Sekitar empat setengah jam berkendara, akhirnya kami tiba di Pangalengan, tempat uti tinggal bersama seorang pengurus rumah tangga. Kami turun dari mobil, Mas Damar menghampiriku, membelitkan tangannya di pinggangku yang ramping, membuat kami berjalan seirama. Aku meliriknya tajam, ingin memberitahukannya jika aku tidak nyaman dengan perlakuannya ini, namun seakan tidak peduli, Mas Damar justru semakin erat merangkul pinggangku. Samar-samar aku melihat senyumnya terukir.==================================POV DamarSeakan dewi fortuna sedang menghampiriku, kabar buruk yang ku dapat dari ibu mengenai kondisi uti, nyatanya membawa peluang untukku agar bisa berdekatan dengan Safeea, memeluk erat pinggangnya yang ramping, rasanya sungguh membuat adrenalinku berpacu begitu cepat. Teringat malam itu, ketika aku menaklukkannya di atas ranjang.Mungkin aku harus melakukannya sekali lagi, dengan cara yang lebih manusiawi dan penuh kelembutan, agar Safeea bersedia menerimaku lagi. Kami memasu
“Maafin ibu karena telah gagal mendidik Damar menjadi laki-laki bertanggung jawab ya, Saf. Maafin ibu, selama ini ibu bersikap dingin dan tidak peduli sama kamu, maafin ibu, Saf!” ucap ibu mertua, isak tangis lolos dari mulutnya.Benarkah yang sedang kualami ini? Ibu memelukku? Meminta maaf atas kelakuan mas Damar dan juga dirinya selama ini? Sungguh aku tidak menyangka, namun juga bahagia, karena setelah dua tahun lamanya, inilah pertama kalinya ibu mau memelukku seperti ini.=================================Aku membalas pelukan hangat ibu, membiarkan air mataku tumpah dan menangis bersama wanita, yang selama ini tidak pernah menerimaku sebagai menantu di rumahnya. Sesak yang kurasakan saat melihat mas Damar bermesraan dengan Adelya rasanya hilang, berganti haru bahagia karena pelukan dari seorang ibu.“Terima kasih karena masih mau ke sini untuk merawat uti ya, Saf, kondisi uti memang sudah mengkhawatirkan sejak beberapa hari lalu, namun, uti selalu menolak untuk dibawa ke rumah sa
“Tapi sudah larut malam, akan sangat bahaya untuk kamu,”“Sejak kapan kamu peduli? Sejak tau jika kematian kedua orang tuaku karena ulah bapak? Atau sejak kamu berhasil merobek selaput daraku dengan kasar? Sejak kapan, Mas?” teriakku, memuntahkan kemarahan yang tertahan.“Safeea!” aku menoleh ke arah pintu, bernafas lega, karena melihat Tiara berdiri di depan pintu dengan Pak Yuda di belakangnya.=================================Tanpa mempedulikan mereka, aku bergegas keluar, menarik tangan Tiara agar mengikutiku masuk ke dalam mercy yang dibawanya. Aku memilih duduk sendiri di kursi belakang, menolak saat Tiara ingin menemaniku. Air mataku semakin luruh, saat mobil yang Pak Yuda kendarai berjalan meninggalkan pekarangan rumah uti.Bagai balon helium yang terlepas, hatiku mencelos melayang tanpa arah, terus terbang hingga pecah diketinggian tak terkira, menerima kenyataan pahit yang benar-benar tidak pernah terbayangkan, bisa terjadi di hidupku. Mengapa dunia begitu kejam kepadaku
“Bohong pasti, kan?” ucap Safeea, seraya mengurai pelukan mereka, dengan sabar Essa menghapus sisa – sisa air mata yang ada di wajah sendu Safeea, merapikan rambutnya yang kusut dengan penuh kelembuatan.Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada sepasang mata yang menyaksikan kemesraan mereka di balik pintu apartemen Tiara, sepasang mata yang merasakan cemburu, meski dirinya bukanlah siapa – siapa bagi seorang Safeea.==================================Yuda memilih meninggalkan apartemen milik sepupunya tersebut, membawa asa nya yang harus dia kubur, bahkan sebelum hatinya yakin tentang perasaanny sendiri. Sejak pertemuan mereka di café kala itu, sebenarnya Yuda sudah memilki rasa, namun ditahannya, karena belum mengetahui status Safeea seperti apa.Namun, peristiwa tiga hari lalu, saat dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan, bagaimana rapuhnya Safeea, hatinya bertekad untuk melindungi serta menjaganya, membalas segala air mata dan kepedihan yang dialaminya dengan kebahagiaan. Tapi
