LOGIN"Jadilah wanitaku, Kinanti... Ceraikan suamimu." "Aku tidak bisa, Ganendra. " "Tapi Bara selingkuh... dan selingkuhannya hamil." "Apa bedanya dengan kita?" ======= Kinanti Atmadja adalah seorang designer ternama, juga seorang istri dari Barata Pramayudha. Seorang pengusaha sukses, dan juga pewaris tunggal Prama Group. Tiga tahun mereka berumahtangga, di depan orang lain, keluarga dan media mereka terlihat harmonis, namun di balik pintu rumah megahnya, mereka bersikap dingin satu sama lain. ••• Suatu saat bara menghamili sekretarisnya, mereka berselingkuh bahkan di tahun kedua pernikahannya dengan Kinanti, namun karena tuntutan dari keluarga untuk menjaga nama baik. Mereka masih bertahan. ••• Hingga datanglah sahabat Bara yaitu Ganendra Adipati. Menawarkan cinta yang sulit untuk di tolak oleh Kinanti. ••• Ganendra Adipati adalah definisi sempurna bagi seorang lelaki. Tampan, mapan dan Setia. Baginya, Kinanti adalah cinta sejatinya. ••• "Kau menikmatinya, Kinanti... berada dibawah ku, meneriakkan namaku di saat percintaan panas kita."
View MoreHujan deras mengguyur kota Jakarta malam itu. Butiran air menampar kaca depan mobil dengan suara berisik, menimbulkan pantulan cahaya lampu jalan yang temaram.
Di balik kemudi, duduk seorang wanita muda berusia dua puluh empat tahun—Kinanti Atmadja. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan jemarinya gemetar di atas setir. Baru saja, dunia yang ia kenal selama tiga tahun terakhir runtuh begitu saja. Baru malam itu ia mengetahui perselingkuhan suaminya—Barata Pramayudha—dengan sekretarisnya sendiri, Nadia. “Tiga tahun, Bara...” suara Kinanti bergetar pelan, hampir tidak terdengar di antara derasnya hujan. “Tiga tahun pernikahan kita. Aku mengira kau hanya sedang... bosan denganku.” Air matanya jatuh perlahan di pipi. Ia menunduk, menatap ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya—layar yang menampilkan percakapan terakhir antara Bara dan Nadia. Kalimat-kalimat mesra yang menusuk jantungnya seperti bilah pisau yang dingin. “...Kau bahkan sudah memulainya sejak tahun kedua pernikahan kita.” Suaranya makin parau. Kinanti menutup mata sejenak, mencoba bernapas di tengah sesak yang menekan dadanya. Tangannya gemetar hebat. Ia tahu wanita itu sedang hamil—hamil anak dari suaminya sendiri. “Sudah cukup...” bisiknya pelan. “Aku masih bisa menerima sikap dinginmu, Bara. Tapi tidak dengan perselingkuhan.” Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan. Wajahnya kini tidak lagi hanya menampakkan kesedihan—ada amarah, ada kehancuran, dan ada keputusan bulat di balik tatapan matanya. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menyalakan mesin mobil dan menancap gas. ••• Tiga puluh menit kemudian, mobilnya berhenti di depan rumah besar bergaya klasik yang selama ini menjadi istananya—atau mungkin lebih tepat disebut sangkarnya. Brakkk! Pintu utama terbuka kasar. Kinanti masuk dengan langkah cepat dan tatapan yang menusuk. Seorang maid yang kebetulan sedang melintas di ruang tengah buru-buru menghampirinya, mengambil tas tangan sang nyonya dengan wajah panik. “B–Bu Kinanti... sudah pulang?” “Bara sudah di rumah, Bi?” tanya Kinanti tanpa menoleh, suaranya dingin dan datar. “Tu... tuan di ruang kerja, Bu...” jawab si pembantu dengan nada ragu. Kinanti tidak membalas. Ia langsung melangkah menuju tangga marmer yang mengarah ke lantai dua. Suara hak sepatunya bergema di antara keheningan rumah besar itu—ritmenya seperti dentang perang. Brakkk! Tanpa mengetuk, ia mendobrak pintu ruang kerja suaminya. Bara, yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan setumpuk dokumen, sontak menoleh dengan wajah terkejut. “Kinanti! Apa-apaan ini?” bentaknya, berdiri dari kursi. Kinanti melangkah lurus, berdiri tepat di depan meja. Tatapannya tajam, matanya merah, suaranya bergetar penuh luka. “Apa-apaan ini? Itu pertanyaan yang seharusnya aku ajukan kepadamu, Bara!” serunya keras. “APA maksudmu dengan semua ini, hah?!” Wanita yang biasanya selalu tampak anggun dan berkelas, kini berubah. Ia masih terlihat rapih, tapi di balik rambut basah dan