“Dasar anak s14l an, bisa-bisa dia berpikir untuk membuatku bekerja di rumahku sendiri. Memangnya dia pikir, dia siapa hah?!” dengkus Martha kesal setelah dia mengusir Markus dan Lusi.Dia tidak mungkin meluapkan kekesalan saat ada mereka. Martha yakin mereka pasti akan mengadukannya padaku.“Huhuhu, bagaimana ini Mah, Pah, kenapa kakak bodohku berubah kejam sih? Ini semua pasti karena kamu,” Minna mengarahkan tatapan pada Nick yang masih belum juga pulang setelah aku usir. Minna yakin ini semua kesalahan Nicholas.“Kenapa menyalahkan diriku? Aku juga gak tahu dia akan benar—benar berubah seperti itu. Aku yakin semua masih baik-baik saja. Dia gak mungkin semarah ini kalau memang tidak ada yang mempengaruhi,” Nick sedang membela diri.Dia mencoba mencari kambing hitam.“Tapi, ini gak masuk akal Nick, aku yakin sekali dia ga berhubungan dengannya. Aku sudah sangat memastikannya. Selama ini, apapun yang dia lakukan dalam pengawasanku,” Minna bersikeras , dia tidak setuju dengan asumsi
“Kau memangnya gak suka?”“Kau?! Bagaimana kau bisa mengatakannya semudah itu?” Axel mendengkus semakin kesal.“Pokoknya, aku hanya mau kamu. Gak mau yang lain,” aku bersikeras dan tersenyum puas saat berhasil menggoda Axel.“Sudahlah, sebaiknya kau tidur. Aku akan menjemputmu besok. Kau ada jadwal ngampus kan?”“Iya, siang sampai sore. Pagi hari aku gak ada jadwal. Tapi, aku gak keberatan kok main pagi bersama kamu,” kataku menggoda Axel kembali.“Apa maksudnya? Kau ini benar-benar ya?!”“Hehehehe, sudahlah. Cepat tidur sana dan jangan lupa mimpikan aku. Aku juga akan memimpikan dirimu,” kataku lagi benar-benar semakin menggila.Detik berikutnya, saat aku masih terbuai dengan ucapanku sendiri ketika menggoda Axel, telepon terputus tanpa permisi.“Huh! Mati. Apa aku terlalu agresif padanya ya?! Dia sangat malu-malu gak seperti di kehidupan waktu itu. Dia berlari dengan khawatir sambil merengkuh tubuhku juga menangis. Kenapa sekarang, aku merasa dia agak berbeda dengan ingatanku,” kat
“Kalian gak lupa kan?” Sorot mataku mengintimidasi Martha juga Minna, “Mamaku sudah mati dalam kecelakaan? Atau kalian sudah melupakan asal usul kalian?” ucapku bertambah sadis.Minna segera menyadari dan segera berlari mendekat, dia ingin meraih tanganku, namun aku menepisnya.“Bu–bukan seperti itu, Kak Regi, ma–maafkan aku, aku gak bermaksud seperti itu. Aku gak bermaksud gak mengingatnya. Aku hanya tau kalau kakak juga menyayangi Mamaku juga kan?” kata Minna masih bersikeras dan bersikap polos juga pura-pura bodoh.Dia masih berharap, aku masih bisa luluh dengan ucapannya.“Ah, iya sayang, bukan seperti itu, kamu kan tahu, Mama ini kan sudah seperti Mama kamu sendiri. Mama selalu menyayangi kamu juga Minna, adikmu. Mama gak pernah membeda–bedakan kasih sayang untuk kalian,” ucap Martha ikut maju melangkah memberikan pembelaan diri, “jadi, Mama pikir gak ada salahnya juga kan, kalau si pelayan gak tahu diri itu kita hukum. Dia harus dihukum yang berat karena sudah melakukan pencuria
“Sudahlah, aku sudah bosan memerankan peran pelayan dan majikan. Aku mau posisiku kembali. Dan, itu sudah sepantasnya kan?” Lanjut ucapanku semakin tajam pada Minna.“Tapi, Kak … aku sama sekali gak pernah berma–...,”“Nona Regina, tas anda. Sepertinya, ponsel Anda terus berbunyi,” kata Markus menyela bicara dan berada diantara kami.Mau tidak mau Minna menghentikan ucapannya.“Uhm, baiklah, aku lelah. Energiku terkuras begitu saja untuk hal yang sepele. Ingatkan mereka lagi Markus. Apa yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Semuanya gak gratis lagi. Kalau mereka mau makan, suruh mereka bekerja lebih dulu,” pesanku lebih sarkas lagi gak peduli kalau mereka semakin merutukiku dengan kebencian.“Baik Nona, saya akan pastikan semua berjalan dengan kemauan Nona,” kata Markus menjawab dengan jelas.Martha dan Minna sudah seperti menggali lubangnya sendiri. Niatnya, mengusir Lusi yang dianggap sebagai batu sandungan mereka, tapi keputusan yang aku ambil diluar dugaan mereka.“Dan
“Kamu yang siapa? Seenaknya menyambut pacar orang! Memangnya kamu pikir senyuman kamu itu bagus!” cetusku sewot dan gak mau kalah.Aku ga bisa mengingat apapun tentang kejadian ini. Karena semua kejadian yang aku alami aku merubahnya. Jadi, ini merupakan hal baru bagiku.Di kehidupan lalu, wanita itu gak pernah ada. Karena memang aku gak sedekat itu dengan Axel.Tapi, karena di kehidupan ini aku memilih Axel. Tantangan baru harus aku perjuangkan. Dia adalah seorang Axel Witsel Witzlem.“Pa–pacar? Cih percaya diri sekali kamu?! Sejak kapan Axel Ku punya pacar,” cibir wanita itu lalu melayangkan tatapan pada Axel, “Siapa wanita jelek ini, seenaknya saja ngaku-ngaku pacarmu?!” si wanita tadi pun gak mau kalah denganku melirik pada Axel.Dia berperilaku sama dengan diriku. Mengejek balik.“Dia memegang pacarku. Aku gak ngaku-ngaku. Kamu tanya saja,” jawabku semakin ketus, tapi anehnya Axel masih saja diam.Hih, kok Axel diam sih? Apa dia gak peduli denganku. Kenapa dia gak mau membelaku s
“Lalu? Apa ini?! Aku kan hanya bilang, kau temani dia, bukan kau makan bersama dengannya,” cetus Axel.Ini sudah jelas kalau dia sedang terbakar cemburu.“Ti–tidak, Tuan, mana berani saya seperti itu. Itu … itu …,” Billy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung menjelang dengan serba-salah.“Aku yang menyuruhnya. Bukannya kamu sedang sibuk dengan wanita mu,” sahutku tidak kalah sewot.“Kau?!”“Apa? Mau marah? Kalau mau marah, marah saja padaku. Aku kan bilang, aku kelaparan dan belum sarapan. Aku pikir kamu mau menemaniku, tapi apa coba? Kamu malah mengusirku!” Axel hanya mengeluarkan satu kata, aku membalasnya dengan sikap lebih posesif darinya.Aku berdiri dihadapannya sambil berkacak pinggang. Aku juga kesal karena Axel tidak langsung memberikan penjelasan padaku.Billy hanya memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar saat aku sedang beradu argumen dengan tuannya.Axel menghela napas sebelum melanjutkan ucapan, “Dia, Carol, maksudku, Carolina Herrera, rekan bisnis ku. Aku
“Meski saya jomblo, selera saya ga seburuk itu, Nona!” sahut Billy sedikit kecut, dia hanya melirik dari spion seperti gak ada saringan sama sekali saat berbicara.Dia langsung menolak mentah-mentah niat baikkuAku melihat situasi sedikit tidak sesuai dengan harapan.“Xoxoxo, ingat Billy, karma itu nyata loh. Nanti kamu kena batunya sendiri,” celetukku sedikit menyumpahi.Billy tidak menggubris ucapan dan tetap fokus pada menyetir.“Kami turun di sini saja,” kataku dan sepertinya Renata pun gak keberatan.“Disini? Kamu yakin? Ini masih cukup jauh dari kampus,” Axel yang melihat keluar jendela, karena aku minta berhenti di salah satu taman.“Ga apa, kami mau ngobrol dulu dan aku mau lanjut makan!” kataku sambil menunjukkan box kue yang aku bawa tadi.Axel terlihat tidak rela, tapi dia tidak bisa menolak keinginanku.“Hati-hati, setelah kuliah langsung kabarin aku. Aku akan menjemputmu,” Axel berpesan saat aku membuka pintu mobilnya. Dan mobil melesat pergi.“Jadi, rumor yang tersebar d
“Kau?!” delik Jessy yang merasa harga dirinya dipermalukan apalagi posisinya sekarang mereka sedang ditonton teman sekampus.Apalagi Jessy merasa kalau selama ini Renata tidak akan pernah melawan meskipun dia dihina atau di bully dengan berbagai cara.“Kau boleh menghinaku apa saja, tapi jangan libatkan Regina dalam hal ini. Aku gak pernah memperdayai nya. Regina pun tahu hal itu!” Kali ini Rena tidak akan diam saja. Dia sudah cukup mendapatkan ejekan juga penghinaan dari mereka.“Dasar cewek kampungan kurang ajar. Berani sekali kamu menamparku?” Naik pitam Jessy dan dia tidak terima ditampar oleh Rena.Dengan emosi yang tersulit dan dia juga merespon kembali tamparan Rena dengan membalasnya. Rena pun tidak kalah tinggal diam, ketika ditampar lagi, dia membalasnya.Hingga emosi mereka benar-benar meluap. Semua barang juga tas yang dipegang berserakan di lantai.Sekarang kedua tangan Rena maupun Jessy sudah berada di kepala. Mereka sedang aduk tarik menarik rambut.Aku membekap mulutk
Rena seperti terdiam.“Rena, Aku mohon. Jangan marah lagi. Aku janji nggak akan bertanya apapun yang nggak ingin kamu jelaskan. Aku janji, Rena.”Aku membalikkan tubuhnya.Tubuhnya gemetar dan aku lihat dia menangis.“Maaf, aku nggak akan tanya lagi, beneran. Maafkan aku!” Aku merasa bersalah karena terlalu memaksa dan segera memeluk. Mencoba menenangkan.“Sandinya tanggal lahirmu. Aku, akan berangkat dulu. Kalau butuh apapun kau bisa langsung pesan. Aku sudah transfer uang ke rekening mu. Dan, kalau mau jajan keluar, ini kartunya.”Aku terkejut, Axel menyentuh tanganku. Dia tanpa ragu memberikan kartu hitam padaku.Padahal dia jelas tahu, aku nggak kekurangan uang.“Xel!” Aku menatapnya yang akan pergi.Dia mengganggu, tersenyum dan pergi.Axel nggak ingin mengganggu waktu kami.“Bagaimana kalau kita ngobrol di dalam saja,” ucapku membujuk.Dalam terisak, Rena menatap wajahku sesaat dan mengangguk.Aku membawanya kembali ke apartemen Axel.Apa aku nggak salah dengar. Axel bilang, sa
Rena menunduk. Dia tidak ingin melihat wajah Billy. Jadi, dia seperti pura-pura tidak mendengar.Rena memalingkan wajahnya. Menatap ke jalan.“Dasar. Wanita memang selalu merepotkan!” dengus Billy, mulai memutar setir dan kembali ke apartemen tuannya.Renata sedikit terkejut karena dia hanya mendapatkan pesanku akan dijemput oleh Billy. Tapi, tidak bilang akan mengantarkan ke apartemen.“Kenapa kesini? Aku kan mau ketemu Regina,” cetus Rena. Dia merasa curiga.Billy tidak menjawab, langsung membuka pintu mobil dan memutar jalan untuk membuka pintu Rena.“Aku nggak mau turun!” Ucap Rena berkata, tapi memalingkan wajahnya.“Cepatlah, waktuku bukan hanya mengurus masalah sepele seperti ini!” sahut Billy kecut dan tanpa ba bi bu dia menarik tangan Rena.Rena menolak keluar dan sedikit meronta. Hingga Billy menarik tangannya kasar. Topi Rena pun tidak sengaja terpental karena tarikan kuat tangan Billy.“Huh! Benar-benar merepotkan!” Meskipun mengoceh, Billy memungut topi tadi dan berniat a
“Terluka? Lalu dimana Nick? Dia nggak mengantarmu?” Minna tidak boleh ceroboh.“Mmm, diantar Ma, cuma tadi Nick ada urusan jadi nggak mampir,” Minna berbohong. Dia tidak ingin Martha tahu kalau Nick sudah memukuli nya.“Markus, Mana kotak obatnya!” Teriak Minna dan seorang pelayan lain membawakannya.“Dimana yang sakit? Mama mau bantu?” Martha mengambil kotak obat tadi, ingin membantu anak kesayangannya.“Ga usah, Ma. Hanya luka ringan kok. Biar dia yang membantuku saja,” ucap Minna memberi perintah agar pelayan tadi mengikutinya ke kamar.“Baiklah kalau seperti itu, Mama mau istirahat. Sepertinya malam ini papamu juga lembur,” kata Martha dan segera pergi ke kamarnya.“Cepat bantu Aku!” Kata Minna meminta pelayan yang membawa kotak obat tadi memapahnya ke kamar.Minna membuka resleting belakangnya. Itu sudah sangat terasa perih. Nick pandai sekali kalau soal melukai.Dia tidak mengincar wajah atau bagian tubuh yang terlihat.“Bantu oleskan salep ini dan tutup mulutmu!” Ancam Minna da
Axel membulatkan matanya. Dia sepertinya salah mendengar.Tapi, tanganku menggantung di lehernya hingga Axel tidak punya kesempatan untuk menariknya.“Kau!” decak Axel dengan suaranya yang sudah menderu.“Pelan–pelan, ini yang pertama untukku!”Mata Axel membulat tidak percaya.“Setelah malam ini, jangan pernah berharap ada laki-laki lain yang kamu pikirkan. Hanya boleh ada Aku,” dengusnya.Aku mengangguk pelan. Menyetujui apa perkataannya.“Agh! Emm!” suaraku melenguh berat saat Axel menjulurkan lidah dan mulai memasukkan salah satu milikku ke dalam mulutnya.“Agh! Enak umm teruskan jangan berhenti!” Aku juga ikutan gila. Hawa panas dari mulut Axel yang sedang meng ngenyot terasa nikmat. Apalagi tangan dingin satunya sudah membuat kedua kakiku terbuka dengan lebar.Axel menarik kepalanya. Dia melepas mulutnya yang sedang asik menyusu padaku.“Kau benar-benar gadis nakal. Berani sekali kau menunjukkan wajah seperti itu. Awas saja kalau kau berani tunjukkan ke yang lain, Aku patahkan k
“Hust! Jangan asal bicara. Pasti selera dan pilihan tuan Rick bukan sepertiku,” kata Rena menjawab dengan tegas.“Kalau dia suka, kamu memang akan menolaknya?” kataku penasaran, tapi masih ada telinga lain yang penasaran dan melirik dari kaca spion.Billy terlihat mendengus ketika mendengar Renata bercerita.“Dasar wanita penggoda!” Umpat Billy dalam hati.“Gak gitu, Regina. Aku gak terlalu suka dengan cowok dewasa,” cetus Rena sedikit malu–malu saat berkata.“Mmm … maksudnya kamu si Rick, Rick itu lebih tua dan duda ya?” selidikku sambil melirik aura wajah Rena yang tersipu malu.“Hehehe, gak perlu dijelaskan juga sih. Tapi, tuan Rick memang sangat baik dan ramah. Dia itu bisa dibilang tipe cowok ideal setiap cewek. Dia yang matang dan sukses. Mmm … mungkin saja kalau aku sering bertemu dengannya bakal tertarik,” Rena akhirnya sedikit mengakui kekagumannya.Saat berkata seperti itu tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak dan membuat kami hampir terbentur kursi. Lebih tepatnya, Axel s
“Aku ganti baju dulu ya!” kata Rena berkata dengan bahasa isyarat saat dia telah selesai mengantar tamu yang tadi.Aku menjawab dengan mengangkat tangan membentuk bulatan ditangan seperti menjawab ok padanya.Saat kulihat jam di tangan Axel menunjukkan pukul 7 malam. Aku jadi sempat melamun sebentar ketika memikirkan Rena.Dia benar-benar gadis pekerja keras. Dia mengatur jadwal kerja paruh waktu dengan kuliah.Tapi, kehidupan Rena dengan aku yang dulu tidak jauh berbeda. Meskipun aku terlahir dikeluarga berkecukupan, namun itu gak menjamin kehidupanku nyaman.Meski dulu aku tidak bekerja keras seperti Rena, tapi seluruh keuangan keluarga diatur oleh ayah juga ibu tiriku. Aku bahkan tidak bebas menggunakan apa yang seharusnya sudah menjadi milikku.“Ada apa? Kenapa kamu melamun?” Axel menyadarinya. Aku tetap tidak benar-benar terlihat bahagia meski bersama dengannya.Axel mengusap pipiku, membuatku tersadar dari lamunan.“Oh, ga apa-apa,” jawabku singkat.Aku merasa tidak perlu menca
