Share

4. Proyek Bittersweet

Hari ini adalah seminggu setelah pertemuan Brie dengan Erna – klien pertama Brie. Kamar kos yang sudah dibersihkan dan dirapikan minggu lalu, kini bak kapal pecah setelah Brie menyelesaikan tugas pertamanya sebagai fotografer. Dua hari yang lalu Brie mengirimkan file foto-foto produk yang sudah final kepada Erna, ia berharap tidak ada permintaan revisi.

[Brie, aku suka banget hasilnya! Barusan udah aku transfer ya.] Brie membaca pesan dari Erna, ujung bibirnya tidak terhenti menyungging. Dia benar-benar bahagia dan hampir tak percaya, hobi yang ia tekuni dapat menghasilkan uang. Tak henti-hentinya ia mengucapkan rasa syukur, apalagi setelah melihat nominal uang di rekeningnya bertambah setelah sekian lama berkurang karena tidak ada pemasukan. Walau nominal yang masuk belum banyak, namun tetap saja ia merasa mendapatkan angina segar.

[Oh iya Brie, kalau aku rekomendasiin jasamu di komunitas bisnis, kamu tak keberatan, kan?]

[ Dengan senang hati! Makasih ya, Er! J] Brie tidak bisa berhenti tersenyum, meski kamar bak kapal pecah, ia merasa memiliki harapan baru.

            Dari pesan singkat Erna tersebut, bermunculan pesan-pesan lain yang tertarik dengan jasa Brie, kebanyakan pesanan dari pemilik bisnis kecil yang baru mulai berjalan. Brie memang menawarkan jasa foto dengan tariff yang sangat terjangkau, namun tetap berkualitas, sehingga satu per satu pelanggan berdatangan. Walau sering begadang memikirkan konsep dan inovasi untuk foto produknya, ia tidak mengeluh dan ia merasa kegiatan seperti itulah yang ia sukai.

            [Hai, perkenalkan, saya Sherly dari kafe Bittercoffee. Saya mendapatkan rekomendasi dari teman untuk jasa foto produk dapat menghubungi nomor ini, apakah benar?] Dia ingat kafe itu adalah kafe tempatnya dan Erna bertemu untuk membahas projek pertamanya sebagai jasa foto produk. Ia pun berpikir, “Mungkin aku berjodoh dengan kafe ini.” Dengan bersemangat ia membalas pesan tersebut dan menyebutkan saat ini masih bisa menerima jasa foto. Diakhir pesan, disepakati untuk meeting besok sore pukul empat.

***

Pukul empat kurang lima menit, Brie telah sampai di kafe Bittercoffee. Seorang pelayan menyambutnya dengan ramah.

            “Selamat datang di Bittercoffee, untuk berapa orang?”

            “Saya sudah janjian sama Mbak Sherly, ada?” Setelah mempersilakan Brie untuk duduk, pelayan itu langsung masuk ke dalam mencari Sherly.

            “Hai, Kak Brie, ya?”

            “Halo, iya betul, dengan mbak Sherly?”

            “ Iya, ini Sherly. Jangan panggil mbak dong, aku masih muda.” Sherly berkelakar.

            “ Wih keren ya, masih muda udah pinter usaha,”

            “Masih pemula Kak, masih perlu banyak belajar.”

Brie mengamati perempuan di depannya dengan seksama, terlihat masih sangat muda dan manja, namun memiliki semangat belajar yang luar biasa. Sherly menjelaskan pesan apa yang ia ingin sampaikan lewat kafe itu, gambaran itulah yang akan ditampilkan melalui visual foto.

            “Aku kasih nama Bittercoffee karena kopi itu memang pahit, tapi banyak penikmatnya. Sepahit-pahitnya kopi tetap bisa dinikmati, sepahit-pahitnya kehidupan harus tetap dijalani,” terang Sherly dengan percaya diri.

Ide diperolehnya ketika ia teringat kembali hari pertama hidup tanpa orang tua, tangisnya seperti tak berkesudahan. Rasanya dunia berakhir, tak ada semangat dan hampa. Sampai akhirnya ia sadar ketika hidupnya terhenti pada memori kematian orang tuanya, Edwin malah pontang-panting bekerja agar tetap dapat menghidupinya. Sherly paham betul, jika Edwin sangat bersedih kehilangan orang tua, dilihatnya Edwin menangis tersedu-sedu di samping pusara Ayah dan Ibunya. Namun, Edwin sadar bahwa kehidupan seberat apapun harus tetap dijalani. Semua berkat Edwin, Sherly kembali hidup.  

***

Aroma kopi menyeruak di kamar Brie, malam ini dia berencana untuk begadang menyelesaikan pekerjaan dari kafe Bittercoffee. Sherly berbaik hati memberinya sebungkus bubuk kopi Gayo, seolah paham jika Brie memerlukannya untuk bekerja dengan minimal kesalahan karena rasa kantuk. Brie menyesap kopinya, terasa sensasi bittersweet yang membuat matanya tetap terjaga.

            [Mbak, bulan depan aku ke kosmu. Cari kerja.] Brie terkejut mendapatkan pesan dari Anita, adik semata wayangnya yang juga ingin merantau. Konsentrasi Brie mulai goyah, secara otomatis Anita akan tahu kalau Brie sudah tidak bekerja di kantor seperti yang ibu dan keluarganya tahu. Ibu Brie sangat berharap anak-anaknya dapat bekerja sebagai karyawan tetap sebuah perusahaan bonafid, dengan harapan kehidupan mereka akan lebih terjamin dengan penghasilan tetap. Belajar dari pengalaman masa lalunya, yang hanya bekerja serabutan dengan penghasilan yang juga tidak tetap. Setiap hari dalam doa untuk anak-anaknya, ia tak ingin anak-anaknya berakhir seperti dirinya, seorang single mother tanpa pekerjaan tetap.

[Ok.]

Sepotong roti kasur berada di samping Brie sejak tadi, namun masih belum disentuh. Brie tenggelam dengan pekerjaannya, ia lupa jika perutnya belum diisi sejak tadi sore. Jika sebelumnya roti kasur sebagai cemilan, sekarang menjadi makanan santap malam. Tentu saja ia masih berhemat ketat. Prinsipnya saat ini adalah pemasukan harus jauh lebih banyak daripada pengeluaran. Ia akan memasak untuk sarapan dan makan siang, demi hidup lebih baik akhirnya ia belajar memasak. Masakan sederhana tentunya, yang tidak menyita banyak waktu. Waktunya lebih banyak tersita untuk pekerjaan dan mencari ide-ide referensi untuk foto produk.

            Kruukkk

Perut Brie berbunyi keras, sehingga konsentrasinya buyar seketika. Secara otomatis pandangannya beralih dari depan laptop ke roti kasurnya. Ia mengunyahnya perlahan, sambil merencanakan menu makanan besok pagi. Dilihatnya di dalam kulkas masih ada sayur sawi, wortel dan beberapa butir telur. Oseng sawi dan telur ceplok adalah menu andalannya. Brie memandangi isi kulkasnya lebih lama.

“Kebutuhan makanan akan lebih banyak dari ini,” gumam Brie.

Pikirannya tertuju pada kesehatan dompetnya, apakah keuangannya akan stabil jika Anita hidup bersamanya. Sedangkan saat ini ia sudah bukan pekerja kantoran dan posisi Anita masih pengangguran. Apalagi Anita cukup moody soal makanan, apa ia akan doyan dengan oseng sawi. Hal ini cukup mengusik pikiran Brie.

Brie menyesap kopinya yang sudah dingin, dan menghirupnya dalam-dalam. Walau aromanya sudah tak sekuat saat masih panas, kopi itu masih menyisakan aroma yang menenangkan. Setelah istirahat sebentar untuk menikmati roti kasurnya, ia melanjutkan pekerjaannya. Brie sangat berhati-hati dalam mengerjakan proyek dari Kafe Bittercoffee, karena ini projek pertamanya untuk kafe. Tentu saja ia ingin menampilkan hasil yang terbaik, agar nantinya jasa fotonya semakin dikenal banyak orang. Apalagi Bittercoffee adalah kafe baru yang sedang popular. Banyak komunitas pecinta kopi dan juga komunitas motor yang kerap berkumpul di sana.

Sebenarnya selain Bittercoffee beberapa tawaran dari calon klien mulai berdatangan setelah mendapatkan rekomendasi dari Erna. Namun, tawaran itu dapat ia kerjakan setelah ia menyelesaikan proyek Bittercoffee. Untung saja, para calon kliennya bersedia menunggu.

“Tidak apa-apa, usaha tidak mengkhianati hasil, setelah pahit terbitlah manis” Mantra itulah yang selalu Brie ucapkan selama mengerjakan projek barunya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status