Langit malam kian larut saat Ayesha menangkap suara langkah kaki yang berat dengan telinganya mendekat ke pintu laboratorium. Pintu yang seharusnya tidak mudah ditemukan, terlebih oleh orang luar. Rasa curiga langsung menjalari tubuhnya, memicu degup jantung lebih cepat. Tatapannya tertuju ke pintu dengan kening berkerut, layar komputer berisi data eksperimen tawon yang menjadi fokusnya sedari tadi terabaikan.
Ketukan semakin keras terdengar, tidak seperti ketukan biasa. Terdapat irama tertentu yang berkesan, seperti seseorang yang ingin menunjukkan kehadirannya tanpa ragu. Ayesha memilih berjalan pelan ke arah pintu, terhenti sejenak sebelum membukanya. Dengan nafas tertahan, dia memberanikan diri untuk membuka pintu sedikit, sekilas untuk melihat wajah yang belum pernah dikenalnya. Sosok itu tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terkesan mahal. Mata dengan iris birunya tajam dan menusuk, menatap langsung ke arah Ayesha.
“Ayesha Al-Farisi?” ujarnya dengan suara dalam yang tegas, hampir terdengar seperti perintah ketimbang pertanyaan.
Ayesha memiringkan kepalanya sedikit, mengukur pria di depannya,
"Maaf, siapa Anda, dan bagaimana Anda bisa menemukan tempat ini?" tanyanya dengan nada dingin, meskipun di dalam dadanya masih tersimpan ketegangan.
Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang sedikit tidak ramah,
"Nama saya Alexei Romanov, saya datang kesini untuk membicarakan sesuatu yang sekiranya menarik minat kita berdua,"
Ayesha tak langsung merespons, nama itu terdengar asing di telinganya tetapi mengandung aura ancaman sekaligus. Sempat terlintasnya di pikirannya untuk segera menutup pintu dan bersikap abai, lagi pun ia tak terlalu peduli dengan orang asing. Tetapi ada sesuatu dalam cara bicaranya yang memunculkan keraguan dalam diri Ayesha.
“Bagaimana Anda bisa menemukan saya?” ulang Ayesha, kali ini dengan nada dibuat sedikit lebih tajam.
“Saya selalu punya cara dan sumber daya, Nona Ayesha, tidak ada yang benar-benar tersembunyi jika seseorang tahu di mana harus mencari, dan Anda... Anda adalah sosok yang menarik perhatian banyak pihak,” jawab Alexei sambil mengambil langkah lebih dekat ke pintu.
Sebaliknya Ayesha memilih langkah mundur, tetapi tak sempat menutup pintu. Dia memandangnya dengan waspada.
"Jika Anda tahu siapa saya, maka Anda pasti tahu bahwa saya tidak tertarik pada persoalan seperti ini."
Alexei tertawa kecil, sebuah tawa rendah yang penuh ironi,
"Persoalan? Anda salah paham, saya kesini bukan untuk menyulitkan Anda, melainkan, saya ingin menawarkan sesuatu yang hanya bisa Anda dapatkan melalui saya," lagak pria di depan pintu.
"Lalu apa maksudnya?" Ayesha memandangnya dengan mata menyipit.
Sontak Alexei menyerahkan sebuah amplop kepada Ayesha yang dikeluarkan dari saku jas. Dengan ragu-ragu, Ayesha mengambil dan membukanya. Dari dalam sana, ada beberapa foto — gambar laboratorium Ayesha, diagram genetik, bahkan foto close-up salah satu tawon Vespa mandarinia yang sedang dia teliti. Ayesha merasa darahnya mendidih dan berkumpul di kepala, tapi tak segan menguap,
"Anda memata-matai saya?" tanyanya tajam, suaranya penuh kemarahan.
“Sebagai sosok yang cerdas, Anda pasti tahu dunia tidak sepenuhnya tertutup,” jawab Alexei tenang, “yang saya lakukan hanya untuk memastikan penelitian Anda benar-benar sebaik yang saya dengar, dan saya memang perlu mengakui, saya terkesan,"
“Anda tidak punya hak untuk menyentuh pekerjaan saya,” balas Ayesha sambil mengepalkan tangan, dirinya berusaha menahan dorongan untuk membanting pintu di wajah pria itu.
“Saya tidak menyentuhnya,” Alexei menyela sambil menggeleng, “saya hanya mengamati dan memastikan bahwa karya luar biasa ini tidak berakhir sia-sia, Anda tahu seberapa besar potensi hewan-hewan itu, bukan?"
