"Mulai besok kalian akan tinggal di rumah ayah kalian! Kalian itu tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab Ibu, ataupun Papa Erik. Ibu adalah seorang istri yang ingin berbakti pada suami. Sudah sepatutnya Ibu tidak memberikan beban untuknya!" Perceraian kedua orang tua, selalu menyisakan luka di hati anak-anak. Terlebih, saat keduanya telah memiliki kehidupan baru dengan pasangannya. Namun yang tidak Vina mengerti, sang ibu lebih memilih tinggal bersama suami barunya, dan meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Vina, gadis berusia lima belas tahun yang baru lulus SMP itu, terpaksa tidak melanjutkan sekolah dan berjuang keras menghidupi ketiga adiknya. Di tengah keadaan yang menyakitkan, mampukah ia menjadi ayah sekaligus ibu untuk ketiga adiknya? Adakah sang ibu mengingat dirinya dan adik-adiknya?
View More"Loh, kenapa Fajar dibiarkan menangis, Bu?"
"Biarkan saja! Dia minta nenen terus dari tadi!" Kulepas tas sekolah yang berada di punggung. Dengan masih memakai seragam sekolah, aku mengambil alih adik bungsuku yang masih menangis di samping Ibu, sedangkan dia duduk berselonjor dengan santai di depan televisi. Meski perjalanan dari sekolah begitu melelahkan, aku tidak tega melihat adikku menangis begitu kencangnya tanpa ada yang menenangkan. Aku berusaha menenangkannya, tetapi tidak juga berhenti menangis. "Kenapa tidak Ibu susui?" "Dia itu mau Ibu sapih, Vin. Sudahlah, bawa adikmu main atau ajak beli jajan sana!" titah Ibu. Akhir-akhir ini, aku sering melihat Ibu agak berbeda. Sering marah dan tidak mau mengurusi Fajar. Sejak tinggal bersama suami barunya, Ibu jadi sering bersikap kasar pada kami anak-anaknya, tetapi menjadi lembut dan baik pada anak tiri yang begitu mereka manjakan. Sebagai anak kandung, jujur aku merasa tersisihkan, begitupun adik-adikku. Aku kasihan pada mereka. Setelah perceraian Ayah dan Ibu, kami tinggal bersama Ibu di sebuah rumah kontrakan. Tetapi tidak berselang lama, Ibu menikah lagi dengan Papa Erik yang saat ini menjadi suaminya. Setelah menikah, Ibu mengajak kami tinggal di rumah Papa Erik. Sedangkan Ayah, kudengar dia juga sudah memiliki istri lagi dan sudah memiliki anak kembar dari istri barunya. Kehidupan di rumah suami baru Ibu, tidak membuat kami bahagia. Karena Papa Erik terlihat tidak begitu menyukai kami, anak-anak Ibu. Ia hanya memikirkan anak kandungnya sendiri. Tapi Ibu juga tidak memedulikan kami. Hanya Alena yang mereka pikirkan. Bahkan saat makan saja, kami harus menunggu di belakang sampai Alena, Papa Erik dan Ibu selesai makan. Baru setelah itu, kami boleh makan makanan sisa mereka. Karena Papa Erik pun tidak suka dan tidak berselera makan jika ada kami. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur karena terkadang Ibu masih menyisihkan lauk yang lain untuk kami. "Tapi Fajar kan belum genap dua tahun, Bu. Dulu, Andi dan Lani juga Ibu susui sampai hampir tiga tahun, 'kan? Kenapa Fajar mau disapih sedini ini? Kasihan, Bu." "Sudahlah, Vin. Kamu mana ngerti, sih! Kamu itu masih bau kencur, nggak usah nasehatin Ibu. Ibu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, dia harus bisa segera Ibu sapih, agar nanti mudah kalau pisah sama Ibu," jawab ibu, yang membuatku bertanya-tanya. "Maksud Ibu pisah gimana? Apa Ibu mau pergi kerja?" Aku masih berusaha menenangkan adikku yang masih saja menangis. "Ya pisah saat nanti kalian ikut tinggal di rumah Ayah kalian," jawab Ibu. Jadi, Ibu akan memindahkan kami ke rumah Ayah. "Ibu ingin kita tinggal bareng Ayah?" tanyaku. "Iya! Sudahlah, sana bawa adikmu pergi! Ini buat beliin jajan!" Ibu memberikan uang sepuluh ribu padaku. Aku mematung mencerna ucapan ibu barusan. Sampai bentakan ibu membuat aku bergegas membawa Fajar ke warung yang ada di seberang jalan. Apa maksud Ibu. Kenapa dia ingin berpisah dari kami. Apakah ini juga keinginan suami barunya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku. Kalau iya, betapa teganya dia memisahkan kami dengan ibu kandung kami sendiri. Dan Ibu, kenapa lebih rela mendengarkan suami barunya itu tanpa memikirkan perasaan kami. "Susu kotak empat ribu, sama biskuit dua ribu." Aku menyerahkan selembar pecahan sepuluh ribu yang tadi diberikan Ibu dan menyimpan kembali uang empat ribu kembaliannya. Untunglah Fajar sudah berhenti menangis setelah mendapatkan susu kotak. Kasihan sekali adikku ini, usianya baru dua puluh bulan, tapi sudah disapih oleh ibu, sementara ibu tidak pergi bekerja. Padahal dulu Andi dan Lani masih ibu susui sampai hampir berumur tiga tahun, meski ibu juga harus bekerja di pabrik. "Kamu sudah pulang, Ndi? Mana Lani?" "Iya, Kak, baru sampai. Lani lagi ganti baju di kamar." Andi menaruh sepatunya di rak sepatu. Kulihat, sepatu itu sudah sangat usang dan ada sobek bagian belakangnya. Kata Ibu, Ibu tidak bisa membelikan sepatu karena Papa Eriklah yang bekerja, sementara Papa Erik sudah menanggung biaya makan dan sekolah kami berempat. Padahal di sekolah kami, tidak ada biaya SPP karena digratiskan oleh pemerintah. Hanya wajib membeli buku pelajaran saja. Dan untuk makan, kami berempat tidaklah seberapa karena kami makan dari sisa mereka. "Kak, aku lapar," lirih Andi. Aku menengok ke belakang, tidak ada Ibu. "Tapi belum waktunya makan, Ndi. Papa Erik dan Alena juga belum pulang," ucapku lirih. Kita tidak boleh makan sebelum mereka selesai makan. Karena itulah, kami sering menahan rasa lapar itu meski ada makanan yang tersedia di meja makan. "Oh, ya, ini beli roti, nanti dibagi sama Lani." Aku menyerahkan uang dua ribu, kembalian dari warung tadi. Yang dua ribu masih aku simpan lagi, buat jaga-jaga kalau nanti Fajar minta jajan lagi. Kalau minta sama Ibu disaat ada Papa Erik, tentu aku tidak berani. Karena sudah pasti Ibu tidak akan memberikan. Terlebih, aku akan melihat kilatan am4rah dari sorot mata Papa Erik. Dia sangat tidak suka kalau aku meminta uang meski untuk sekedar beli jajan untuk adikku. Tinggal bersamanya selama tiga bulan, membuatku hafal bagaimana sifatnya. Andi kembali setelah mendapatkan roti seharga dua ribu. Lani pun keluar dari kamar setelah aku panggil. Mereka berdua membagi rotinya menjadi tiga bagian dan memberikannya padaku satu potong. "Buat kalian berdua aja, Kakak belum lapar," ujarku. Padahal aku juga merasa lapar karena harus berjalan kaki dari sekolah sampai ke rumah. Tapi tak sampai hati aku ikut memakan roti yang tak seberapa itu. Adik-adikku lebih membutuhkannya. Seharusnya dalam masa pertumbuhan, mereka mendapatkan asupan gizi yang layak. "Kak Vina nggak usah bohong sama kita. Aku tahu Kakak juga lapar. Ini, Kak!" Andi tetap memberikan potongan roti yang tak seberapa itu padaku. Dia pun tahu kalau aku merasakan lapar seperti dirinya. Setiap pagi, kami hanya makan sedikit, dan tidak membawa uang saku. Sampai rumah pun, tidak boleh makan sebelum mereka selesai makan. Terpaksa aku menerima potongan roti itu dari adik keduaku. Dia memang masih kecil, tapi sudah seperti orang dewasa. Kalau punya apa-apa, akan ia bagi sama rata dengan kami saudara-saudaranya. Usia kami hanya terpaut tiga tahun. Aku lima belas tahun, dan dia dua belas tahun. Sedangkan Lani, adik ketigaku, dia baru berusia delapan tahun. "Gimana? Sudah disapih?" "Sudah, Mas. Meski masih rewel-rewel gitulah, namanya juga baru hari pertama. Nanti juga terbiasa," jawab Ibu. "Ya sudah, nggak apa-apa. Tapi kamu harus ingat sama janji kamu karena mereka itu tanggung jawab ayahnya, bukan tanggung jawabku! Dan kamu pun tahu, aku menjadikanmu istri agar Alena dapat merasakan kasih sayang seorang ibu, agar dia tidak merasa menjadi anak broken home. Bukan untuk menghidupi anak-anak mantan suamimu! Kalau kamu tidak bisa memenuhi keiinginanku dan merasa keberatan, aku tidak memaksamu. Aku akan mencarikan ibu baru untuk Alena!" "Iya, Mas. Aku ngerti kok. Aku akan usahakan agar mereka terbiasa tanpa aku, jadi nanti mudah untuk melepas mereka." Samar-samar, kudengar percakapan Ibu dan Papa Erik. Namun, belum sempat aku mencerna ucapan Ibu, Andi sudah mengagetkanku. "Kak, ayo kita makan! Ibu sudah memanggil," ajak Andi. Aku membuka mukena dan melipatnya kembali, lalu bergegas menuju meja makan. Di sana masih ada Ibu yang tengah membereskan piring dan sisa makanan. Alena dan Papa Erik sudah tidak terlihat. Mungkin mereka di kamar atau di mana, entahlah. Ibu menaruh semangkuk nasi dan telur dadar di piring. Terlihat telur itu sudah dipotong, entah menggunakan sendok atau pisau. Kami makan dengan cepat karena aku harus membersihkan piring-piring kotor setelah ini. Tidak ada perkataan apa pun yang keluar dari mulut ibuku. Ia hanya membawa Fajar yang sudah tertidur dan membawanya ke kamar. Sementara aku dan kedua adikku menyelesaikan makan siang kami yang tidak seberapa itu. Semangkuk nasi dan telur dadar yang sudah bekurang, untuk makan kami bertiga. Tentulah tidak begitu kenyang, tapi tentu saja, kami harus selalu bersyukur. "Sudah aku bilang, jangan bawa anak itu ke kamarku! Aku tidak leluasa jika dia di sini! Aku itu butuh istirahat karena capek bekerja, seharusnya kamu bawa dia tidur di kamar lain!""Saya terima nikah dan kawinnya, Ratih Setyawati binti Almarhum Zakariya dengan mas kawin emas seberat 10 gram dan uang dua puluh juta, dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?" "SAH!" Teriakan kata "Sah" menggema memenuhi ruangan tempat mengucap ijab kabul dilaksanakan. Rumah ini, menjadi saksi bersatunya kembali ikatan antara kedua orang tua kami yang sempat terputus bertahun-tahun.Kututup mata sejenak, menghirup udara sekitarku dengan lembut. Perlahan-lahan, kubuka mata dan menghembuskannya dengan pelan. Rasanya seperti mimpi bisa menghadiri pernikahan orang tua kandungku.Rupanya Ayah sudah memberitahukan niatnya itu kepada Bu Romlah, jauh sebelum memberi tahu kami. Alhasil, Bu Romlah mengkode para tetangga untuk membuatkan dekorasi dari janur dan dipadukan dengan kain batik sebagai background sejak kemarin. Lalu pagi tadi setelah kedatangan Ayah, Bu Romlah datang dan membawa semua perlengkapan dekorasi.Untuk kursinya sendiri, Bu Romlah menggunakan kursi kayu jati dengan ukiran
Suara takbir berkumandang, semua orang bersuka cita. Setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga di siang hari, hari kemenangan pun tiba. Rasanya hari ini sangat bahagia bisa merasakan lebaran pertama bersama Ayah dan Ibu, setelah sekian tahun kami berlebaran di tempat terpisah.Meskipun lebaran tahun lalu sudah ada Ayah, tetapi beliau berlebaran di rumahnya dan kami pun di rumah kami. Namun, kali ini berbeda. Mereka berdua ada untuk kami.Karena selama bulan puasa kami berada di rumah Ayah, malam ini kami pulang ke rumah. Tentu saja menyiapkan segala keperluan untuk esok pagi yang dinanti. Bersih-bersih rumah, juga membuat hidangan untuk tamu.Lani begitu bersemangat membersihkan rumah, karena Ibu dan Ayah akan ke sini besok pagi. Aku sudah bilang agar mereka tidak usah ke sini, dan kami saja yang ke sana. Namun, Ayah bilang akan ada kejutan untuk kami."Capek nggak? Sini, istirahat dan makan ini dulu." Kutaruh nampan berisi risoles dan piscok, serta teh hangat di meja. "Tapi cuci
Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama
Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani
Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F
Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments