Share

03. Laboratorium

Author: ime-chan
last update Last Updated: 2025-01-22 20:00:41

Sebuah laboratorium kecil yang bertempat di lantai dasar gedung tua itu ibarat tempat perlindungan bagi Ayesha dari dunia luar. Di sana, dia merasa bisa mengontrol semuanya, sebuah kontras tajam dari perasaan tidak berdaya yang menghantuinya sejak pengkhianatan Daren. Akan tetapi suara hujan yang mengetuk jendela menyadarkan bayangan masa lalu tentang Daren yang belum benar-benar meninggalkannya. Daren masih hadir, bukan sebagai kenangan manis, melainkan sebagai luka terbuka yang senantiasa mengganggu pikirannya.

Ayesha berdiri di depan kandang kaca, tawon-tawon raksasa hasil eksperimennya terkurung di dalam. Vespa mandarinia, dengan tubuh besar hitam-oranye berkilauan terkena pantulan cahaya lampu, terlihat layaknya simbol kekuatan dan ketangguhan yang ia inginkan. Dia melihat mereka dengan perasaan campur aduk, antara kekaguman pada kehebatan makhluk itu dan kebencian yang dia projeksikan dari rasa sakit di hatinya. 

"Kalian tidak akan pernah dikhianati oleh siapa pun, apa pun" gumamnya pelan, seolah berbicara kepada tawon-tawon itu, "Kalian diciptakan untuk defend."

Namun, di sisi lain dari Ayesha tak berhenti mempertanyakan apa yang sedang dia lakukan. Memorinya berputar ketika dia terbangun dengan keringat dingin, bermimpi tentang perdebatan terakhirnya dengan Daren. 

"Aku butuh dukungan mereka agar bisa bisa membangun reputasi lebih," suara Daren bergema di kepalanya, dingin dan tanpa emosi. 

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang dia harapkan. Rupanya Daren sudah berjaya tidak hanya mengkhianati perasaannya, tetapi juga memadamkan semua nilai yang dia rasakan sebagai bagian dari hubungan mereka.

Dia meraih buku catatan di meja kerja dan membuka diagram genetik dan catatan detail tentang eksperimen yang memenuhi halaman-halaman. Ada sesuatu yang obsesif pada caranya menulis. Coretan-coretan pena di sana menuangkan dorongan tidak sehat untuk menciptakan sesuatu yang sempurna, sesuatu yang tidak hanya kuat tetapi juga tak terkalahkan. Vespa mandarinia yang dimodifikasi di laboratorium Ayesha bukan sekedar tawon biasa. Mereka adaptif dengan lingkungan ekstrem, baik itu panas menyengat sampai suhu dingin yang menusuk tulang sekalipun. Ditambah lagi mereka resisten terhadap hampir semua jenis insektisida, sebuah pencapaian yang Ayesha sendiri merasa terlalu besar untuk dapat dipercaya.

Tapi, tunggu, mengapa dia melakukannya? 

Pertanyaan itu sering menghantuinya, terutama saat malam-malam sepi seperti ini. Apakah dia menciptakan ini untuk ilmu pengetahuan? Untuk membuktikan dirinya sebagai ilmuwan? 

Apakah ada bagian dari dirinya yang hanya ingin menciptakan kekuatan yang bisa dia gunakan untuk membalas dunia yang telah menyakitinya? 

Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dia jawab dengan spontan saat itu bermunculan. Ayesha pergi menutup matanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu, tetapi siapa sangka perasaan bersalah dan kemarahan malah terus membesar di dalam dirinya.

‘Ting-’

Suara dentingan kaca memecah keheningan. Ayesha menoleh dan mendapati salah satu tawon besar menabrak dinding kandang kaca. Serangga itu terus mencoba, sayapnya berdengung keras, menghasilkan getaran yang hampir seperti ancaman. Ayesha mendekat, memperhatikan serangga itu dari balik kaca. "Kau tidak menyerah, ya?" katanya dengan nada datar,  "mungkin aku bisa belajar sesuatu darimu."

Tapi belajar apa? - Ayesha berpikir.

Ketangguhan? Ketidakenakan? Ujung jarinya menyentuh kaca kandang, terasa seperti ada koneksi aneh antara dirinya dengan makhluk itu (si tawon). Dia pernah merasa seperti mereka yang di dalam kandang, terkurung dalam situasi yang tak bisa dia kendalikan dengan dirinya sendiri, mencoba lepas tapi selalu gagal. Bedanya, sekarang, dia telah memegang kendali. Atau setidaknya, itulah yang dia yakini.

Beberapa saat berlalu, Ayesha kembali ke kursinya, ia menatap layar komputer yang menampilkan data-data eksperimen. Grafik di sana menunjukkan peningkatan yang luar biasa.

"Mereka sempurna," gumamnya.

Tapi, masih ada keraguan di dalam hatinya, sebuah bisikan kecil yang terus bertanya benarkah apa yang telah dilakukannya. Saat dia memulai eksperimen ini, tujuan utamanya tidak lain untuk menciptakan solusi bagi masalah lingkungan, untuk membantu wilayah-wilayah  seperti Tanjong Pagar menghadapi krisis ekosistem. Tapi sekarang, eksperimennya lebih terasa seperti pengembangan senjata daripada solusi.

