"Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku.
"Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor.
"Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin.
"Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua.
"Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.
Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.
Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah saja untuk program kehamilan. Aku sih setuju saja, karena memang aku juga sudah tak sabar ingin mempunyai boneka hidup sebagai temanku di rumah ketika Mas Bima bekerja. Akan tetapi mertua menolaknya. Alasannya sayang kalau tak bekerja. Punya titel tapi tak digunakan buat apa? Awalnya aku berfikiran positif, benar juga apa yang dikatakan Ibu mertua jika memang belum punya anak apa salahnya aku masih bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Tapi semakin kemari aku semakin sadar, ternyata Ibu mertua menyuruhku tetap bekerja itu agar penghasilan kami bisa di porotinnya sesuka hati.
Begitu juga dengan Mbak Yana, kakak perempuan Masa Bima. Selalu menjadikan Dini anaknya, sebagai alat untuk memperalat aku dan Mas Bima. Dari segala kebutuhan sekolah, baju-bajunya, hingga urusan kamar mandi anak perempuannya di beratkan ke pundak kami. Aku tak perkiraan sebenarnya, tapi melihat anak dieksploitasi oleh orang tuanya sendiri membuatku harus ektra hati-hati.
"Eh, Fir! Rugi lu semalam nggak masuk." Aku tersentak dari lamunan. Arimbi memulai gibahan pertama kami di pagi ini.
"Rugi kenapa, Mbi?" Yang ada, agak warasan dikit gue di rumah nggak liat lu sehari," godaku.
Kulihat sahabatku ini memainkan bibir dan matanya. Wajahnya begitu lucu, karena dia mempunyai pipi yang cubby. Aku mencubit pipinya dan memain-mainkannya gemas. beneran empuk dan lembut tuh pipi seperti squashy.
"Ih, apaan sih lu! Perasan huh. Mau dengar gosip nggak?!" katanya lagi sambil memegangi pipinya yang aku pijit-pijit tadi sambil meringis kesakitan. Aku semakin tertawa-tawa melihat ekspresi yang dihasilkannya.
"Iya, udaaaah gosip apaan?" Akhirnya aku pun mulai tergoda untuk menggibah, jiwa kepoku pun mulai on.
"Semalam, bos besar bawa anak buah. Giiiilaaaaak Fir, bening banget! Kalah deh, beningnya sama lu!" Mulainya dramatis.
"Hadeh, apaan sih yang bening? Bicara yang jelas dong Mbi," kataku lagi karena belum jelas maksud dari perkataannya.
"Aduuuh, nanti deh lu liat sendiri. Kulitnya putiiiih, bersiiiih, pancaran matanya beeeuh. Meleleh gue."
Arimbi membayangkan seseorang yang begitu sempurna di matanya. Mendeskripsikan sambil lompat-lompat kecil di tempat. Benar-benar seperti bocah yang baru dapat es krim SpongeBob.
"Maksud lu, bos bawa sekretaris baru gitu? Beningnya—"
"Nah nah itu-itu liat, itu yang gue maksud!" Arimbi menunjuk ke arah depan. Mataku mengikuti arah yang ditunjuknya. Mang Asep berjalan ke arah kami sambil membawa kopi, mungkin pesanan karyawan.
"Hagh! Mang Asep? Ha ha ha ha … aku tertawa terpingkal-pingkal karena melihat siapa yang ditunjuk Arimbi barusan.
"Mang Asep memang bening, Mbi. Sebening kepala plontosnya. Kata orang Medan 'silau meen'. Ha ha ha ha ha," kekehku tak berhenti.
"Ya ampun Firdaaaa! Bukan Mang Asep, tapi yang di belakangnya. Noh, liat. Mata lu kemana sih!" Arimbi tak terima dengan kekehanku yang semakin nyaring sejagad perkantoran.
Aku kembali melihat arah telunjuk yang Arimbi arahkan. Seorang oppa-oppa Korea sedang berjalan menuju ke arah kami. Wajahnya memang begitu bening, putih bersih tak bernoda. rambutnya hitam sedikit keriting. tingginya proporsional. Dengan balutan jas coklatnya, dia memang terlihat seperti artis Kpop. Sempurna! Dia berjalan dengan sangat gagah dan berhenti sebentar di depan aku dan Arimbi.
"Apa ada yang lucu? Bahagia banget ketawa kamu. Sampai-sampai nggak sadar, kalau ini kantor bukan pasar!" Kemudian dia berjalan meninggalkan kami dan masuk ke ruangan Pak Amran. Bos besar.
Aku terdiam sesaat. Begitu juga dengan Arimbi. Dia sampai tak sadar, mulutnya menganga lebar melihat oppa yang barusan menegur suaraku yang cukup keras.
"Hei Mbi, sadar!" Aku menampol mulutnya pelan. Dia pun gelagapan dan melotot ke arahku.
"Bening banget kaaaan!" Ulu … ulu … aku sampai nggak bisa tidur tadi malam, Fir. Nggak nyangka di kantor kita ada artis Korea. Hemmmmm …" Arimbi memejamkan mata sambil senyum senyum tak jelas. Membuatku bergidik.
"Sadar Mbi. Cakepan Fadil kemana mana," kataku berbohong sekalian mengingatkan Arimbi akan kekasihnya.
"Fadil mah lewaaat. Andaikan saja—"
"Itu karyawan baru Pak Amran ya, Mbi?" tanyaku penasaran.
"Nggak tau juga, belum ada perkenalan. Semalam dia nggak keluar-keluar dari ruangan Pak Amran. Nah ... loooh keppo juga kan lu! ha ha ha."
"Bukan kepo, Mbiii ...."
"Tapi kepo pake bangeeeet ... ha ha ha!" Arimbi ketawanya semakin keterlaluan, sampai-sampai semua mata memandang ke arah kami dengan geleng-geleng kepala.
"Mbak Arimbi, Pak Amran manggil tuh!" Tiba-tiba Jessika sudah dihadapan Arimbi dan beritahu kalau bos besar memanggil.
"Eh iya, Jes. Terima kasih ya. Mamp*s! laporan gue Fir, belum selesai." Terlihat Arimbi grusak grusuk mencari file laporan.
"Hahaha. Rasain! Makan tuh oppa-oppa!"
Aku kembali duduk di meja kantor dan memulai pekerjaan yang terlewat karena libur semalam.
**********
Waktu tak terasa sudah hampir menunjukkan pukul lima. Waktunya beres-beres untuk pulang.
Aku melihat gawai. Sepuluh panggilan tak terjawab dari Mas Bima. Tumben banget.
Kucoba dial Mas Bima kembali. Ada apa? Apa mau ngajak pulang bareng? Kami terkadang bisa pulang bareng, tapi keseringan pulang kerja sendiri-sendiri. Karena tak jarang waktu lembur kami berbeda.
"Halo … maaf Mas tadi nggak angkat telpon kamu. Hp silent. Panggilan dari kamu banyak banget, ada apa Mas?"
"Mas jemput kamu ya. Kita langsung pulang. Tante Tika mau datang berkunjung," jawabnya dari sana.
"Oke, Mas. Firda tunggu!" jawabku malas.
Seketika moodku hilang. Tante Tika mau berkunjung? Huuff. Bakalan menguras emosi lagi nih. Ipar mertuaku itu sebelas dua belas dengan Ibu mertuaku. Mulutnya nggak pernah di sekolahin. Lancar menghina seperti rel kereta api.
"Napa, Fir? Kok kelihatan jutek gitu?" Arimbi sudah bersiap pulang dan menghampiriku.
"Malas pulang Mbi," kataku acuh.
"Loh emang napa? Apa mau nginap di kantor? He he." Bercandanya garing.
"Mak Lampir sesion kedua mampir ke rumah. Jadi malas pulang!" sambutku
"Yaelaaa … kirain napa. Tante Tika toh! Ck. Gosah lemah dong Firdaaaa!" cibirnya.
Sahabatku ini memang paham seluk beluk keluarga suamiku. Karena dengan dia-lah aku bisa berbagi suka dan duka.
"Bukan lemah, Mbi. Sumpah!" Kuacungkan jari tengah dan telunjukku ke wajah sok imutnya.
"Terus apa namanya? Mertua aja disikat, masak remahan rengginang nggak mampu. Membagongkan deh kamu." protesnya berapi-api.
"Menghadapi mereka itu membuat kepala, pundak, lutut, kakiku bisa berpindah-pindah, Arimbiii," sungutku emosi.
"Gini nih, kalau antibiotik dijadiin cemilan." timpalnya lagi dengan kekehan.
Dreet … dreet.
Gawaiku berbunyi. Terlihat di layar unyuk-unyukku memanggil.
"Halo."
"Halo … Dek, Mas udah di parkiran belakang ini."
"Loh, kok dari belakang Mas. Kenapa nggak dari pintu depan aja sih?" tanyaku heran.
"Udah deh, cepetan aja kemari! Mas males muter lagi," gerutunya.
"Iya deh. Firda jalan sekarang!" Aku mematikan gawai, lalu beranjak dari kursi kerja. Menyebalkan!
"Unyuk-unyuk?" tanya Arimbi memastikan.
"Heg ehg," cicitku malas.