“Silakan selesaikan masalah kalian berdua, kami permisi duluan,” ucap Safeea, beranjak dari kursinya, namun kutahan hingga dia tidak bisa kemana – mana. Rupanya hal yang kulakukan memancing reaksi dari Adelya, dia marah dan mendorong Safeea hingga perutnya terbentur ujung meja.Safeea mengerang memegang perutnya yang terbentur, Adelya seakan tidak peduli dengan yang dia lakukan, menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya pergi meninggalkan Safeea bersama Adriyan dan Tiara. Aku berbalik arah, saat dengan jelas telingaku menangkap teriakan Tiara, yang mengatakan jika darah keluar dari dalam dress yang Safeea kenakan. Astaga, ada apa dengan Safeea?==================================POV Author Adriyan menggendong tubuh Safeea, yang masih mengerang merasakan sakit yang teramat di bagian perutnya, berlari menuju keluar mall, untuk mencari taksi yang sudah siap berangkat, sedangkan Tiara di mintanya mengambil mobilnya yang diparkir di basement mall dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Tidak mau harga diriku terus diinjak, aku memutuskan untuk meninggalkan ruangan rawat Safeea, membiarkannya tenang terlebih dahulu, karena sungguh, akupun perlu menenangkan diriku dari kejadian ini, kehilangan anak yang bahkan belum lahir, cukup membuatku terpukul.Aku keluar ruangan, mencari keberadaan Adelya yang tadi kutinggalkan sendiri di sini, namun kemana dia? Apa sudah pulang duluan? Ah bisa kacau kalau dia sampai pulang ke rumah orang tuanya lagi dan mengadu kepada mereka. Bisa hancur karier dan perusahaan yang susah payah bapakku bangun. Aku harus mencarinya.==================================Aku bernafas lega saat melihat Adelya ada di lobby rumah sakit, menarik tangannya untuk mengikutiku masuk ke dalam mobil, sebelum dia pergi ke rumah orang tuanya. Adelya sempat berontak, membuat kami menjadi sumber perhatian karenanya. Namun aku tidak menyerah, berusaha meyakinkan untuk ikut kepadaku.“Buat apa aku ikut sama kamu, Mar? bukankah kamu tidak peduli sama aku?” “Aku bukan
“Zah, kamu di dalam?” suara Mas Essa terdengar setelah ketukan kedua pada pintu kamar mandi.“I-iya, Mas, sebentar!”Setelah membersihkan bagian dalam diriku dan mencuci tangan, aku membuka pintu kamar mandi, melangkah keluar untuk mengadapi kenyataan, jika aku telah gagal menjadi calon ibu.==================================Di depan pintu sudah ada Mas Essa dan Tiara yang menungguku dengan wajah cemas, usahaku untuk berusaha baik – baik saja nyatanya gagal, aku menubruk Tiara, memeluknya dan menangis hingga sesak. Aku tidak baik – baik saja, hatiku sakit, fisik dan psikisku lelah, aku terlalu lemah mengahadapi semua ini.Tiara membawaku ke ranjang, mendudukanku dengan perlahan, memeluk tubuh ringkihku, sedangkan Mas Essa duduk di kursi depan ranjang, mengusap –usap lembut pergelangan tanganku. Aku bersyukur memiliki mereka berdua, karena tidak satupun yang menekanku dengan pertanyaan penyebabku kembali drop seperti ini.Mereka hanya mendengarkanku menangis, seraya terus memelukku, m
“Mbak, kasihan Saf jika harus dikorbankan lagi di sini, biarlah, nanti kita cari jalan keluarnya, Farhan enggak setuju kalau Safeea mbak minta untuk merawat Damar. Mereka sudah mau cerai, proses sidang perdana mereka akan di gelar pekan depan,”Ucapan Farhan bagai sembilu yang menembus jantung hatinya, bagaimana tidak, dirinya tidak menyangka jika Safeea benar – benar serius menggugat cerai anaknya. Walaupun dirinya sadar, jika kelakuan Damar memang sudah keterlaluan, namun, kondisinya saat ini Damar membutuhkannya untuk merawat dirinya.“Baiklah kalau kamu tidak mau membantu mbak, Han, biar mbak cari sendiri di mana Safeea dan membawanya ke sini,” ==================================Farhan tidak dapat berkata apa – apa lagi, dirinya sadar, jika semua hal buruk yang menimpa diri Safeea atas perlakuan Damar dan keluarganya, ada andil dirinya juga di sana, yang tidak memberitaukan kebenaran yang terjadi, antara kakak iparnya, Aldian dan juga Safeea. Andai saja dirinya dapat membujuk Al