Sebuah laboratorium kecil yang bertempat di lantai dasar gedung tua itu ibarat tempat perlindungan bagi Ayesha dari dunia luar. Di sana, dia merasa bisa mengontrol semuanya, sebuah kontras tajam dari perasaan tidak berdaya yang menghantuinya sejak pengkhianatan Daren. Akan tetapi suara hujan yang mengetuk jendela menyadarkan bayangan masa lalu tentang Daren yang belum benar-benar meninggalkannya. Daren masih hadir, bukan sebagai kenangan manis, melainkan sebagai luka terbuka yang senantiasa mengganggu pikirannya.
Ayesha berdiri di depan kandang kaca, tawon-tawon raksasa hasil eksperimennya terkurung di dalam. Vespa mandarinia, dengan tubuh besar hitam-oranye berkilauan terkena pantulan cahaya lampu, terlihat layaknya simbol kekuatan dan ketangguhan yang ia inginkan. Dia melihat mereka dengan perasaan campur aduk, antara kekaguman pada kehebatan makhluk itu dan kebencian yang dia projeksikan dari rasa sakit di hatinya.
"Kalian tidak akan pernah dikhianati oleh siapa pun, apa pun" gumamnya pelan, seolah berbicara kepada tawon-tawon itu, "Kalian diciptakan untuk defend."
Namun, di sisi lain dari Ayesha tak berhenti mempertanyakan apa yang sedang dia lakukan. Memorinya berputar ketika dia terbangun dengan keringat dingin, bermimpi tentang perdebatan terakhirnya dengan Daren.
"Aku butuh dukungan mereka agar bisa bisa membangun reputasi lebih," suara Daren bergema di kepalanya, dingin dan tanpa emosi.
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang dia harapkan. Rupanya Daren sudah berjaya tidak hanya mengkhianati perasaannya, tetapi juga memadamkan semua nilai yang dia rasakan sebagai bagian dari hubungan mereka.
Dia meraih buku catatan di meja kerja dan membuka diagram genetik dan catatan detail tentang eksperimen yang memenuhi halaman-halaman. Ada sesuatu yang obsesif pada caranya menulis. Coretan-coretan pena di sana menuangkan dorongan tidak sehat untuk menciptakan sesuatu yang sempurna, sesuatu yang tidak hanya kuat tetapi juga tak terkalahkan. Vespa mandarinia yang dimodifikasi di laboratorium Ayesha bukan sekedar tawon biasa. Mereka adaptif dengan lingkungan ekstrem, baik itu panas menyengat sampai suhu dingin yang menusuk tulang sekalipun. Ditambah lagi mereka resisten terhadap hampir semua jenis insektisida, sebuah pencapaian yang Ayesha sendiri merasa terlalu besar untuk dapat dipercaya.
Tapi, tunggu, mengapa dia melakukannya?
Pertanyaan itu sering menghantuinya, terutama saat malam-malam sepi seperti ini. Apakah dia menciptakan ini untuk ilmu pengetahuan? Untuk membuktikan dirinya sebagai ilmuwan?
Apakah ada bagian dari dirinya yang hanya ingin menciptakan kekuatan yang bisa dia gunakan untuk membalas dunia yang telah menyakitinya?
Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dia jawab dengan spontan saat itu bermunculan. Ayesha pergi menutup matanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu, tetapi siapa sangka perasaan bersalah dan kemarahan malah terus membesar di dalam dirinya.
‘Ting-’
Suara dentingan kaca memecah keheningan. Ayesha menoleh dan mendapati salah satu tawon besar menabrak dinding kandang kaca. Serangga itu terus mencoba, sayapnya berdengung keras, menghasilkan getaran yang hampir seperti ancaman. Ayesha mendekat, memperhatikan serangga itu dari balik kaca. "Kau tidak menyerah, ya?" katanya dengan nada datar, "mungkin aku bisa belajar sesuatu darimu."
Tapi belajar apa? - Ayesha berpikir.
Ketangguhan? Ketidakenakan? Ujung jarinya menyentuh kaca kandang, terasa seperti ada koneksi aneh antara dirinya dengan makhluk itu (si tawon). Dia pernah merasa seperti mereka yang di dalam kandang, terkurung dalam situasi yang tak bisa dia kendalikan dengan dirinya sendiri, mencoba lepas tapi selalu gagal. Bedanya, sekarang, dia telah memegang kendali. Atau setidaknya, itulah yang dia yakini.
Beberapa saat berlalu, Ayesha kembali ke kursinya, ia menatap layar komputer yang menampilkan data-data eksperimen. Grafik di sana menunjukkan peningkatan yang luar biasa.
"Mereka sempurna," gumamnya.
