MasukAthena Harrington jatuh cinta pada Maxwell Gregory, pria yang ada di saat dia mengalami keterpurukan dan mengulurkan tangan di saat semua orang meninggalkannya. “Aku menyerahkan semuanya. Harga diriku. Hidupku. Bahkan mimpiku tentang cinta dan pernikahan. Semua kubuang untukmu, Max. Tapi sekali saja kau tidak pernah melihat hatiku.” Hal menyedihkan harus Athena rasakan adalah menjalani pernikahan bahagia namun hanya dia satu-satunya yang mengira pernikahan ini nyata. Mampukah Athena bertahan dengan pernikahan yang diciptakan oleh Max? Atau memilih pergi meninggalkan Max dengan segala luka yang dia miliki.
Lihat lebih banyak“Acara sebentar lagi mulai, apa Max belum datang?”
Athena berdiri di depan altar sederhana, di halaman rumah peristirahatan keluarga Harrington. Tempat itu sudah tiga tahun menjadi saksi bisu upacara kecil yang ia adakan setiap tahun untuk mengenang mendiang ibunya, Patty Harrington. Tiga tahun lalu, kecelakaan itu merenggut nyawa sang ibu dan membuat ayahnya koma hingga kini. Dan sejak saat itu, segalanya berubah. “Tuan Max ada rapat penting, Nyonya,” jawab Norah-asistennya. “Mungkin sekarang sudah selesai.” Athena menatap langit kosong beberapa saat. Rapat. Alasan yang sama. Selalu. Ia merogoh ponselnya dari tas kecil yang tergantung di pergelangan tangan. Jari-jarinya gemetar, bukan karena gugup tapi karena perasaan tak bisa lagi menahan kecewa. Jempolnya menekan nama yang tersimpan sebagai Maxwell. Satu... dua... tiga kali panggilan tidak dijawab. Athena mendesah. Napasnya terasa sesak. Sekali lagi. Ia menekan tombol panggil dengan ragu, tapi harapan masih ada. Tersambung. Namun sebelum ia sempat berkata sesuatu, suara di seberang langsung menghantam kesadarannya. “Ah... Max...” suara desahan seorang wanita terdengar jelas. “Kau nakal sekali malam ini,” suara perempuan itu menggoda diiringi tawa pelan. Athena membeku. Ponsel nyaris terjatuh dari genggamannya. “Lebih dalam-” suara Max terdengar terputus oleh desahan berikutnya. Jelas. Gamblang. Tak terbantahkan. Tangannya gemetar. Rahangnya mengeras. Ia tak sanggup bicara sepatah kata pun. Dengan cepat, Athena mematikan sambungan telepon. Pandangannya kosong menatap altar. Di hadapannya, foto sang ibu tersenyum lembut, dikelilingi bunga lili putih kesukaannya. Athena hanya tersenyum tipis. Tidak terkejut. Justru, senyum itu mengandung kepasrahan. Karena ini bukan pertama kalinya Max mengabaikannya. “Tentu saja,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada siapa pun. “Seperti tahun-tahun sebelumnya.” Tiga tahun lalu, sebelum semua ini hancur, Athena percaya bahwa dia telah menemukan cinta sejatinya. Maxwel Gregory-milliarder muda dan sukses hadir sebagai pria sempurna. Baik, perhatian, penuh dukungan. Max mendekatinya saat Athena baru pulang dari luar negeri. Saat itu, perusahaan keluarga mulai goyah, tapi Athena tidak terlalu mencemaskan. Max selalu ada untuknya dan menjadi bahunya saat ia lelah, telinganya saat ia ingin bercerita. Athena jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Dan saat badai besar menerpa. Perusahaan keluarganya bangkrut, reputasi tercoreng, dan ayahnya terbaring koma dan Max tampil sebagai penyelamat. Dia melamar Athena tepat di tengah kekacauan itu. Dengan janji akan menyelamatkan keluarganya, membantu membiayai pengobatan ayahnya, dan mengembalikan nama baik keluarga Harrington. Tanpa ragu, Athena menerima. Dia menikah karena cinta. Karena percaya. Karena merasa diselamatkan. Namun semua itu hanyalah topeng. Setelah pernikahan, barulah Athena mengenal siapa Max sebenarnya. Pria itu berubah seolah topengnya dicabut satu per satu. Perhatian itu menghilang, kasih sayang menjauh, dan luka mulai bermunculan. “Hari sudah larut, lebih baik Nyonya pulang,” ucap Norah yang duduk tak jauh dari Athena. Athena hanya diam menatap foto mendiang ibunya, tanpa sadar air mata pun jatuh namun dia hapus kembali. Dia harus bertahan, dia harus kuat dalam keadaan ini. Semua demi perusahaan dan juga demi ayahnya. Setelah upacara selesai, Athena kembali ke vila mewah milik Max. Rumah besar itu sunyi seperti kuburan, hanya denting jam dan suara langkah pelayan yang sesekali terdengar. Saat ia membuka pintu dan melangkah masuk, pandangannya langsung tertumbuk pada sebuah pemandangan yang tak asing lagi. Baju wanita berserakan di lantai. Sepatu hak tinggi tergeletak begitu saja, dan gaun panjang terlipat dengan ceroboh. Napas Athena tercekat. Ini bukan pertama kalinya Max membawa wanita itu pulang ke rumah mereka. Athena melangkah lebih jauh, dan pintu kamar terbuka dengan suara gemeretak. Terlihat Max yang duduk santai di sofa kulit dengan wine di tangan. Di sampingnya berdiri Celine, menawan dalam balutan gaun sutra tipis berwarna merah anggur yang jatuh pas membentuk lekuk tubuhnya. Senyumnya mengembang, tidak tergesa menutupi kesan puas di wajahnya. “Oh,” suara Celine terdengar manis tapi sarkastik. “Istri keduamu sudah pulang rupanya.” Tatapan mata Athena menusuk, namun tetap ia tahan di balik ketenangan yang nyaris pecah. Rahangnya mengeras, punggungnya tegak, meski dadanya sesak. Max hanya menoleh malas. “Kau pulanglah. Elio akan mengantarmu.” Celine mencondongkan tubuh dan mencium bibir Max dengan lembut, sengaja membiarkan ciumannya lama dan terdengar bunyinya. Setelah itu, ia berdiri, lalu berjalan menuju Athena dengan langkah anggun. Begitu sampai di dekatnya, Celine berhenti. Ia menatap Athena dari atas ke bawah, seperti menilai barang murahan. Dia berbisik, “Kau tahu yang paling menyedihkan dari posisimu, Athena? Itu karena kau satu-satunya yang mengira pernikahan ini nyata.” Athena mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bibirnya bergetar, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan wanita itu. Celine melangkah mundur sedikit, menyunggingkan senyum. “Lakukan tugasmu dengan baik malam ini, Nyonya Kedua,” katanya tajam, sebelum menepuk pundak Athena perlahan, seolah merendahkan. “Jangan sampai Max bosan, atau mungkin dia akan kembali padaku sebelum matahari terbit.” Setelah itu, ia melenggang keluar ruangan seperti ratu yang baru saja memenangkan pertempuran. Jelas memperlihatkan dominasi. Athena masih berdiri kaku di tempat, tubuhnya terasa membeku. Dia menggigit bibirnya keras, menahan emosi yang hampir meledak. Air matanya sudah menggenang, namun dia menahannya. Tidak ada tempat untuk menangis dalam dunia yang penuh kebohongan ini. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah bertahan meskipun hati ini semakin rapuh dan terluka setiap harinya. Athena melangkah dengan cepat, emosi sudah mencapai ubun-ubun. Wajah Max terlihat santai, duduk sambil membuka beberapa dokumen, seolah tak terjadi apa-apa. “Kau tidak datang ke peringatan ibuku hanya demi wanita itu, hah?” Suara Athena bergetar, mencoba menahan luapan amarah yang hampir meledak. Max hanya melirik, lalu menyeringai kecil. Senyuman itu dingin dan menyakitkan. “Wanita itu kau bilang? Sadarlah posisimu, Athena.” Max berdiri, menutup map dengan tenang lalu menghampirinya. Sorot mata pria itu tajam, menghujam seperti pisau. “Kau hanya istri kedua. Kau tidak punya hak menuntut apa pun dariku. Dan jika aku ingin bersama Celine, aku tidak perlu izin darimu.” Dia berhenti di depan Athena, menunduk sedikit hingga wajah mereka sejajar. “Lupa kalau Celine adalah istri pertamaku.” Athena memejamkan mata sejenak. Tidak. Dia tidak lupa. Justru, dia mengingatnya setiap hari. Setiap kali melihat pantulan dirinya di cermin terbayang wanita yang pernah berharap, mencintai, dan kini hanya menjadi bayangan dari kehancurannya sendiri. “Aku tidak akan pernah lupa, Max,” suara Athena lirih namun tegas. Matanya masih menatap pintu yang baru saja tertutup setelah kepergian Celine. “Tapi setidaknya... tolong. Jangan lakukan hal menjijikkan itu di rumah ini.” Nafasnya berat, dadanya naik turun menahan guncangan emosi yang tak lagi bisa disimpan. Max bangkit dari duduknya, berdiri menghadap Athena dengan wajah datar. “Ini rumahku, Athena. Kau tidak punya hak untuk mengatur apa pun di sini.” Athena menelan ludahnya. “Sekali saja turuti permintaanku. Aku tidak pernah menuntut banyak hal darimu, Max. Bahkan aku rela ... rela menjadi istri keduamu. Rela menjalani hidup penuh penghinaan ini.” Max menyeringai, sinis. “Kau melakukan itu bukan karena rela, tapi karena keadaan memaksamu. Jangan munafik, Athena.” Perkataan itu menampar seperti cambuk. Tapi Athena menahan air matanya, mencoba berdiri tegak walau hatinya compang-camping. Ia mendekat, langkahnya pelan, wajahnya rapuh namun bersungguh-sungguh. “Apa ... sedikit saja ... sedikit di hatimu, tidak pernahkah ada cinta untukku?” suaranya nyaris bergetar. “Kita sudah bersama tiga tahun, Max. Dan kau tahu ... aku mencintaimu. Dari awal ... dari saat kau menipu dengan semua kebaikan pura-pura itu. Tapi perasaanku tulus.” Max hanya memandangi Athena dengan tatapan kosong. Tidak ada reaksi. Tidak ada kedipan. “Apa itu tidak cukup untukmu, Max?” Athena melanjutkan, nadanya semakin menurun, nyaris seperti bisikan menyayat. “Aku menyerahkan semuanya. Harga diriku. Hidupku. Bahkan mimpiku tentang cinta dan pernikahan semua kubuang ... untukmu.” Hening. Udara terasa berat, seolah waktu menahan napasnya. Namun bukan rasa bersalah yang terlihat di wajah Max melainkan kepuasan yang nyaris menyerupai kebanggaan. Ia melangkah pelan, mendekati Athena yang masih berdiri membeku di tempatnya. “Lihat dirimu sekarang, kau sangat menyedihkan,” gumamnya rendah, menyentuh dagu Athena dengan ujung jarinya, mengangkat wajah wanita itu paksa agar menatapnya. “Kau jatuh cinta lalu terjatuh. Keduanya karena aku.” Athena menggigit bibir, menahan luapan luka yang sudah tak berbentuk. Max menatap matanya lekat-lekat, lalu menyeringai kecil. “Jangan lupa datang besok pagi.” Athena mengernyit samar. “Besok?” “Ada sesuatu yang ingin aku umumkan,” ucap Max datar, lalu melepaskan dagunya dengan lembut namun merendahkan. “Kau tentu tidak ingin melewatkannya ‘kan?” Perkataan Max tentu membuat Athena penasaran, pengumuman apa?Suara bentakan keras menggema di dalam rumah besar milik keluarga Hudson. Emery menatap suaminya dengan amarah yang menyalak di matanya, sementara Hudson berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam karena murka.“Keparat kau, Hudson! Cepat lepaskan aku!” Emery mengentakkan kakinya, meronta dari genggaman pria itu. Tangannya yang halus berusaha melepaskan diri, tapi Hudson jauh lebih kuat.“Diam, Emery!” bentak Hudson, menarik paksa pergelangan tangannya lalu mendorongnya ke dalam gudang tua di ujung lorong. “Aku sudah muak dengan sikapmu yang selalu ikut campur urusanku!”Emery menatapnya tajam, dadanya naik turun karena menahan amarah. “Aku ikut campur karena kau sudah terlalu gila, Hudson! Kau pikir aku tidak tahu rencanamu yang kotor itu? Semua orang tahu kau hanya ingin menjatuhkan Max!”Hudson mencengkeram dagu istrinya dengan keras hingga Emery meringis. “Jaga bicaramu,” desisnya pelan namun berbahaya. “Jika kau bertingkah lagi, keluargamu akan tamat.”Emery menatapnya t
Athena merapikan bajunya, sesekali melirik Max yang masih bertelanjang dada dengan santai. Seolah pergulatan panas di antara mereka tadi hanya hal biasa, bahkan dengan enaknya menyesap whiskey padahal masih sakit. Begitu selesai, Athena langsung merebut gelas Max. Pria itu melotot seketika menatap Athena. “Kembalikan!” perintah Max tanpa pengecualian. “Kau belum sembuh, hindari dulu minuman seperti ini. Tunggu kau sembuh seperti sedia kala,” minta Athena yang juga merupakan perintah. “Aku sudah sembuh,” sahut Max asal. “Buktinya kau mendesah paling semangat tadi, bahkan meminta lagi ... lagi. Ternyata kau lumayan liar juga.” Pipi merah Athena mulai bermunculan, ia memegang kedua pipinya yang terasa panas jika mengingat kejadian panas tadi. Gila saja, mereka bercinta dengan panas di Rumah sakit. “Kau ... kau yang menggodaku lebih dulu,” sangkal Athena malu saja. Max tersenyum tipis, “kau terlihat seperti rubah licik yang penggoda.” Athena beranjak, ia lebih memil