wajahnya yang pucat, tampak bara kemarahan yang belum pernah Bara lihat sebelumnya. Dengan satu gerakan, ia melemparkan ponselnya ke arah Bara. Ponsel itu jatuh di atas meja, layar masih menyala memperlihatkan percakapan mesra antara Bara dan Nadia. Bara menatap layar itu sekilas. Tidak ada sedikit pun kegugupan di wajahnya. Ia hanya menghela napas panjang, seolah sudah lelah menutupi rahasia yang kini terbongkar. “Jadi, kau sudah tahu sekarang, Kinanti,” ucapnya datar. Kinanti menatap suaminya tak percaya. “Apa maksudmu, Bara? Kau bahkan... tidak merasa bersalah?” suaranya meninggi, tangannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Bara bersandar pada meja, mendongak menatap istrinya dengan tatapan kosong. “Apa lagi yang kau harapkan? Pernikahan kita hanya pernikahan bisnis, Kinanti. Kau pikir ada cinta di rumah ini?” Kalimat itu menghantam Kinanti seperti petir yang menyambar dada. Sraaakkk! Braaaakkk! Dengan satu hentakan marah, Kinanti menepis semua benda di atas meja kerja Bara—dokumen, bingkai foto, dan vas kaca terlempar ke lantai, pecah berantakan. “Kinanti!” Bara langsung berdiri, terkejut melihat kekacauan di hadapannya. Air mata jatuh lagi di pipi wanita itu. “Aku mencintaimu, Bara...” suaranya lirih, hampir seperti isak. “Sejak kita kuliah dulu... sejak pertama kali aku bertemu denganmu...” Darah menetes dari telapak tangannya, luka akibat pecahan kaca yang tak ia sadari. Tapi rasa sakit fisik itu tak ada artinya dibanding luka di hatinya. Bara hanya menatapnya datar. “Tapi aku tidak mencintaimu, Kinanti. Aku mencintai Nadia.” Kinanti menatap suaminya lama sekali, seolah berharap kata-kata itu hanya mimpi buruk. Tapi tatapan Bara terlalu tenang untuk disebut kebohongan. “Kalau memang itu yang kau mau,” suaranya pecah, “kenapa tidak kau ceraikan saja aku, Bara?! Kenapa kau harus menghancurkan aku seperti ini?” Jeritannya menggema di seluruh ruangan. Ia jatuh terduduk di lantai, menangis terisak. Sementara Bara... hanya berdiri membeku. Wajahnya tetap datar—dingin, seolah tidak ada sedikit pun rasa bersalah yang tersisa di dirinya. ••• To be continued—“Ganendra…” Dan dengan langkah tenang, ia mulai melepas satu per satu pakaiannya, membiarkan gaun tidurnya meluncur jatuh ke lantai marmer. Setelah itu, tanpa ragu, ia melangkah masuk menuju kamar mandi Kinanti membuka sisa kain ditubuhnya, dan masuk ke bilik shower menghampiri Ganendra. Grepp! “Apa kau merindukan ku? ”bisik Kinanti. Ganendra tersenyum smirk, lalu berbalik. “Aku sengaja menunggumu di dalam sini, Kinan...”ucap Ganendra. “Aku akan membantumu, menyabuni tubuhmu...”bisik Kinanti. Dia mengambil satu pump sabun cair ke tangannya, lalu mulai menggosok telapak tangannya hingga menghasilkan busa. Kinanti mulai menyabuni bagian dada bidang Ganendra. “Kita saling menyabuni... Bagaimana?”Tanya Ganendra. “Ide yang bagus... Lebih efisien, dan menghemat waktu.”jawab Kinanti. Ganendra mulai melakukan hal yang sama, setelah tubuh Kinanti basah oleh air dari shower. Dia mulai memakaikan sabun ke setiap lekuk tubuh Kinanti. “Nngghhhh... ”Kinanti mulai m
Keesokan paginya, suasana di kamar rawat Tuan Gibran masih tenang. Aroma antiseptik samar bercampur dengan wangi bunga segar di vas kecil di atas meja. Dari kamar mandi terdengar suara lembut air mengalir—Kinanti baru saja selesai membersihkan diri setelah semalaman menunggui ayahnya yang sempat tak sadarkan diri. Begitu keluar dengan rambut yang masih agak lembap, wanita anggun itu melihat sosok sang ayah sudah terbangun. Tuan Gibran bersandar pada sandaran ranjang rumah sakit, tampak lemah tapi sadar sepenuhnya. Di sisi ranjang, Nimas—ibunda Kinanti—sedang menyuapi bubur hangat perlahan, memastikan setiap sendoknya habis. Kinanti tersenyum kecil dan segera mendekat. “Ayah…” panggilnya lembut. Nimas menoleh, wajahnya sedikit lega. “Ayahmu baru bangun, Kinanti. Barusan saja, pas kamu masih di kamar mandi.” Namun, tidak ada balasan dari Gibran. Tatapannya tidak diarahkan pada putrinya, seolah sengaja menghindar. Wajahnya kaku, dingin, dan penuh ganjalan. Kinanti menarik napas dal
