Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar malam itu, menggema dan menyebar di dalam laboratorium yang sunyi. Ayesha saat itu tengah memeriksa kembali data hasil eksperimen pada layar komputer ketika ketukan dari arah pintu menginterupsi konsentrasinya. Mulanya, dia berpikir bahwa itu adalah ilusi semata, tetapi terbantah sudah ketika ketukan itu terdengar lagi, lebih keras dan semakin jelas. Berangkat dari separuh keraguan, Ayesha melepaskan diri dari kursi, langkah-langkah pelan dituntun menuju sumber suara. Pertanyaannya cuma satu.
Siapa gerangan yang akan mencarinya di tempat terpencil seperti ini?
Dan faktanya hanya segelintir orang saja Ayesha yakin mengetahui keberadaan laboratorium independen kecil barunya ini.
Saat kenop pintu diputar dan pintu tertarik ke dalam, Ayesha kaget bukan kepalang menangkap sosok Daren berdiri di hadapannya. Pria yang saat ini sudah mencapai mimpinya dulu mengenakan jas gelap yang mengkilap, rambut disisir rapi ke belakang, seperti biasa menunjukkan citra dan aura sempurna untuk seorang politisi ambisius. Ayesha hampir tak mengerjap. Kali ini, Daren datang dengan sesuatu yang berbeda pada tatapan matanya — suatu kelembutan palsu yang nyaris menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap di sana.
“Ayesha,” sebut Daren, suaranya lembut diselimuti ketegasan, “kau terlihat baik, rasanya sudah lama, ya?”
Pertanyaan mencurigakan Daren tak langsung menjawab Ayesha. Dia masih menatap pria itu dengan mata tajam, memperhitungkan lebih dulu setiap gerak-geriknya,
"Kamu mau apa disini, Daren? bagaimana caranya bisa menemukan tempat ini?"
Bibir Daren melengkung tipis, senyum yang sebelumnya sempat membuat Ayesha merasa aman, tetapi tidak lagi sekarang. Perangai itu hanya meninggalkan rasa curiga.
“Aku selalu punya cara, kurasa kau tahu itu, Aku datang hanya karena ingin bicara, itu saja, Ayesha.”
Merasa ada yang tidak beres, tangan Ayesha menyilang di dada, ia tetap berdiri di ambang pintu sama sekali tak membiarkan Daren melangkah lebih jauh,
“Kalau begitu bicarakan saja di sini, waktuku tidak untuk permainanmu,”
“Terimakasih Ayesha, aku sebenarnya tidak ingin membuat rumit keadaan, aku merasa kita perlu menyelesaikan apa yang belum selesai,”
“Selesai?” Ayesha tertawa kecil tanpa kebahagiaan, “bagiku semuanya sudah selesai, Daren, ketika kau lebih memilih seorang wanita kaya yang keluarganya mendanai ambisi politikmu dan mencampakkan aku, lalu apa lagi yang belum selesai?”
Daren menutup mulutnya sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diluncurka,
“Aku tahu aku yang salah, aku minta maaf telah menyakitimu, tapi Ayesha, aku seperti tidak punya pilihan lain waktu itu, kau tahu bukan betapa pentingnya posisi ini untukku?”
“Kau bilang tidak punya pilihan, Daren?” nada suara Ayesha tanpa sadar semakin meninggi, matanya berkilat penuh emosi, “Apa perlu aku beritahu jika semua ini tentang pilihan, pertama, kau memilih kariermu, kedua, kekuasaan, dan ketiga kau memilih untuk menelantarkan aku, so stop saying you didn’t have choices!”
Tampaknya Daren mulai terguncang, tetapi dengan segera mendapatkan kembali dirinya,
“Saat itu kau tidak mengerti dengan tekanan yang aku alami, Ayesha, semua orang berharap begitu banyak dariku, keputusan yang harus aku buat sangat sulit,”
“Keputusan yang sulit, ya? Aku itu orang yang selalu ada untukmu, Daren, di balik ide dan rencana program sosial yang kamu ajukan untuk menarik PA, aku juga yang mencarikan data riil untuk memperkuat argumenmu, pidatomu supaya apa yang keluar dari mulut politikus ini berkesan di mata orang-orang, tak sampai disitu aku bahkan mengesampingkan karierku sendiri untuk mendukung ambisimu, jadi, jangan berani lagi bicara padaku tentang keputusan sulit,” suara Ayesha bergetar, bukan masalah takut, tetapi kemarahan dan kekecewaan yang membuncah.
Dan untuk pertama kalinya, Daren terlihat kehabisan kata-kata. Kepalanya tertunduk. Dia menarik napas panjang sebelum mengangkat tatapannya kembali ke mata Ayesha,
“Aku ke sini tidak untuk memperdebatkan masa lalu, Ayesha, aku di sini karena aku butuh bantuanmu.”
Kata-kata itu hanya membuat Ayesha diam. Dia memandang Daren tanpa sorot percaya sedikitpun,
“Bantuan?” ulangnya dengan suara yang terdengar dingin, “setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau datang untuk meminta bantuan? sepertinya kau memang batu,”
“Aku tahu, Ayesha, aku tahu aku tidak pantas untuk meminta apapun darimu,” Daren melanjutkan, “tapi kini situasinya sedang rumit, ada isu lingkungan yang mempengaruhi salah satu distrik tempatku memimpin CDC, dan aku pikir kau mungkin selalu punya solusi,”
Kening Ayesha berkerut pecah antara rasa penasaran dan kemarahan,
“Isu lingkungan? sepertinya kau terlalu bodoh sampai berpikir aku akan begitu saja membantumu, kau benar-benar tidak tahu malu, Daren,”
“Ayesha, dengar! ini bukan hanya tentang aku, melainkan tentang ribuan orang yang bergantung padaku sebagai pemimpin mereka, aku tahu betul kau adalah ilmuwan terbaik di bidang ini, apabila ada seseorang yang bisa membantu, yaitu adalah kau, Dr. Ayesha Al-Farisi,”
Perkataan Daren, meskipun terdengar tulus membuat Ayesha semakin curiga. Dia tahu, Daren terlalu pintar untuk tidak memanipulasi keadaan demi kepentingan pribadi.
“Kau hanya peduli dengan citra dan reputasi, bukan? jika aku membantu, dengan begitu kau bisa menyelamatkan wajahmu di depan para councils, maka dari itu aku tidak akan mau jatuh ke dalam jebakan, Daren.”
“Ayesha, tolonglah,” pinta Daren dengan nada memohon, sesuatu yang jarang dia tunjukkan, “Aku tahu aku tidak layak untuk mendapatkan pertolongan darimu, tapi setidaknya tolong pertimbangkan kali ini, tidak untuk aku, tetapi untuk orang-orang yang memerlukan solusi,”
Ayesha diam, memutar kata-kata Daren dalam kepalanya. Bagian dirinya yang penuh rasa dendam ingin menolak mentah-mentah, tetapi di sisi perannya sebagai scientist merasa tergelitik oleh permasalahan yang dibawa Daren. Namun, dia tidak tahu apakah masih bisa mempercayai pria ini begitu saja. Daren selalu saja punya agenda tersembunyi.
“Aku akan memikirkannya,” kata Ayesha akhirnya, suaranya datar, “tapi jangan berharap terlalu banyak,”
Daren mengangguk pelan, senyumnya kembali muncul,
"Itu sudah lebih dari cukup, Ayesha, aku betul-betul menghargainya,"
Ketika Daren berbalik hingga akhirnya pergi, Ayesha mendorong pintu dengan pelan, lalu bersandar pada dinding. Nafasnya berat, dadanya sesak akibat berbagai emosi yang campur aduk. Dia merasa seperti terjebak dalam pusaran masa lalu yang berusaha dia tinggalkan, tetapi tidak pernah benar-benar pergi.
Ayesha kembali berjalan ke meja, menatap tawon-tawon di kandang kaca. Mereka tampak gelisah, bergerak dengan energi tak biasa.
"Kalian tahu, dia tidak berubah," gumam Ayesha kepada serangga-serangga itu, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, "dia masih sama, manipulatif dan penuh tipu daya,"
Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini belum berakhir. Daren telah menyibak tirai konflik yang lebih besar dan Ayesha bisa merasakan bahwa masa depan yang dia coba bangun akan segera terguncang.
Hari-hari berlalu sejak percakapan di balkon itu, tetapi suasana di antara Ayesha dan Alexei berubah. Tidak ada yang secara terang-terangan mengakuinya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alexei memperlakukannya. Sesuatu yang lebih halus dari kata-kata, sesuatu yang nyaris tak terlihat kecuali bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Ayesha menyadarinya dalam gestur kecil. Cara Alexei selalu memastikan dia berjalan di sisi dalam trotoar ketika mereka keluar dari markas, seolah-olah secara naluriah melindunginya dari kemungkinan ancaman. Cara dia secara tidak langsung memerintahkan anak buahnya untuk tidak mengganggunya saat dia bekerja di laboratorium, memastikan bahwa Ayesha memiliki ruangnya sendiri. Bahkan dalam rapat strategi yang paling serius, Alexei selalu memastikan dia mendapatkan informasi terlebih dahulu sebelum yang lain.Awalnya, Ayesha menganggapnya sebagai bagian dari kontrol Alexei terhadap proyek ini. Dia mengira itu hanya bentuk kepastian bahwa semuanya
Malam telah menggurita, menyelimuti Singapura dengan keheningan yang nyaris magis. Ayesha melangkah pelan menuju balkon markas Alexei, napasnya mengikuti irama angin yang berhembus lembut, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Udara malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi tiada menusuk—sebaliknya, ada ketenangan yang merayap di antara gemerlap lampu kota yang membentang luas di bawah sana, seolah-olah ribuan bintang jatuh dan berpendar di bumi.Dia menyandarkan tangannya di pagar besi, jemarinya menggenggam erat dinginnya logam, membiarkan pikirannya berkelana. Sorot matanya menangkap siluet gedung-gedung pencakar langit yang berdiri angkuh, tetapi bagi Ayesha, itu hanyalah latar belakang dari gejolak yang berkecamuk di hatinya. Begitu banyak hal yang ingin dia lupakan, tetapi semuanya justru semakin nyata di bawah langit yang mendung ini.Langkah berat mendekat dari belakang, menghancurkan keheningan yang sempat menjadi pelarian. Ayesha tidak perlu berbalik untuk
Ayesha duduk di tepi ranjang medis kecil di sudut laboratorium itu, tubuhnya dilingkupi bayang-bayang lampu neon yang suram. Cahaya redup lampu seperti mengungkap setiap garis kelelahan di wajahnya, sementara napasnya berhembus pelan, terputus-putus seperti angin lemah yang berusaha menembus celah pintu yang rapat. Matanya menatap dinding putih di hadapannya, kosong, tak peduli pada retakan kecil di sudut atas yang biasanya menarik perhatiannya. Sekarang, dunia serasa melambat, penuh dengan gema sunyi dari rasa sakit dan bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu.Bahunya yang terluka masih terasa menyengat, seperti api yang tak kunjung padam, membakar setiap saraf yang dilaluinya. Kulit di sekitar luka itu memerah, membengkak dengan brutal, meski sedikit demi sedikit efek dari serum penawar racun—buah kerja kerasnya selama berbulan-bulan—mulai mengurangi penderitaannya. Namun, bukan luka di bahu
Laboratorium bawah tanah itu dipenuhi suara dengungan rendah yang semakin lama semakin intens. Cahaya dari layar komputer memantulkan serangkaian data yang terus diperbarui, memperlihatkan grafik perubahan respons Vespa mandarinia terhadap sinyal feromon terbaru yang dikembangkan Ayesha. Dengan napas tertahan, Ayesha berdiri di depan kandang kaca, menatap tajam puluhan tawon yang diam di dalamnya, seolah menunggu aba-aba.Dia menggeser kursor pada layar sentuh dan menekan tombol aktivasi. Gas feromon baru mulai menyebar di dalam kandang, tidak berwarna, tidak berbau bagi manusia, tetapi memiliki dampak luar biasa bagi makhluk-makhluk kecil itu. Awalnya, mereka tetap diam. Lalu, dalam hitungan detik, tubuh mereka mulai bergerak, sayap mereka bergetar lebih cepat, dan antena mereka bergoyang seolah-olah merespons sesuatu yang tidak kasatmata.Ayesha mengamati dengan saksama sambil bergumam, “Sempurna!”Namun, sebelum dia bisa menarik kesimpulan lebih jauh, sesuatu yang tidak terduga te
Ruang pertemuan di markas Alexei dipenuhi oleh atmosfer yang tegang, seolah-olah setiap molekul udara membawa beban dari rencana besar yang akan segera dieksekusi. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni gelap terlihat kokoh dan berwibawa, di atasnya terbentang peta kota Singapura dengan detail yang luar biasa. Peta tersebut tidak hanya menampilkan jalan-jalan utama dan kawasan penting, tetapi juga ditandai dengan titik-titik merah yang menandakan area potensial untuk eksekusi Operasi Vespa—sebuah proyek rahasia yang akan mengubah keseimbangan kekuasaan di kota ini.Ayesha berdiri di salah satu sisi meja, mengenakan setelan formal yang rapi namun sederhana. Matanya yang tajam dan penuh konsentrasi mengamati setiap titik merah di peta, memetakan setiap langkah yang harus diambil. Wajahnya yang cantik namun tegas menunjukkan determinasi yang tidak goyah, mencerminkan beban
Malam semakin larut di laboratorium bawah tanah, suasana sunyi terasa mencekam. Lampu neon yang bersinar redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, memberikan kesan suram pada ruangan tersebut. Di sudut ruangan, Ayesha duduk di depan layar komputer yang berkedip-kedip dengan cepat, matanya meneliti data yang terus berganti. Mata tajamnya memindai setiap informasi yang muncul, mencari jawaban dari anomali yang mulai terjadi. Jari-jarinya bergerak dengan kecepatan tinggi, mengetik sederet kode dan perintah, mencoba menemukan pola dalam data yang tidak biasa ini.Di meja di depannya, ada beberapa kandang kaca berisi tawon Vespa mandarinia, yang bergerak dengan gelisah. Perilaku mereka aneh, tidak seperti biasanya. Tawon-tawon itu tidak hanya merespons perintah feromon dengan lebih lambat, tetapi beberapa di antara