Ayesha tetap diam, tidak dengan pikirannya yang berputar. Dia tahu eksperimennya berkembang begitu pesat, jauh seperti rumusan hipotesis awal. Tetapi dia sama sekali tidak pernah berniat menjadikannya lebih dari sekadar penelitian ilmiah. Sampai pria ini datang dan menawarkan sudut pandang berbeda — pandangan yang mengeluarkan bau-bau bahaya.
“Apa yang Anda mau, Sir?” tanya Ayesha akhirnya, suaranya kini lebih tenang meskipun penuh kecurigaan.
“Kerja sama,” jawab Alexei singkat, “saya ingin bantuan Anda menciptakan sesuatu yang dahsyat, sesuatu yang bisa mengubah serta melampaui tatanan kekuasaan di kota ini,”
Tatapan Ayesha berubah penuh penolakan sesaat mendengar jawaban tersebut,
"Tapi sebenarnya saya bukan orang yang tertarik dengan politik atau semacamnya,"
Alexei mencondongkan sedikit tubuhnya, matanya bersinar dengan intensitas yang tidak mudah dijelaskan,
"Anda mungkin tidak peduli, tapi lihatlah balik kepada diri Anda, penciptaan makhluk yang tidak hanya bertahan, tetapi juga mendominasi, sepertinya Anda tahu bahwa hewan-hewan itu lebih dari sekadar eksperimen, mereka lebih pantas disebut senjata,"
Perkataan itu membuat Ayesha terdiam. Dia tidak ingin membenarkan apa yang dikatakan Alexei, tetapi dia tahu bahwa pria itu ada benarnya. Vespa mandarinia termodifikasi memiliki potensi besar, lebih dari yang dia mau akui kepada siapapun, termasuk dirinya sendiri.
“Lalu apa benefit yang bisa Anda tawarkan?” tanyanya akhirnya, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap netral.
Alexei tersenyum, kali ini lebih hangat tetapi penuh rahasia,
"Kebebasan, kekuasaan, serta kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia apa yang sebenarnya bisa Anda lakukan."
Ayesha merasa terguncang. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menolak tawaran itu mentah-mentah, tetapi ada juga bagian yang penasaran, terpengaruh oleh tawaran yang diberikan Alexei. Dia tahu tidak bisa mengambil keputusan dengan mudah, tetapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk mendengarkan lebih jauh.
“Baiklah,” katanya pelan, hampir seperti bisikan, “katakan lebih banyak,"
Alexei tersenyum puas, setidaknya dia telah berhasil mengambil perhatian Ayesha,
"Saya tahu Anda akan menyadari potensi itu, tapi yang kita perlukan adalah berbicara di tempat lain, bukan di sini,"
Ayesha mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Dia tahu jika mengiyakan tawaran ini sama saja membuka pintu ke dunia lain yang tak pernah ada di bayanganya sebelum ini. Tetapi, setelah semua yang telah dia lalui, mungkin inilah kesempatan untuk mengambil kendali dengan cara yang berbeda. Meskipun dia tidak sepenuhnya percaya pada Alexei, pria itu telah menyentuh sesuatu yang selama ini dia coba sembunyikan — ambisi yang jauh lebih besar dari sekadar eksperimen di laboratorium kecilnya.
Pagi hari setelah serangan di Bukit Merah dimulai dengan keheningan yang tak wajar. Matahari menyinari kota dengan kilau keemasan, namun tak ada yang menyambutnya seperti biasa. Jalan-jalan utama di sekitar distrik selatan terlihat kosong, dan suara kendaraan yang biasanya padat pada pukul tujuh pagi kini nyaris lenyap, digantikan bisik-bisik ketakutan yang menyebar seperti asap. Di layar-layar digital yang terpampang di berbagai sudut kota, berita utama muncul serentak ‘Serangan Tawon Misterius Hantam Bukit Merah, Puluhan Luka-Luka, Tiga Korban Jiwa’. Tayangan drone yang bocor di media sosial menunjukkan gambar yang mengerikan, seseorang tergeletak dengan wajah lebam dan tubuh bengkak, suara dengungan berat terdengar samar-samar di latar video.Bandara Changi langsung menghentikan seluruh jadwal penerbangan domestik dan internasional untuk sementara waktu,“Langkah preventif terhadap potensi penyebaran spesies agresif,” begitu penjelasan dari Departemen Pertahanan Hayati Singapura.