Kinanti menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. Ia menatap Ganendra yang masih menunggu dengan tatapan lembut di balik kemudi.“Sebaiknya kau pulang, Ganendra… aku harus kembali ke ruangan ayah. Ibu di sana bersama Bara,” ucapnya pelan.Pria itu menoleh, menatapnya dengan cemas.“Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?”Kinanti mengangguk kecil, lalu jemarinya yang halus menyentuh sisi rahang Ganendra dengan lembut.“Aku merasa lebih baik setelah bertemu dan memelukmu,” katanya tulus.Ganendra tersenyum. “Baiklah… besok aku akan menjenguk Tuan Gibran. Aku bawakan makanan untukmu, ya?”Kinanti menatapnya sebentar, lalu mengangguk lagi.“Terima kasih, Ganendra…”Ia membuka pintu dan bersiap turun.“Langsung pergi saja setelah ini, ya. Jangan berlama-lama di sini… aku takut ada wartawan yang mengintai,” ucapnya cepat, sedikit cemas.“Baiklah, hati-hati, Tuan Putri,” balas Ganendra dengan nada lembut yang membuat wanita itu tersenyum tipis sebelum menutup pintu.Mobil itu perla
Ponsel Kinanti bergetar lagi—nama Ganendra terpampang di layar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan getaran halus di ujung jarinya sebelum menjawab.“Sudahlah, Bara…” ucap Kinanti pelan, tanpa menatap pria di depannya yang masih menahan napas berat. “Hubungan kita memang sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”Nada suaranya datar, tapi matanya penuh luka.Ia berdiri, menegakkan tubuhnya yang mulai gemetar, lalu menatap ke arah pintu ruang rawat ayahnya. .“Tolong katakan pada Ibu… aku keluar sebentar. Aku butuh udara segar.”Tanpa menunggu jawaban, Kinanti melangkah pergi.Bara hanya bisa menatap punggung istrinya yang menjauh perlahan di lorong rumah sakit yang dingin. Tangannya mengepal, rahangnya menegang begitu kuat hingga otot wajahnya tampak jelas.“...Aku tidak akan melepaskanmu, Kinan,” gumamnya pelan, hampir seperti janji yang mengancam.•••Di sisi lain gedung, Kinanti berjalan cepat melewati taman kecil rumah sakit. Langkahnya sedikit tergesa, dan pandangannya langs
Suasana kamar rawat itu sunyi, hanya suara mesin monitor jantung yang berdetak ritmis, memecah keheningan malam. Lampu di sudut ruangan menyala temaram, menyorot wajah Gibran Atmadja yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Di sofa panjang dekat jendela, Kinanti duduk dengan kepala tertunduk. Matanya tampak lelah, kelopak matanya sedikit bengkak akibat tangisan yang tak kunjung kering.Tangannya terkulai di pangkuan, hingga tiba-tiba ia teringat sesuatu.'Oh, Tuhan… aku lupa mengabari Ganendra.' batinnya bergetar.Ia segera meraih ponselnya dari dalam tas. Saat layar menyala, ia melihat ikon pesawat kecil di bagian atas — mode airplane ternyata masih aktif.“Astaga… pantas saja sejak tadi tidak ada notifikasi masuk,” gumamnya pelan, menepuk kening sendiri.Begitu ia menonaktifkan mode itu, deretan notifikasi langsung memenuhi layar — panggilan tak terjawab, pesan beruntun, hampir semuanya dari Ganendra.Chat-nya panjang, dipenuhi kalimat khawatir dan beberapa suara pesan si
Lampu-lampu koridor rumah sakit memantulkan cahaya putih pucat, menciptakan suasana dingin yang mencengkeram dada. Di depan ruang IGD, seluruh keluarga Atmadja dan Pramayudha menunggu dengan wajah tegang. Bau antiseptik bercampur kecemasan memenuhi udara.Nimas Asih duduk di kursi panjang, tubuhnya sedikit bergetar. Matanya bengkak karena tangis. Di sisi lain, Kinanti berdiri menatap kosong ke arah pintu IGD yang tertutup rapat, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan dada.“Bu… minum dulu, ya,” ucap Bara pelan sambil menyodorkan segelas air putih ke arah mertuanya.Nimas menatapnya sesaat, lalu menerima gelas itu dengan tangan bergetar.“Terima kasih, Nak…” ucapnya dengan suara serak, sebelum meneguk air itu perlahan.Bara kemudian berpaling ke arah Kinanti. Ia menatap wajah istrinya yang tampak dingin, mata yang dulu hangat kini beku seperti es. Dengan hati-hati, ia mengulurkan satu gelas air lain.“Ini, Kinan…” ucapnya ragu.Namun Kinanti hanya mengalihkan pandangan, tatap






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments