Kepala-kepala langsung menoleh saat keributan mendadak itu pecah, menampakkan seorang pria tinggi yang melangkah masuk ke bar dengan sombong seolah-olah seluruh tempat itu miliknya.Sebuah bekas luka kasar membelah pipinya, dan cerutu separuh terbakar terselip di sudut mulutnya.Satu lengannya melingkar posesif di bahu seorang wanita berambut cokelat tua yang berlekuk indah, sementara tangan satunya menggantung dekat pinggangnya, tepat di tempat sebuah pistol di sarung biasanya berada.Kerumunan di Bar Paradiso serentak menyingkir, seakan menghindari wabah menular.Bahkan Jumadi merasakan sedikit rasa takut menusuk perutnya."Kakak, akhirnya kau datang juga!" seru si pria berbaju putih, buru-buru menghampiri dengan wajah penuh lega."Kita punya sedikit masalah di sini. Bajingan-bajingan ini mau kau ... dari semua orang, berlutut dan minta maaf." Kata terakhir itu dimuntahkannya dengan jijik.Valerio menatap Jumadi datar, tanpa emosi. "Jadi kau si jenius yang menuntut aku untuk minta ma
"Kau pikir aku takut hanya karena kau menantangku bertarung sampai mati? Aku mungkin sudah tua, tapi aku nggak takut mempertaruhkan nyawaku melawan orang sepertimu."Ucapan berani Fiona benar-benar bertolak belakang dengan caranya yang terhuyung ke belakang, hampir tersandung kakinya sendiri.Jika ada yang mau memperhatikan, mereka pasti melihat betapa parah tangannya gemetaran.Siti berusaha meredakan ketegangan, mengangkat kedua telapak tangannya."Dengar, nggak perlu memperbesar masalah ini. Bisakah kita bicarakan dulu dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum tangan dan kaki mulai beterbangan?"Pria berbaju putih itu mengangkat alis, lalu menunjuk Zed seolah-olah dia hanya sampah."Kenapa nggak tanya saja si jenius itu apa yang terjadi? Dia masuk seenaknya, meraba wanitaku seperti anjing liar yang ngiler, lalu menghajar anak buahku ketika mereka menyuruhnya mundur.""Itu sudah lebih dari cukup alasan untuk memberinya pelajaran. Dan sekarang kalian datang seperti sekawana
"Alvaro, apa-apaan sikapmu ini? Kau memang berjasa karena telah menyelamatkan ayahku. Tapi itu bukan berarti kau bisa memperlakukan kami seperti sampah!" Fiona memaki, tubuhnya bergetar karena amarah.Dia melirik Siti, matanya menyala dengan kekhawatiran .'Kalau Alvaro berani bicara seperti itu pada putriku, butuh berapa lama lagi sampai dia menginjak-injak seluruh keluargaku?'"Kau pikir kami semua ini rendahan hanya karena Ayah berutang nyawa padamu?"Alvaro menjawab dengan dengusan meremehkan, "Setidaknya aku melakukan sesuatu. Kalian semua cuma berdiri bengong sementara dia sudah setengah jalan menuju liang kubur. Itu salah kalian. Mungkin lain kali coba punya rasa malu."Wajah Fiona berubah menjadi keunguan yang tak sedap dipandang. "Kau .... Dasar nggak tahu diuntung. Jangan pikir kau mendadak jadi orang besar! Kau tetap bukan siapa-siapa dibandingkan keluarga kami."Sebelum pertengkaran itu berubah jadi baku hantam, suara serak Budi memotong tajam seperti pisau."Cukup! Kalian
Salah satu kaki tangan Keluarga Sarjono mendesis pelan, "Tunggu dulu. Bukannya seharusnya Dokter Johan mengincar kepala Alvaro? Kenapa dia malah main gebuk-gebukan sama Vendi?""Dasar tolol! Berani-beraninya kau pakai namaku buat menyombongkan egomu yang murahan itu? Menipu orang-orang yang tak tahu apa-apa? Akan kubuat kau menyesali hari di mana kau belajar bicara!"Dokter Johan hanya meraung lebih keras, lalu melayangkan tendangan ke arah Vendi hingga terdengar bunyi gedebuk.Vendi terkapar bagai bangkai di jalanan, darah mengalir dari bibirnya yang pecah.Senyum sombong yang tadi dia pakai? Kini tinggal topeng jijik berisi rasa sakit dan malu. Semua keberaniannya habis dipukuli dalam waktu singkat.Johan berbalik menatap Alvaro dengan sorot mata mantap.Dia hampir bisa merasakan jantungnya sendiri menghantam dinding dadanya.Inilah pria yang dulu pernah menyelamatkan nyawanya, orang yang bertahun-tahun dia cari.Gara-gara si penipu tak berguna itu, dia hampir saja kehilangan kesempa
Dokter Vendi menutup ponselnya dengan cepat, menatap Alvaro dengan sorot mata yang seakan bisa mengelupas cat dinding."Nah, lihat siapa yang baru saja tiba? Dokter Johan baru mendarat di Kota Vilego dan dia sedang memburu pil ajaib itu untuk penelitiannya," ujarnya sinis."Lucunya, dia bahkan sudah berjalan di lorong rumah sakit ini sekarang juga. Setelah tamparan murahan yang kau berikan padaku, ayo kita lihat gimana caramu menghindarinya. Kau nggak cuma menghinaku, kau juga meludahi nama guruku!"Jumadi melangkah maju, bibirnya melengkung membentuk senyum menghina."Alvaro, mungkin sebaiknya kau berlutut dan memohon pada Dokter Vendi agar dia mengampunimu. Karena ketika gurunya yang hebat itu muncul, tamatlah riwayatmu.""Dokter Johan itu legenda hidup, sedangkan kau? Hanya kotoran kecoa yang tak berarti."Vendi tertawa terbahak-bahak, menunjuk Alvaro seolah-olah sedang menegur seekor anjing."Sudah terlambat, dasar badut tak berguna. Bahkan kalau kau merangkak mencium sepatuku seka
Jumadi memasang ekspresi rendah hati yang berlebihan, seakan-akan mengabaikan keterkejutan Keluarga Sarjono.Ruangan yang tadinya dipenuhi dengan helaan napas lega kini berubah berat oleh rasa ingin tahu yang tegang.Dokter Vendi masih terpaku oleh keterkejutan saat dia hampir berteriak, "Tentu saja! Itu Pil Keajaiban! Itulah sebabnya efeknya begitu cepat!"Dahi Siti berkerut. "Pil Keajaiban? Memangnya apa itu?"Mata Vendi berkilat dengan kekaguman yang nyaris fanatik."Mereka menyebutnya keajaiban bukan tanpa alasan. Pil itu begitu langka, nyaris nggak ada. Legenda mengatakan pil itu dibuat oleh seorang tabib tua yang sudah hidup lima ratus tahun!"Kata-katanya membuat Keluarga Sarjono heboh. Beberapa berbisik tidak percaya, yang lain menatap terpaku."Dan orang yang mendapatkannya," tambah Vendi dengan suara rendah dan dramatis. "Mengaku hampir menjual jiwanya hanya untuk bisa memegang satu butir."Seruan kaget serentak terdengar dari keluarga.Sebuah pil yang begitu kuat hingga bisa