"Aku dari pintu belakang ya, Mbi. Kamu dari depan, kan?
"Yoi. Dah zeyeeeng! Emmuachh. Kepalaaa, pundak, lutut, kakiiiii …" ledeknya. Dia nyanyi sambil berjalan.
"Dasar teman luknut!" kelakarku.
Arimbi berjalan menuju pintu depan kantor. Sedangkan aku harus mutar, berjalan ke pintu belakang kantor. Buat kerjaan aja deh Mas Bima ini. Ketika aku melewati ruang bos besar, bersamaan itu juga oppa-oppa korea keluar dari ruangan. Aku yang terburu-buru tak melihat ke depan dan …
Pep!
Hidung seksi nan indahku menabrak bahu Si oppa. Aku terdiam, merasakan hidung yang lumayan berdenyut.
"Huff … selain punya suara yang cempreng, mata kamu minus juga, ya!" sindirnya sinis.
Apa!?
Wah … wah … wah. Nggak sopan, nggak ada akhlak ni orang. Ngajak perang batin kayaknya nih.
"Ooppa. Kalau mau keluar itu pakai lampu sen dong! Liat nih, hidung saya jadi korban." ujarku sambil menyentuh hidung.
"Oppa?" Terlihat keningnya berlipat, bentuk segitiga sama kaki.
"Eh!" Aku spontan menutup mulut. Apa-apan sih mulut. Akibat ulah Arimbi, aku jadi ikut-ikutan panggil oppa.
"Kamu yang tabrak saya, malah kamu yang nyolot!" lanjutnya tak senang.
"Nasib lah, akhir akhir ini banyak kujumpai pasukan negara Api. Bawaannya mau nyeraaang terus. Apes!" Aku bermonolog pada diri sendiri.
"Apa katamu?" tanyanya kurang yakin dengan apa yang barusan kukatakan.
"Pak oppa, Ujian hidup saya sudah banyak seperti ujian benteng takeshi. Jaaaadiiii, jangan tambahi beban hidup saya. Permisi! Aku gegas meninggalkan oppa takut Mas Bima kelamaan menunggu.
"Pak oppa?"
Masih terdengar di telingaku pria itu berbicara pada dirinya sendiri setengah berbisik. Mikir-mikir dah tuh!
Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu
Aku memandang tak suka ke arah Mas Bima yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar sambil marah-marah nggak jelas. "Mengadu? Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku memastikan perkataannya. "Bukannya kamu menelepon ibumu dan mengadukan masalah kita sambil nangis-nangis? Begitu, kan?" ujar Mas Bima tak senang. "Mas… Mas … Firda ini anak perantauan, Mas. Masih punya orang tua yang kapan saja pengen ngelepas rindu. Salah orang telponan dengan Ayah ibunya sendiri? Nggak, kan? Terus, salahnya di mana kalau orang tua Firda tau masalah anaknya? Lucu!" Aku berjalan ke tempat tidur, mengambil gawai kembali dan mulai berselancar di dunia maya. "Masalah rumah tangga jangan suka diumbar umbar, Fir! Kamu itu sudah dewasa. Malu!" "Diumbar?" Aku mengenyitkan alis. "Ya, diumbar-umbar sama orang lain. Apa salahnya jika kita bicarakan baik-baik masalah rumah tangga kita ini, Deeek!" "Dengar ya Mas Bima! Pertama, yang barusan telepon Firda bukan orang lain, dia ibuku! Mertua kamu! Yang kedua, bukan level F
Aku berjalan ke kamar mandi, sambil mengangkat tangan kiriku tinggi-tinggi. Itu kulakukan sebagai tanda bahwa dia harus menutup mulutnya, karena aku tak ingin mendengarkan cerocosannya terkait hasil karya tangan dia dengan mamanya. Baguslah, setidaknya pagi ini aku tak kelelahan membuat sarapan diriku dan Mas Bima. Aku membersihkan badan jauh lebih lama dari biasanya. Lulur pagi yang tak pernah sempat, hari ini kulakukan. Keramas manja dengan memijat-mijat kulit kepala juga kulakukan. Karena biasanya sampoan langsung dibilas agar cepat selesai karena diburu waktu. Brak … brak. "Mbak, cepetan dikit dong! Ini hari pertama Viona masuk kerja. Nanti Viona telat kalau Mbak nggak siap-siap di kamar mandinya," keluh Viona. Kudengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Bodo amat. Aku masih asik menggosokkan badanku dengan lulur yang sudah sedikit mengering. Sempurna. Senang deh dengan kulitku ini. Brak … brak … Kembali suara gedoran kudengar. Ha ha ha. Panik nggak, panik nggak, panik ngg