu," tangisan Damar menggema di seluruh penjuru rumah.==================================================================Damar terbangun dari tidur saat samar-samar terdengar ketukan dari pintu kamarnya, saat bergerak, seluruh badannya sakit, dirinya baru menyadari jika semalam dia tertidur di lantai kamarnnya. Damar tertidur karena terlalu lelah menangisi nasibnya, yang tidak seberuntung Safeea dalam mendapatkan perhatian almarhum bapaknya.Pelan-pelan dia bangki