Hudson yang emosi pun mencekik leher Athena, ia paling benci wanita sombong dan suka merendahkan dirinya. Seolah wanita itu selalu di atas dan bisa mengendalikan situasi, padahal mereka bukanlah apa-apa kalau tanpa ada laki-laki. Athena terkejut, namun berusaha menahan diri dengan baik. Perlakuan ini sudah biasa ia rasakan dulu saat bersama Max, hanya saja Hudson tak sekasar Max. “Kau semakin tidak tahu diri, Athena!” seru Hudson mendorong Athena hingga membentur dinding. “Bukankah hal itu juga berlaku untukmu, paman Hudson?” sindir Athena halus, seolah perlakuan kasar ini tak ada apa-apanya. “Jangan karena sekarang Max menginginkanmu, kau berlagak berkuasa. Itu hanya sementara, Celine tetaplah istri pertama dan diakui oleh semua orang,” sahut Hudson menyeringai. “Pantas saja terus membela Celine,” seringainya tipis, menahan lehernya yang sakit, “aku sepertinya mencium bau bangkai yang sudah lama ditutupi dengan rapat.” “Apa kau juga menciumnya, Paman?!” Athena sengaj
Menanggapi godaan Max, tentu saja Athena dengan senang hati mengalungkan tangannya dengan manja. Senyuman semanis madu ia ciptakan, hingga membuat suaminya enggan berpaling.“Ternyata aku juga bisa kau rindukan, padahal aku kira kau hanya merindukan istri tercintamu,” sindir Athena tanpa ragu.Max tersenyum tipis, “mulutmu memang tajam.”“Kalau tidak tajam, bagaimana aku bisa menghadapimu selama ini?!” ujar Athena santai, seolah Max sudah tak seperti dulu.Athena mencium bibir Max sekilas, lalu tersenyum, “jadi, apa sekarang kau mulai sadar kalau hanya aku yang tulus mencintaimu?!”“Hmm.” Max tampak berpikir, “bisa dikatakan seperti itu, tapi tetap saja tidak mengubah apa pun.”“Tidak masalah, setidaknya kau tahu bahwa cinta tulus dan ikhlas itu sangat jarang terjadi. Dan sekarang kau memilikinya, yaitu aku,” kata Athena begitu percaya diri, mulutnya begitu pandai merangkai kata.Tulus ... ikhlas.Itu memang dulu Athena rasakan pada Max, namun entahlah rasa itu masih ada atau
“Siapa yang menyuruhmu?” Elio menekan ujung pistolnya lebih keras, ia begitu mahir dan tentu saja gampang mengintimidasi lawan dengan senjata. Apalagi dengan pistol, itu sudah menjadi hal biasa untuknya. “Kau menjebakku dengan menyebar informasi palsu!” teriak pria itu tanpa peduli senjata yang dibawa Elio. Max yang duduk santai hanya tersenyum, “kalau tidak seperti itu, mana mungkin kau akan keluar dengan suka rela.” Elio menendang lutut belakang pria itu sehingga terjatuh dan berlutut di hadapan Max, tak lupa pistol masih menempel di kepalanya. “Dasar bedebah,” maki pria itu berapi-api. Max menunduk sedikit, “katakan siapa yang menyuruhmu?” “Tidak ada yang menyuruhku, aku melakukannya sendiri karena aku dendam padamu!” sahut pria itu begitu berani padahal sudah terdesak. Max dan Elio sudah merencanakan ini semua, apalagi ia sudah mendapatkan informasi terkait siapa pelaku yang menabrak mobil. Sangat detail, tapi entah kenapa iu justru sangat mencurigakan. M
“Nyonya Daisy,” ucap Athala pun segera menunduk, menyembunyikan keterkejutannya.Athala segera bergeser dan mempersilakan nenek Daisy masuk, ia kemudian mundur dan menutup pintu meninggalkan keduanya. Tentu saja ia penasaran dengan apa yang akan nenek Daisy katakan, pasalnya terakhir kali Max membuat wanita tua itu naik pitam.Athena segera bangkit, ia menunduk sedikit dan mempersilakan nenek Daisy duduk. Tanpa basa basi ia langsung berucap saat duduk.“Ada apa Nenek mencariku?” “Sekarang kau terlihat sombong karena Max membelamu-““Max membela bayinya, bukan aku!” potong Athena dengan berani.“Kau berani memotong perkataanku!” tunjuk nenek Daisy naik pitam, “pantas saja Max berubah tidak sopan, ternyata kau yang mempengaruhinya.” Tuduhnya.Athena memutar bola matanya jengah, selalu saja ia yang disalahkan. “Mungkin Nenek sudah pikun, ya. Max itu sangat membenciku, jadi mana mungkin aku mempengaruhinya.”Nenek Daisy terkejut bukan main, selama ini tak pernah ada yang berani p












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen