Share

3. Edwin

“Hari ini kita buka pertama pukul sepuluh ya, jadi pastikan ketika kafe dibuka semua sudah siap. Barista siap, dapur juga siap,” kata Sherly memberi arahan ke semua pegawai kafe Bittercoffe. Satu jam menuju opening, ia cukup gugup. Gadis dua puluh tahun itu memberanikan diri untuk berwirausaha, tentu saja berdua dengan abangnya, Edwin. Keinginan Sherly membuka kafe memang sudah sejak satu tahun lalu, yang kemudian disetujui Edwin.

Tidak mudah bekerja sama dengan Edwin yang perfeksionis dan sedikit otoriter. Sherly yang manja, tiba-tiba menjadi sosok yang paling semangat membangun bisnis. Edwin tentu saja tidak langsung mengabulkan permintaan adiknya untuk membuka bisnis kuliner, dia ingin melihat kesungguhan Sherly. Setahun lalu, setelah mengutarakan keinginannya pada Edwin, Sherly diberi tantangan untuk mengumpulkan uang 20 juta dengan metode Sinking Fund, dimana setiap bulannya Sherly diwajibkan menyisihkan uang sesuai dengan kesepakatan untuk mencapai nominal 20 juta dalam waktu setahun.

            “Biar kamu belajar nggak boros, aku nggak mau ntar bikin usaha malah bangkrut gara-gara kamu nggak becus ngatur duit,” kata Edwin kala itu. Untung saja Sherly berhasil menekan nafsu belanjanya, karena memang tekadnya sudah bulat. Walau dengan berhemat membuat Sherly berhenti melakukan hobi belanja barang-barang branded seperti kebiasaannya dulu. Bahkan, teman-teman hedon Sherly tidak sedikit yang akhirnya menjauhinya.

            “Bang Edwin, temen-temen komunitas Abang bakalan dateng, kan?” tanya Sherly di sela-sela persiapan kafe. Sesuai dengan rencana, untuk memeriahkan pembukaan kafe, Edwin sudah mengundang teman-teman komunitas klub motornya. Mereka berjanji akan hadir sesuai dengan jadwal.

            “Iya, tenang aja, mereka udah ku undang semua,” jawab Edwin. Walaupun galak, Edwin sangat sayang pada Sherly. Sering kali ia bersikap tegas pada Sherly, karena ia ingin Sherly menjadi wanita yang kuat dan mandiri sehingga dapat menjalani hidup lebih baik. Jika Sherly terus-terusan menjadi anak manja dan pemalas, mana bisa bertahan di dunia yang kejam. Terlebih, mereka sudah tidak memiliki orangtua. Pak Suganda, ayah Edwin dan Sherly telah meninggal saat mereka masih kecil. Untung saja Pak Suganda sudah memiliki persiapan matang dengan membuka polis asuransi, sehingga jika telah tiada, istrinya, Bu Shinta tidak kerepotan memikirkan biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya. Setelah kepergian Pak Suganda, Bu Shinta melanjutkan usaha mebel suaminya. Sampai akhirnya lima tahun lalu, Bu Shinta berpulang karena sakit stroke yang dialami. Kemudian, usaha tersebut dipegang oleh Edwin hingga saat ini.

            [Win, posisi kafenya dimana? Lo keluar ke depan deh.]

            Edwin berjalan keluar memenuhi panggilan temannya yang kebingungan. Dia berjalan sedikit lebih cepat, khawatir temannya semakin tersasar. Lokasi kafe memang sedikit menjorok ke dalam dengan halaman penuh tanaman seperti halaman rumah nenek, sehingga membuat beberapa orang terkecoh.

***

            Sherly menyambar es Americano yang perlahan mencair, dia terlihat lelah dan sedikit kuyu. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Ia masih berkutat dengan data menu yang keluar di hari pertama kafe dibuka. Ramai dan penuh, tentu saja berkat komunitas club motor Edwin yang loyalitasnya sangat tinggi, hampir semuanya hadir. Capek dan lelah, ia sudah sangat ingin mengeluarkan dua kata itu, namun, tentu saja ia tahan. Jangan mancing emosi bang Edwin, Sher. Sherly menasihati dirinya sendiri dalam hati. Memancing emosi Edwin sama saja menutup usaha kafenya di hari pertama pembukaan. Dengan begitu Sherly sekuat tenaga menahan diri dan bersikap profesional.    

            “Mbak Sherly, masih ada tiga pelanggan yang belum pulang, nih,” tukas salah seorang Barista. Semua sudah mulai lelah, mereka sudah close order sejak pukul  sepuluh tadi dan closing jam setengah sebelas. Nyatanya hingga pukul sebelas malam, mereka harus menunggu pelanggan yang enggan beranjak dari kafe. Beberapa barista dan pegawai lainnya sudah kasak kusuk ingin menegur pelanggan-pelanggan tersebut, namun, tentu saja mereka segan dan akhirnya melaporkan ke Sherly. Ada perasaan bimbang, jika ditegur, ia khawatir para pelanggan itu merasa tidak senang. Padahal kafe baru dibuka. Namun, jika tidak ditegur, ia dan pegawainya harus menunggu berlarut-larut dengan kondisi sudah sangat lelah.

Edwin yang sibuk dengan laptopnya tiba-tiba bangkit dan langsung mematikan beberapa lampu depan, untuk memberi kode bahwa kafe telah tutup. Para pelanggan yang tersisa, langsung tersadar, sehingga mereka cepat-cepat mengakhiri obrolan.

“Terima kasih sudah datang, jangan lupa datang lagi, ya,” ucap Edwin ramah. Sherly banyak belajar pada Edwin, abang super galak itu benar-benar piawai beramah tamah, tidak heran jika Edwin berhasil mengembangkan bisnis furnitur peninggalan orangtua mereka. Banyak pelanggan baru yang menjadi pelanggan setia. Apalagi Edwin sangat pandai mengambil peluang, ketika aesthetic room décor menjadi sebuah tren di kalangan anak muda, ia dengan sigap mengeluarkan produk furnitur estetik. Ia dapat menyulap bisnis furnitur model lama menjadi sebuah bisnis modern dan trendi yang dulunya target pasarnya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu, sekarang target pasarnya mencakup anak-anak muda.

            “Bang, makasih banget. Untung ada Bang Edwin.” Sherly memegang punggung Edwin, kemudian memberi kode ke para pegawainya untuk bersiap-siap closing dan pulang. Banyak orang menilai Edwin adalah sosok gila kerja dan tegas. Padahal, keadaan yang membuat Edwin gila kerja dan sangat tegas sehingga terkesan perfeksionis, keadaan dimana ia menjadi kakak dan orangtua bagi Sherly setelah orangtua mereka meninggal dunia. Ia harus lebih banyak berusaha dan bekerja keras, agar Sherly tetap mendapat kehidupan yang layak. Apapun dilakukan untuk adiknya, sekalipun ia galak, ia sangat menyanyangi Sherly.

***

            Sudah memasuki akhir bulan, Edwin akan menghabiskan waktu lebih banyak di kantor furnitur untuk survey bulanan. Sejak Edwin memegang bisnis furnitur, bukan hanya merubah tatanan system, namun juga lingkungan kerja. Suasana kantor lebih terasa muda dan segar karena banyak bonus-bonus bulanan apabila mencapai target, sehingga karyawan bersemangat mencapai target. Semua pegawainya mengakui bahwa Edwin sangat pandai membuat karyawan nyaman dan sejahtera.

            “Bang Edwin mah baik, bikin kita betah di kantor asupan gizi lengkap, cemilan dan minuman melimpah,” ucap salah satu pegawai.

            “Iya, kita kerja keras tapi tetap happy,”timpal pegawai lainnya.

            Tidak heran banyak pegawai yang loyal dari muda hingga tua –pegawai lama. Walaupun semua kemudahan dan kenyamanan diberikan, mereka tetap bersikap profesional dan tidak seenaknya. Edwin selalu menyebut bahwa mereka adalah sekumpulan orang yang bekerja sama dan saling percaya, jadi ketika semua kebutuhan telah disediakan, para pegawai juga harus menyelesaikan kewajiban tugas sebaik-baiknya sesuai dengan prosedur. Semua orang setuju dengan sistem kerja seperti itu. Mereka berada di lingkungan kerja yang sehat dan profesional, sehingga masing-masing individu dapat mengembangkan diri. Tidak ada yang menganggap Edwin galak –kecuali Sherly. Mereka sepakat bahwa Edwin adalah sosok profesional.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status