Bzzz-vrrr-vrrr

Ponselnya bergetar secara tiba-tiba. Nama di layar membuat nafasnya sedikit tercekat untuk beberapa saat. Bukan Daren- sepertinya yang ia takutkan kali ini, melainkan seorang kolega lama yang pernah bekerja dengannya di NTU tempat dia mengajar dulu. Ayesha menyentuh ikon telepon berwarna hijau.

"Halo, Dr. Lim," sapanya dengan nada sopan.

"Ayesha," suara pria di seberang terdengar akrab tetapi penuh dengan teka-teki, "bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?"

"Baik saja," jawab Ayesha singkat, "kenapa?"

Dr. Lim terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kami mendengar tentang penelitian independen yang kamu lakukan, ada banyak yang membicarakan kamu tentang modifikasi genetik serangga."

Ayesha mengerutkan kening. 

"Kau dapat informasi dari siapa?" tanya Dr. Lim dengan nada curiga.

"Mmh, tidak-tidak… sepertinya itu hanya gosip belaka," jawabnya mencoba meredakan ketegangan, "tapi, Ayesha, aku cuma ingin mengingatkan untuk berjaga-jaga, terkadang ambisi bisa saja membawa kita ke tempat yang salah."

Pesan Dr. Lim seperti melayang keluar layar ponsel dan menamparnya,

"Terima kasih atas perhatiannya, Dr. Lim," jawab Ayesha datar sebelum memutus sambungan telepon. 

Dia menatap layar ponsel yang baru saja terhubung via telepon dengan kolega lama dengan ekspresi tak keruan pecahan antara frustasi dan kebingungan. Apa yang sebenarnya dia coba buktikan? Kepada Daren? Kepada dirinya sendiri? Eksperimen yang telah menjadi pelariannya, tetapi itu juga menjadi tempat di mana dia merasa paling sendirian.

Ayesha melepaskan diri dari krusinya dan bergerak menuju jendela, memandangi tetesan hujan yang terus turun di luar. Singapura terlihat seperti hutan beton yang basah kuyup, gemerlap tetapi kosong. 

"Aku tidak mau menjadi korban lagi," katanya pelan, seperti janji yang dia sampaikan pada dirinya sendiri. "Aku yang akan memegang kendali."

Tetapi di dalam hati, Ayesha tahu bahwa kendali itu hanyalah ilusi. Dia menciptakan tawon-tawon itu untuk membuktikan sesuatu, tetapi kepada siapa? 

Dia sendiri tidak yakin. Satu hal yang mungkin pasti, eksperimen ini bukan lagi tentang proyek, solusi atau pengembangan. Ini adalah tentang membangun kekuatan yang dia rasa telah hilang sejak lama. Dan meskipun Ayesha buta kemana ini akan membawanya, dia hanya yakin tidak akan mundur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku, Raja Mafia dan Bayang-Bayang Kekuasaan   35. Ayesha Dibalik Layar

    Di ruangan observasi markas Alexei yang remang, cahaya dari layar-layar besar menjadi satu-satunya sumber penerangan, memantulkan kilatan biru dan merah ke dinding beton yang dingin. Suasana di dalamnya terasa seperti jantung dari sebuah sistem yang mengawasi dunia yang sedang runtuh perlahan. Layar utama menampilkan berbagai statistik real-time — angka-angka yang terus bergerak, tak pernah berhenti, seolah menggambarkan denyut nadi dari kekacauan yang sedang berlangsung.Jumlah serangan bertambah setiap menit, zona-zona yang sebelumnya aman kini berubah menjadi wilayah terkunci, ditandai dengan warna merah menyala yang menyebar seperti luka di peta digital. Di sisi lain layar, grafis yang menunjukkan tingkat kepanikan publik berdenyut pelan namun pasti, seperti gelombang yang tak henti menghantam garis pantai. Setiap lonjakan grafik bukan sekadar data — itu adalah jeritan, ketakutan, dan kehilangan yang tak terlihat.Beberapa operator duduk di depan konsol, wajah mereka tegang, mata

  • Aku, Raja Mafia dan Bayang-Bayang Kekuasaan   34. Daren dalam Tekanan

    Ruangan konferensi Balai Kota dipenuhi aura tegang saat Daren masuk dengan langkah berat, jas biru gelapnya tampak kusut karena malam tanpa tidur. Di hadapannya, barisan tim kampanye dan pejabat tinggi menunggu dengan ekspresi campuran panik dan skeptis. Lampu ruangan menyinari wajah mereka tanpa ampun, menegaskan kelelahan yang terpancar jelas. Suara Daren serak saat ia membuka rapat, seolah kelelahan dan tekanan telah mengikis ketegasannya sedikit demi sedikit. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dinding dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Ia berdiri di ujung meja oval panjang, tubuhnya tegak namun matanya menyimpan bayangan keraguan.“Kita sedang menghadapi krisis kepercayaan, media menuntut jawaban, oposisi membidik kita, dan warga… mereka ketakutan,” ucapnya menggema di ruangan, menyentuh setiap sudut dan setiap orang yang duduk di sana.Ia menatap satu per satu wajah di depannya — para pejabat, analis, dan kepala divisi — mencari sesuatu yang lebih dari sekadar

