Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua.
"Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku.
"Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar.
"Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi.
"Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal.
Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun.
"Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa.
"Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya terlihat malas-malasan.
"Ih, Mas ini. Maunya selalu begitu," kataku lagi kesal.
Selalu seperti itu jika diajak belanja kebutuhan. Alasannya malas, padahal aku tahu dia tak mau mengeluarkan uangnya untuk membayar belanjaan. Terlalu sayang ngeluarin uang buat istri. Aku masuk dan memilih-milih beberapa kebutuhan dapur dan kebutuhan kamar mandiku yang sudah seret.
Dreet … dreet.
Kulihat gawai yang bergetar di dalam tas. Unyuk-unyukku memanggil.
"Ya, Mas?" jawabku.
"Lama amat sih? Cepetan dong, Deeek! Mas udah gerah nunggu dari tadi!" gerundelnya dari seberang telepon.
"Bentar dong, Mas. Ini udah selesai kok tinggal bayar. Mas masuk sini, bayarin belanjaan Firda!" tukasku sekaligus mengetesnya apakah mau membayar belanjaanku atau tidak.
"Kamu yang belanja, kamu yang bayar dong. Cepetan!" Klik. Hp dimatikan sepihak. Sudah kuduga. Dia pasti keberatan untuk membayar belanjaanku. Aku membayar dan segera keluar. Kulihat wajahnya ditekuk kesal.
"Udah?" tanyanya.
"Udah!" jawabku.
"Kamu belanja apa aja, Dek?" tanyanya lagi.
"Belanja ini aja!" jawabku sambil membuka kantongan plastik yang kutenteng ke hadapannya. Dia melihat isi belanjaanku dan protes.
"Kamu belanja ini aja, Dek? Nggak niat beli apaa gitu buat oleh-oleh Tante Tika?" sosornya. Alisku berlipat-lipat mendengar perkataannya barusan.
"Oleh-oleh? Kenapa tadi Mas nggak ikut masuk kalau mau beli oleh-oleh?" tanyaku akhirnya.
"Masak yang beginian aja harus Mas ajarin kamu sih Deeek! Seharusnya tadi di beliin apa gitu di dalam."
"Yaudah, Mas masuk lagi aja sana. Gitu aja kok ribet!" tawarku emosi.
"Gosah lah, ayo naik!" Dia berkata lalu kembali memakai helm yang tadi dilepaskannya, kemudian menstater motor.
Aku pun segera naik. Dia fikir aku masih mau menuruti dengan keegoisannya. Sori dori mori, Mas. Itu dulu ketika aku benar-benar tulus dengan keluargamu dan sekarang tak akan mempan lagi dengan kelicikanmu.
Di simpang pertigaan, Mas Bima melambatkan motornya, dan berhenti di depan penjual martabak telur.
"Turun bentar, Mas mau pesan martabak aja buat Tante dan Ibu." Aku segera turun dan mengikutinya dari belakang.
"Martabak telurnya, Bang!" pintanya cepat.
"Berapa bungkus, Bang?" tanya si abang penjual.
"Kasih sepuluh bungkus yang spesial ya, Bang!" katanya lagi
"Ok, Bang. Tunggu sebentar, ya!"
Kulihat Mas Bima menganguk dan duduk di sebelahku yang telah duduk deluan.
"Banyak amat, Mas? Nggak mubazzir ntar?" sindirku.
"Enggak lah Dek. Ibu, Mbak Yana, Tante Tika dari dulu suka jajan. Jadi, pasti ntar itu habis semua," kilahnya cepat.
Aku diam. Buat belanja di Indoapril saja begitu keberatannya. Padahal itu bukan hanya kebutuhanku saja, melainkan kami berdua. Sabun maunya harus yang cair. Shampo nggak mau pake yang sasetan harus yang botol. Jika sudah kehabisan nggak pernah mau oret-oret. Setahun belakangan ini Mas Bima emang sudah mulai dzolim kepada istri sendiri.
Hampir lima belas menit kami menunggu. Karena memang banyak yang antri buat beli martabak telurnya.
"Ini, Bang! Semuanya dua ratus lima puluh ribu." Si abang penjual menyerahkan bungkusan ke tangan Mas Bima. Dua puluh lima ribu perporsi, hemmm lumayan juga dari belanjaanku tadi di indoapril, batinku. Suamiku langsung mengalihkan bungkusan martabak ke tanganku. Aku menerimanya dengan heran.
"Kenapa, Mas?"
"Bayar, Dek." katanya cepat. Waw. Amazing. Bisakah suami seperti ini tukar tambah di marketplace? Jika ada, aku mau satu.
"Nggak ada, Mas! Tunai Firda sudah habis di Indoapril tadi," jawabku tegas dan ketus.
Kulihat Si abang penjual masih menunggu dan melihat ke arah kami. Mungkin karena malu dilihatin oleh abang-abang tersebut, Mas Bima mengeluarkan dompet di saku celananya dan kulihat beberapa lembar uang merah menyembul cuantik dari dalam.
Dia mengambil tiga lembar uang merah dan langsung menyerahkannya kepada abang tersebut. Sedetik kemudian Si abang martabak mengembalikan sisa uang ke tangan Mas Bima, tapi sebelum sampai di tangannya aku menyerobot kembalian dari tangan si abang. Mereka berdua kelihatan terkejut. Biarin aja. Aku tak peduli.
"Yuk, Mas!" ajakku emosi. Di atas motor aku diam tak berbicara. Sepertinya Mas Bima paham apa yang membuatku mendiaminya.
"Dek … emm, kembaliannya ntar belikan rokok di warung Bu Ratna, ya! Mas lupa tadi beli di Indoapril."
Busyeeeet dah ni lakik. Ternyata lelaki dewasa di depanku ini tak seasik yang kubayangkan. Tak kubalas perkataannya.
"Lebih baik kita pulang dulu, Mas. Setelah bersih-bersih baru enak buat nyamperin," ajakku mengalihkan pembicaraan.
"Alah, Dek. Salami sebentar aja, terus kita pulang."
"Oke lah. Kita setor wajah dulu lalu pulang ya," pintaku bernegosiasi.
"Kamu ini kenapa sih, Deeek? Akhir-akhir ini tingkah laku kamu beda banget!"
"Bukan Firda yang beda, Mas. Kamu aja yang suudzon!"
"Jelas kamu beda. Sering cekcok dengan Ibu ataupun Mbak Yana." Omongannya sudah mulai tidak enak.
"Firda gini cuma buat bela diri Mas, kamu liat kan! Ibu, Mbak Yana, dan Mas pun sama, selalu menyudutkan Firda terus." Aku juga mulai tersulut emosi.
Brem … kami sampai di depan rumah Mbak Yana. Pertengkaran kecil barusan langsung mereda begitu terlihat Tante Tika di teras depan rumah Mbak Yana. Dia berdiri menyambut kedatangan kami.
"Halo Firdaaaa. Apa kabarnya? Makin ke samping aja badan kamu, ya?" Aku terdiam di tempatku sebentar, lalu melirik Mas Bima. Yang dilirik pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidak mendengar apa yang barusan diucapkan tantenya.
"Alhamdulillah, baik Tante. Tante sendiri gimana kabarnya?" Aku meraih tangan yang disodorkannya. Secepat kilat tangannya diarahkan ke wajahku agar aku menciumnya. Hem … minta dihormati tapi tak pandai menjaga bibir. Aku pun mencium tangannya sedikit.
"Halo … Bim. Duuuh ponakan Tante yang ganteng ini. Nggak berubah-berubah ya, malah semakin ganteng saja," puji Tante Tika genit.
"Baik Tante. Yuk Tan, kita ngobrolnya di dalam saja. Sekalian makan cemilan. Nih, Bima belikan martabak telur kesukaan Tante dan Ibu," ajak Mas Bima kikuk sambil menyerahkan bungkusan martabak.
"Mas Bimaaaaa … ih … kangeen deh." Tiba tiba Viona, putri semata wayang Tante Tika muncul dan berlari memeluk Mas Bima. Tak lupa ciuman kecil mendarat di pipi suamiku tercinta. Tak patuut-tak patuut kata Upin Ipin. Batinku semakin berperang. Benar benar menguras emosi bertemu mereka.
"Sudah lama ya nggak ketemu Mas Bima dan Mbak Firda." Gadis tersebut melihat ke arahku, tapi rangkulan di pinggang Mas Bima tak jua dilepaskannya. Kulihat Mas Bima juga diam saja.
"Iya, semenjak menikah kita nggak pernah bertemu ya, Firda." Tante Tika menimpali sambil membuka satu bungkusan martabak dan melahapnya seketika itu juga. Sedangkan sisanya yang lain dibuka satu per satu oleh keluarga yang lain.
"Iya Tan, Firda sibuk kerja. Begitu juga Mas Bima. Jadi kita belum ada waktu mengunjungi Tante." Basa-basiku terdengar basi.
"Kerja terus, tapi kehidupannya masih gitu-gitu aja kok bangga! Tuh liat yang dibawain aja cuma martabak telur. Ck ck ck. Firdaa … Firda ..." Mbak Yana mulai mencari sensasi.
"Ha ha ha. Biatanya titu Tan, kalau feremfuan udhah dibudak kalil, nggak akan fokus ke kelualga." balas Tante Tika dengan mulut yang penuh dan belepotan sehingga tak jelas apa yang diucapkannya.
Ha ha ha. Mereka semua tertawa termasuk Mas Bima. Tak ada sedikit pun perkataan mereka yang menjaga perasaanku. Bicara kok asal nyeplak saja. Sabar Firda, sabar. Bentar lagi kita yang pegang panggung. Otak dan mulutku mulai protes, mengapa tak digunakan di waktu yang tepat.
"Oh iya, sudah dua tahun, kan kalian menikah? Kok Firda belum hamil-hamil juga? Apa ada yang bermasalah?" Mulut Tante Tika semakin maju sambil membuka bungkusan martabak yang kedua.
"Kalau Bima pasti tak ada masalah dong, Jeung! Tauk kalau menantuku!" Ibu mertua mulai melakukan aksi senam bibirnya.
Aku mulai gerah. Kulihat Mas Bima sedari tadi tak ada pembelaan sedikitpun terhadapku di hadapan keluarganya. Malah senyam-senyum nggak jelas menanggapi cercaan seluruh keluarganya terhadapku. Kuambil gawai dan memainkan permainan 'tabok mertua'. Mengalihkan dari zona tak nyaman.
"Eh, Firda sudah lama nikah kapan punya anak?" tanya Tante Tika lagi. Aku memutar bola mata malas. Baiklah epribadeh, akan aku layani kalian semua.
"Oh, kalau itu Tan, tanyakan saja sama Yang Maha Kuasa. Kalau belum ada jawabannya, bisa Tante jumpain langsung kepada yang di Atas kok," jawabku lancar.
Kulihat seketika wajah Tante Tika memerah mendengar jawabanku. Ibu dan Mbak Yana terbatuk-batuk akibat terkejut dan keselek makanannya sendiri. Viona gegas ke dapur dan kembali keluar sambil membawa teko air dan beberapa gelas buat minum mereka.
"Dan jangan lama-lama Tan nanya-nya sama sangat Pencipta. Kalau bisa sekarang saja dijumpainya. Firda juga udah nggak sabar nih, kapan hamilnya!" sambungku lagi.
"Dasar menantu nggak ada akhlak!" Mertuaku membentak sambil berkacak pinggang.
"Yes, aku nggak ada akhlak … aku nggak ada akhlak … aku nggak ada akhlak … mohon maaf lahir dan batin ya Buu, Tante Tika, Viona, Mbak Yana," kataku lagi sambil senyum-senyum gila. Apakah aku sudah mulai ketularan stres?
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu
Aku memandang tak suka ke arah Mas Bima yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar sambil marah-marah nggak jelas. "Mengadu? Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku memastikan perkataannya. "Bukannya kamu menelepon ibumu dan mengadukan masalah kita sambil nangis-nangis? Begitu, kan?" ujar Mas Bima tak senang. "Mas… Mas … Firda ini anak perantauan, Mas. Masih punya orang tua yang kapan saja pengen ngelepas rindu. Salah orang telponan dengan Ayah ibunya sendiri? Nggak, kan? Terus, salahnya di mana kalau orang tua Firda tau masalah anaknya? Lucu!" Aku berjalan ke tempat tidur, mengambil gawai kembali dan mulai berselancar di dunia maya. "Masalah rumah tangga jangan suka diumbar umbar, Fir! Kamu itu sudah dewasa. Malu!" "Diumbar?" Aku mengenyitkan alis. "Ya, diumbar-umbar sama orang lain. Apa salahnya jika kita bicarakan baik-baik masalah rumah tangga kita ini, Deeek!" "Dengar ya Mas Bima! Pertama, yang barusan telepon Firda bukan orang lain, dia ibuku! Mertua kamu! Yang kedua, bukan level F
Aku berjalan ke kamar mandi, sambil mengangkat tangan kiriku tinggi-tinggi. Itu kulakukan sebagai tanda bahwa dia harus menutup mulutnya, karena aku tak ingin mendengarkan cerocosannya terkait hasil karya tangan dia dengan mamanya. Baguslah, setidaknya pagi ini aku tak kelelahan membuat sarapan diriku dan Mas Bima. Aku membersihkan badan jauh lebih lama dari biasanya. Lulur pagi yang tak pernah sempat, hari ini kulakukan. Keramas manja dengan memijat-mijat kulit kepala juga kulakukan. Karena biasanya sampoan langsung dibilas agar cepat selesai karena diburu waktu. Brak … brak. "Mbak, cepetan dikit dong! Ini hari pertama Viona masuk kerja. Nanti Viona telat kalau Mbak nggak siap-siap di kamar mandinya," keluh Viona. Kudengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Bodo amat. Aku masih asik menggosokkan badanku dengan lulur yang sudah sedikit mengering. Sempurna. Senang deh dengan kulitku ini. Brak … brak … Kembali suara gedoran kudengar. Ha ha ha. Panik nggak, panik nggak, panik ngg
Serasa ingin aku makan alat pel yang dipegang Pak Giman. Tak ingin berlama-lama aku berniat pamit kepadanya. "Yuk Pak, saya masuk dulu!" kataku permisi. "Nambah apa, Mbak? Cuan? Lah, kalau Mbak beneran mau ikut kerja kayak saya, nanti saya banyak saingan dong! Lebih baik mbaknya ngantor aja deh. Ha ha ha," ujarnya lagi. Setiap berbicara tak pernah lupa selalu diakhiri tawa khasnya. Bola mataku naik ke atas, ke bawah muter lagi ke samping kanan lalu ke samping kiri, lalu kembali lagi melihat Pak Giman. Aku membuang nafas berat. Huuuff"Matanya kenapa, Mbak Fir? Seram, ah, kayak gitu. Nanti matanya nggak kembali ke tempatnya lagi gimana?" katanya benar-benar polos. "Nggak papa, Paaak! Matanya cuma senam pagi. Hik hik hik." "Loh loh loh, Mbak Firda kok mewek? Saya salah ngomong. Maafin saya Mbak. Saya nggak bermaksud begitu, tapi kalau Mbak mau ikut bersih-bersih bantu saya, nanti saya usulkan sama Pak Amran. Gaji bagi dua gak papa deh. Cius!" timpalnya serius. Ealah dallaaah. Kutu