Tapi, masih ada keraguan di dalam hatinya, sebuah bisikan kecil yang terus bertanya benarkah apa yang telah dilakukannya. Saat dia memulai eksperimen ini, tujuan utamanya tidak lain untuk menciptakan solusi bagi masalah lingkungan, untuk membantu wilayah-wilayah seperti Tanjong Pagar menghadapi krisis ekosistem. Tapi sekarang, eksperimennya lebih terasa seperti pengembangan senjata daripada solusi.
Bzzz-vrrr-vrrr
Ponselnya bergetar secara tiba-tiba. Nama di layar membuat nafasnya sedikit tercekat untuk beberapa saat. Bukan Daren- sepertinya yang ia takutkan kali ini, melainkan seorang kolega lama yang pernah bekerja dengannya di NTU tempat dia mengajar dulu. Ayesha menyentuh ikon telepon berwarna hijau.
"Halo, Dr. Lim," sapanya dengan nada sopan.
"Ayesha," suara pria di seberang terdengar akrab tetapi penuh dengan teka-teki, "bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?"
"Baik saja," jawab Ayesha singkat, "kenapa?"
Dr. Lim terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kami mendengar tentang penelitian independen yang kamu lakukan, ada banyak yang membicarakan kamu tentang modifikasi genetik serangga."
Ayesha mengerutkan kening.
"Kau dapat informasi dari siapa?" tanya Dr. Lim dengan nada curiga.
"Mmh, tidak-tidak… sepertinya itu hanya gosip belaka," jawabnya mencoba meredakan ketegangan, "tapi, Ayesha, aku cuma ingin mengingatkan untuk berjaga-jaga, terkadang ambisi bisa saja membawa kita ke tempat yang salah."
Pesan Dr. Lim seperti melayang keluar layar ponsel dan menamparnya,
"Terima kasih atas perhatiannya, Dr. Lim," jawab Ayesha datar sebelum memutus sambungan telepon.
Dia menatap layar ponsel yang baru saja terhubung via telepon dengan kolega lama dengan ekspresi tak keruan pecahan antara frustasi dan kebingungan. Apa yang sebenarnya dia coba buktikan? Kepada Daren? Kepada dirinya sendiri? Eksperimen yang telah menjadi pelariannya, tetapi itu juga menjadi tempat di mana dia merasa paling sendirian.
Ayesha melepaskan diri dari krusinya dan bergerak menuju jendela, memandangi tetesan hujan yang terus turun di luar. Singapura terlihat seperti hutan beton yang basah kuyup, gemerlap tetapi kosong.
"Aku tidak mau menjadi korban lagi," katanya pelan, seperti janji yang dia sampaikan pada dirinya sendiri. "Aku yang akan memegang kendali."
Tetapi di dalam hati, Ayesha tahu bahwa kendali itu hanyalah ilusi. Dia menciptakan tawon-tawon itu untuk membuktikan sesuatu, tetapi kepada siapa?
Dia sendiri tidak yakin. Satu hal yang mungkin pasti, eksperimen ini bukan lagi tentang proyek, solusi atau pengembangan. Ini adalah tentang membangun kekuatan yang dia rasa telah hilang sejak lama. Dan meskipun Ayesha buta kemana ini akan membawanya, dia hanya yakin tidak akan mundur.
Hari-hari berlalu sejak percakapan di balkon itu, tetapi suasana di antara Ayesha dan Alexei berubah. Tidak ada yang secara terang-terangan mengakuinya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alexei memperlakukannya. Sesuatu yang lebih halus dari kata-kata, sesuatu yang nyaris tak terlihat kecuali bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Ayesha menyadarinya dalam gestur kecil. Cara Alexei selalu memastikan dia berjalan di sisi dalam trotoar ketika mereka keluar dari markas, seolah-olah secara naluriah melindunginya dari kemungkinan ancaman. Cara dia secara tidak langsung memerintahkan anak buahnya untuk tidak mengganggunya saat dia bekerja di laboratorium, memastikan bahwa Ayesha memiliki ruangnya sendiri. Bahkan dalam rapat strategi yang paling serius, Alexei selalu memastikan dia mendapatkan informasi terlebih dahulu sebelum yang lain.Awalnya, Ayesha menganggapnya sebagai bagian dari kontrol Alexei terhadap proyek ini. Dia mengira itu hanya bentuk kepastian bahwa semuanya
Malam telah menggurita, menyelimuti Singapura dengan keheningan yang nyaris magis. Ayesha melangkah pelan menuju balkon markas Alexei, napasnya mengikuti irama angin yang berhembus lembut, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Udara malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi tiada menusuk—sebaliknya, ada ketenangan yang merayap di antara gemerlap lampu kota yang membentang luas di bawah sana, seolah-olah ribuan bintang jatuh dan berpendar di bumi.Dia menyandarkan tangannya di pagar besi, jemarinya menggenggam erat dinginnya logam, membiarkan pikirannya berkelana. Sorot matanya menangkap siluet gedung-gedung pencakar langit yang berdiri angkuh, tetapi bagi Ayesha, itu hanyalah latar belakang dari gejolak yang berkecamuk di hatinya. Begitu banyak hal yang ingin dia lupakan, tetapi semuanya justru semakin nyata di bawah langit yang mendung ini.Langkah berat mendekat dari belakang, menghancurkan keheningan yang sempat menjadi pelarian. Ayesha tidak perlu berbalik untuk
Ayesha duduk di tepi ranjang medis kecil di sudut laboratorium itu, tubuhnya dilingkupi bayang-bayang lampu neon yang suram. Cahaya redup lampu seperti mengungkap setiap garis kelelahan di wajahnya, sementara napasnya berhembus pelan, terputus-putus seperti angin lemah yang berusaha menembus celah pintu yang rapat. Matanya menatap dinding putih di hadapannya, kosong, tak peduli pada retakan kecil di sudut atas yang biasanya menarik perhatiannya. Sekarang, dunia serasa melambat, penuh dengan gema sunyi dari rasa sakit dan bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu.Bahunya yang terluka masih terasa menyengat, seperti api yang tak kunjung padam, membakar setiap saraf yang dilaluinya. Kulit di sekitar luka itu memerah, membengkak dengan brutal, meski sedikit demi sedikit efek dari serum penawar racun—buah kerja kerasnya selama berbulan-bulan—mulai mengurangi penderitaannya. Namun, bukan luka di bahu
Laboratorium bawah tanah itu dipenuhi suara dengungan rendah yang semakin lama semakin intens. Cahaya dari layar komputer memantulkan serangkaian data yang terus diperbarui, memperlihatkan grafik perubahan respons Vespa mandarinia terhadap sinyal feromon terbaru yang dikembangkan Ayesha. Dengan napas tertahan, Ayesha berdiri di depan kandang kaca, menatap tajam puluhan tawon yang diam di dalamnya, seolah menunggu aba-aba.Dia menggeser kursor pada layar sentuh dan menekan tombol aktivasi. Gas feromon baru mulai menyebar di dalam kandang, tidak berwarna, tidak berbau bagi manusia, tetapi memiliki dampak luar biasa bagi makhluk-makhluk kecil itu. Awalnya, mereka tetap diam. Lalu, dalam hitungan detik, tubuh mereka mulai bergerak, sayap mereka bergetar lebih cepat, dan antena mereka bergoyang seolah-olah merespons sesuatu yang tidak kasatmata.Ayesha mengamati dengan saksama sambil bergumam, “Sempurna!”Namun, sebelum dia bisa menarik kesimpulan lebih jauh, sesuatu yang tidak terduga te
Ruang pertemuan di markas Alexei dipenuhi oleh atmosfer yang tegang, seolah-olah setiap molekul udara membawa beban dari rencana besar yang akan segera dieksekusi. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni gelap terlihat kokoh dan berwibawa, di atasnya terbentang peta kota Singapura dengan detail yang luar biasa. Peta tersebut tidak hanya menampilkan jalan-jalan utama dan kawasan penting, tetapi juga ditandai dengan titik-titik merah yang menandakan area potensial untuk eksekusi Operasi Vespa—sebuah proyek rahasia yang akan mengubah keseimbangan kekuasaan di kota ini.Ayesha berdiri di salah satu sisi meja, mengenakan setelan formal yang rapi namun sederhana. Matanya yang tajam dan penuh konsentrasi mengamati setiap titik merah di peta, memetakan setiap langkah yang harus diambil. Wajahnya yang cantik namun tegas menunjukkan determinasi yang tidak goyah, mencerminkan beban
Malam semakin larut di laboratorium bawah tanah, suasana sunyi terasa mencekam. Lampu neon yang bersinar redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, memberikan kesan suram pada ruangan tersebut. Di sudut ruangan, Ayesha duduk di depan layar komputer yang berkedip-kedip dengan cepat, matanya meneliti data yang terus berganti. Mata tajamnya memindai setiap informasi yang muncul, mencari jawaban dari anomali yang mulai terjadi. Jari-jarinya bergerak dengan kecepatan tinggi, mengetik sederet kode dan perintah, mencoba menemukan pola dalam data yang tidak biasa ini.Di meja di depannya, ada beberapa kandang kaca berisi tawon Vespa mandarinia, yang bergerak dengan gelisah. Perilaku mereka aneh, tidak seperti biasanya. Tawon-tawon itu tidak hanya merespons perintah feromon dengan lebih lambat, tetapi beberapa di antara