Aku segera turun dan berlari saat mobil berhenti di parkiran cafe tempat bekerja paruh waktu Renata.Sebelum Billy sempat membuka, dia kembali dikejutkan dengan sikapku yang benar-benar diluar prediksi BMG.Begitupun dengan Axel, meskipun dia tahu aku berbohong. Dia tidak membongkarnya.Dia seolah ingin mengikuti semua permainanku dengan setia.“Tuan, saya rasa Nona Regina sedang membuat rencana lain,” kata Billy yang berkomentar lebih dulu saat berjalan berdampingan dengan tuannya.“Tutup mulutmu. Dia itu istriku jadi jaga bicaramu,” kata Axel tanpa ragu mengatakan juga mengulangi ucapanku.Billy menoleh seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan tuannya.“Jangan membantah, apa yang dia katakan adalah sama halnya dengan perintahku!” dengus Axel melengkapi segala ketidak pastian saat aku berbicara asal-asalan.Dengan begitu, Billy tidak punya alasan untuk menolak permintaan dariku.“Huh, benar-benar gila. Tuan sudah kerasukan cinta nona Regina. Tuan tetap harus waspada, siapa tahu
Bruk! Nick mendorong tubuh pengawal hingga tersungkur dan dia pergi karena sudah mendapatkan penghinaan dariku.Tubuhku sedikit bergetar dan aku menarik nafasku dalam-dalam. Axel pasti menyadari kalau aku sedang tertekan dengan situasi tadi.Dia hanya melihat wajahku yang memerah, bukan karena sikap Axel yang menggodaku, melainkan aku memang sedang melampiaskan kemarahan.“Ahhh!!”Aku kaget, Axel mengangkat tubuhku, “Kau harus bertanggung jawab. Aku gak akan membiarkan kamu pergi sebelum aku puas,” bisik Axel saat ingin melangkahkan kakinya dan mataku membulat seketika.Aku tahu, aku yang salah karena sudah menyalakan api miliknya.Lalu dia memberikan tatapan tajam padaku, “ini semua sudah atas persetujuan kamu ya, kamu bilang tadi, aku boleh menghukummu dan kamu gak akan protes!” cetusnya sedang menagih janji.“Ahh … Axel!” ucapku lalu membenamkan wajahku karena malu. Aku sudah merasakan berkali-kali kalau aku yang terlalu proaktif padanya.“Lihat saja, malam ini aku gak akan membi
“Berisik!”Aku memutar posisiku, tapi sama sekali enggan turun dari pangkuan Axel.“Re–Regina, kemarilah sayang, kita perlu bicara,” Nick mencoba menahan semua penghinaan.Aku tahu dia menahan semua karena masih tidak ingin kehilangan pulau uang di hadapannya.“Billy, apa kamu menemukan barang-barangku yang terjatuh?” ucapku mengarahkan pandangan pada Billy.“Sebentar Nona Regina,” kata Billy menjawab dan meminta salah seorang dari pengawal memberikan apa yang ditemukan di lorong tadi.“Yang ini, Nona?”Billy memberikan buket bunga Lily yang sudah rusak dan satu paperbag yang berisi hadiahku untuk Axel.“Ya ampun, bunganya jadi rusak. Ini gara-gara mereka,” sahutku kecut dan seolah mengabaikan keberadaan Nick.Tangan Nick terkepal semakin erat, dia tidak menyangka kalau apa yang dilihatnya sekarang adalah benar-benar diriku yang berbeda.“Sayang, aku mohon, tolong kemarilah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik!” kata Nick seraya tidak terima aku bersikap acuh tak acuh.Aku menarik senyu