  • Aku, Raja Mafia dan Bayang-Bayang Kekuasaan   33. Krisis Nasional

    Peringatan status darurat sipil diumumkan tepat saat fajar menyingsing di atas Singapura. Speaker publik yang biasanya mengumumkan pembukaan sekolah pagi itu mendadak memancarkan sirine peringatan. Kepala dinas sipil muncul di layar, mengenakan jas pelindung ringan, menyampaikan dengan suara gugup,"Bandara Changi ditutup hingga pemberitahuan lebih lanjut, semua penerbangan dilayani darurat, dan warga diminta tetap di dalam rumah." Seketika, jalan menuju terminal kosong, konter tiket mati lampu, dan layar keberangkatan kosong tanpa satu jadwal pun tercantum. Seketika, suasana berubah drastis. Jalanan yang biasanya dipenuhi langkah-langkah tergesa para penumpang kini lengang, sepi tanpa satu pun jejak manusia. Terminal yang dulu riuh oleh suara koper berderak dan panggilan keberangkatan kini hanya menyisakan gema hening yang menyayat. Konter tiket berdiri bisu dalam kegelapan, lampu-lampunya padam seperti harapan yang perlahan meredup. Layar keberangkatan yang biasanya menampilkan der

  • Aku, Raja Mafia dan Bayang-Bayang Kekuasaan   32. Kekacauan di Tengah Kota

    Pagi hari setelah serangan di Bukit Merah dimulai dengan keheningan yang tak wajar. Matahari menyinari kota dengan kilau keemasan, namun tak ada yang menyambutnya seperti biasa. Jalan-jalan utama di sekitar distrik selatan terlihat kosong, dan suara kendaraan yang biasanya padat pada pukul tujuh pagi kini nyaris lenyap, digantikan bisik-bisik ketakutan yang menyebar seperti asap. Di layar-layar digital yang terpampang di berbagai sudut kota, berita utama muncul serentak ‘Serangan Tawon Misterius Hantam Bukit Merah, Puluhan Luka-Luka, Tiga Korban Jiwa’. Tayangan drone yang bocor di media sosial menunjukkan gambar yang mengerikan, seseorang tergeletak dengan wajah lebam dan tubuh bengkak, suara dengungan berat terdengar samar-samar di latar video.Bandara Changi langsung menghentikan seluruh jadwal penerbangan domestik dan internasional untuk sementara waktu, “Langkah preventif terhadap potensi penyebaran spesies agresif,” begitu penjelasan dari Departemen Pertahanan Hayati Singapura.

  • Aku, Raja Mafia dan Bayang-Bayang Kekuasaan   31. Pelepasan Pertama

    Langit di atas distrik Bukit Merah malam itu dipenuhi awan pekat yang menyelimuti lampu kota dengan kabut lembab dan suram. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyadari bahwa sesuatu yang tak biasa akan terjadi. Di tengah keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara kendaraan larut malam, ada bayangan bergerak cepat di balik gedung tua yang telah lama terbengkalai. Di dalam bangunan itu, tersembunyi dari pandangan publik, Ayesha berdiri di depan sebuah kapsul transparan berbentuk bulat, dikelilingi alat kontrol feromon dan layar pemantau termal. Di dalam kapsul itu, ratusan Vespa mandarinia hasil modifikasi berdesakan dengan tubuh gemuk, sayap berdenyut pelan, dan mata yang menyala kemerahan dalam gelap. Mereka seperti mesin biologis yang tengah menunggu perintah untuk dilepas.“Target dalam radius 1.8 kilometer, populasi malam hanya 27 persen dari kapasitas siang hari, minim gangguan sipil,” ujar seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan headset komunikasi. N

  • Aku, Raja Mafia dan Bayang-Bayang Kekuasaan   30. Momen Mengubah Segalanya

    Hujan deras mengguyur kota Singapura malam itu, menimbulkan ritme monoton yang menggema di dinding kaca markas Alexei. Langit malam menggantung kelam, menyisakan sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan. Di dalam ruangan yang temaram, Ayesha berdiri dengan tubuh kaku, menatap pria di depannya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Nafasnya masih sedikit tersengal setelah kejadian di luar sana—kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi, tetapi justru mengubah segalanya.Beberapa jam sebelumnya, Ayesha hampir kehilangan nyawanya. Dia sedang dalam perjalanan menuju laboratorium ketika sebuah mobil hitam tanpa plat nomor tiba-tiba melaju kencang ke arahnya. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya reaksi insting yang membawanya menghindar tepat sebelum mobil itu menabraknya.Tapi dia tidak cukup cepat—bahunya menghantam keras trotoar, membuatnya terseret beberapa meter di atas aspal yang basah. Kesakitan yang menusuk membuat kepalanya berputar, dan saat itulah dia melihat seseorang keluar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status