Langit di atas distrik Bukit Merah malam itu dipenuhi awan pekat yang menyelimuti lampu kota dengan kabut lembab dan suram. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyadari bahwa sesuatu yang tak biasa akan terjadi. Di tengah keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara kendaraan larut malam, ada bayangan bergerak cepat di balik gedung tua yang telah lama terbengkalai. Di dalam bangunan itu, tersembunyi dari pandangan publik, Ayesha berdiri di depan sebuah kapsul transparan berbentuk bulat, dikelilingi alat kontrol feromon dan layar pemantau termal. Di dalam kapsul itu, ratusan Vespa mandarinia hasil modifikasi berdesakan dengan tubuh gemuk, sayap berdenyut pelan, dan mata yang menyala kemerahan dalam gelap. Mereka seperti mesin biologis yang tengah menunggu perintah untuk dilepas.“Target dalam radius 1.8 kilometer, populasi malam hanya 27 persen dari kapasitas siang hari, minim gangguan sipil,” ujar seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan headset komunikasi. N
Hujan deras mengguyur kota Singapura malam itu, menimbulkan ritme monoton yang menggema di dinding kaca markas Alexei. Langit malam menggantung kelam, menyisakan sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan. Di dalam ruangan yang temaram, Ayesha berdiri dengan tubuh kaku, menatap pria di depannya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Nafasnya masih sedikit tersengal setelah kejadian di luar sana—kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi, tetapi justru mengubah segalanya.Beberapa jam sebelumnya, Ayesha hampir kehilangan nyawanya. Dia sedang dalam perjalanan menuju laboratorium ketika sebuah mobil hitam tanpa plat nomor tiba-tiba melaju kencang ke arahnya. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya reaksi insting yang membawanya menghindar tepat sebelum mobil itu menabraknya.Tapi dia tidak cukup cepat—bahunya menghantam keras trotoar, membuatnya terseret beberapa meter di atas aspal yang basah. Kesakitan yang menusuk membuat kepalanya berputar, dan saat itulah dia melihat seseorang keluar
Hari-hari berlalu sejak percakapan di balkon itu, tetapi suasana di antara Ayesha dan Alexei berubah. Tidak ada yang secara terang-terangan mengakuinya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alexei memperlakukannya. Sesuatu yang lebih halus dari kata-kata, sesuatu yang nyaris tak terlihat kecuali bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Ayesha menyadarinya dalam gestur kecil. Cara Alexei selalu memastikan dia berjalan di sisi dalam trotoar ketika mereka keluar dari markas, seolah-olah secara naluriah melindunginya dari kemungkinan ancaman. Cara dia secara tidak langsung memerintahkan anak buahnya untuk tidak mengganggunya saat dia bekerja di laboratorium, memastikan bahwa Ayesha memiliki ruangnya sendiri. Bahkan dalam rapat strategi yang paling serius, Alexei selalu memastikan dia mendapatkan informasi terlebih dahulu sebelum yang lain.Awalnya, Ayesha menganggapnya sebagai bagian dari kontrol Alexei terhadap proyek ini. Dia mengira itu hanya bentuk kepastian bahwa semuanya
Malam telah menggurita, menyelimuti Singapura dengan keheningan yang nyaris magis. Ayesha melangkah pelan menuju balkon markas Alexei, napasnya mengikuti irama angin yang berhembus lembut, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Udara malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi tiada menusuk—sebaliknya, ada ketenangan yang merayap di antara gemerlap lampu kota yang membentang luas di bawah sana, seolah-olah ribuan bintang jatuh dan berpendar di bumi.Dia menyandarkan tangannya di pagar besi, jemarinya menggenggam erat dinginnya logam, membiarkan pikirannya berkelana. Sorot matanya menangkap siluet gedung-gedung pencakar langit yang berdiri angkuh, tetapi bagi Ayesha, itu hanyalah latar belakang dari gejolak yang berkecamuk di hatinya. Begitu banyak hal yang ingin dia lupakan, tetapi semuanya justru semakin nyata di bawah langit yang mendung ini.Langkah berat mendekat dari belakang, menghancurkan keheningan yang sempat menjadi pelarian. Ayesha tidak perlu berbalik untuk
Ayesha duduk di tepi ranjang medis kecil di sudut laboratorium itu, tubuhnya dilingkupi bayang-bayang lampu neon yang suram. Cahaya redup lampu seperti mengungkap setiap garis kelelahan di wajahnya, sementara napasnya berhembus pelan, terputus-putus seperti angin lemah yang berusaha menembus celah pintu yang rapat. Matanya menatap dinding putih di hadapannya, kosong, tak peduli pada retakan kecil di sudut atas yang biasanya menarik perhatiannya. Sekarang, dunia serasa melambat, penuh dengan gema sunyi dari rasa sakit dan bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu.Bahunya yang terluka masih terasa menyengat, seperti api yang tak kunjung padam, membakar setiap saraf yang dilaluinya. Kulit di sekitar luka itu memerah, membengkak dengan brutal, meski sedikit demi sedikit efek dari serum penawar racun—buah kerja kerasnya selama berbulan-bulan—mulai mengurangi penderitaannya. Namun, bukan luka di bahu