LOGINAluna Prameswari hidup dengan dua wajah. Siang hari ia mahasiswi berprestasi. Malam hari ia bekerja di Eden Club—tempat yang dulu merenggut ibunya. Segalanya masih bisa ia kendalikan sampai seorang VVIP meminta dirinya. Tidak untuk minum. Tidak untuk ditemani. Tapi untuk dimiliki. Dan lelaki itu adalah Sagaras Mahendra Adiguna— pemilik baru Eden Club sekaligus dosen muda paling karismatik di kampus. Di hadapan mahasiswa, ia panutan. Di balik pintu klub, ia ancaman yang membungkus diri dengan rayuan dan kekuasaan. Terjebak antara ketakutan dan kebutuhan, Aluna dipaksa masuk ke dunia di mana batas antara cinta, kendali, dan kehancuran menjadi kabur. Akankah Aluna kembali menapaki jejak ibunya?
View MoreLampu-lampu ungu berbaur dengan aroma alkohol dan asap rokok. Musik berdentum pelan, terdengar lembut akan tetapi menusuk seperti denyut jantung yang dipaksa tenang.
Bagi sebagian orang, Eden Bar adalah tempat pelarian. Tetapi bagi Aluna Prameswari, tempat ini adalah perpanjangan hidup atau mungkin takdir yang tak pernah ia bisa ia pilih. Bagaimana tidak, jika bahkan sebelum ia bisa berjalan, dunia malam sudah lebih dulu memeluknya. Aluna sudah hafal ritmenya bekerja: tawa pelanggan, denting gelas, panggilan bartender, dan suara langkah-langkah cepat para pelayan dibawah cahaya lampu temaram. Kali ini, rambutnya diikat rapi, seragam hitam pas badan, dan ekspresinya terlihat begitu tenang seperti seseorang yang sudah terlatih.seolah telah lama berkompromi dengan hiruk-pikuk dunia yang menelannya. Kadang, di sela kesibukan, ia suka berpikir, apa mungkin hidupnya hanya sekadar menatap kehidupan orang lain dari balik kaca, melayani tawa yang bukan miliknya, dan menatap kebahagiaan yang tak pernah singgah di dirinya. Bekerja di tempat seperti ini, kata orang kalau tidak kuat menahan tatapan dan kata-kata, tak ada yang bisa bertahan meski sekedar 5 menit. Juga jika tidak kuat menahan diri akan godaan duniawi akan terseret ke arus yang sesat. "Gue denger VIP kali ini bukan kaleng-kaleng," bisik Gina. Sahabat dan juga rekannya bekerja. "Pejabat apa artis?" tanya Aluna memastikan. Matanya menatap datar daftar menu. Pasalnya telah menjadi rahasia umum jika tempat seperti ini berisi kelakuan orang berpengaruh untuk melampiaskan bakatnya. "Bukan. Gue denger juga kalo VIP ini yang bakal jadi 'bos' kita nanti." Aluna hanya mengangguk. Sudah jadi rahasia umum kalau klub ini akan berpindah tangan karena sang pemilik lama menjualnya demi menutup utang judi onlinenya. Di tengah obrolan singkat itu, Arman, sang manajer, menghampiri. “Aluna, meja VIP empat. Kali ini tamunya bukan orang sembarangan. Jangan bicara banyak, cuma antar minuman,” kata Arman, manajernya, dari balik meja kasir. “Seperti biasa, kan?” tanyanya ringan, meski dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya. "Ingat Aluna, jangan buat kesalahan." "Semangat Lun. Gue yakin tip lu gede," bisik Gina terkekeh. Aluna memang pelayan nomor 1 disini. Sikapnya yang tenang dan sopan membuat pelanggan betah. Terlebih senyum manisnya yang kalau kata Gina mengandung pesona semar mesem padahal senyum itu hanya untuk menjadi tamengnya. Baki di tangan kanan, senyum tipis di bibir, Aluna melangkah di antara meja-meja. Lalu matanya menangkap seorang pria muda berjas abu, duduk dengan tenang, dikelilingi beberapa lelaki lain dan beberapa perempuan yang bergelayut manja di sekitar mereka. Pria itu tidak tertawa seperti yang lain. Tidak bicara banyak. Gerakannya terlihat tenang tapi dingin. Sesekali ia meneguk minuman, menandatangani dokumen, menatap jam tangannya dengan kesabaran yang aneh. Nama itu bergema di kepala Aluna sejak tadi. Sagaras Mahendra Adiguna. Pengusaha muda yang katanya akan menandatangani kontrak besar malam ini. Salah satunya: peralihan kepemilikan Eden Club. Ia berusaha tidak menatap terlalu lama. Tapi ketika menaruh gelas di hadapan pria itu, pandangan mereka bertatapan sesaat, tetapi cukup untuk membuat udara sekitar menipis. Tatapan itu dingin, tapi bukan tanpa rasa. Ada sesuatu yang tak bisa didefinisikan di balik ketenangannya ada sesuatu yang nyaris menyeretnya. “Silakan dinikmati, Tuan,” ucap Aluna pelan. “Hm.” Hanya gumaman pendek. Tapi cukup untuk membuatnya cepat-cepat berbalik. Tangannya sedikit gemetar ketika ia menurunkan baki di balik bar. Kenapa jantungnya berdetak sekeras itu? Mungkin hanya lelah. Atau mungkin, ia baru saja menatap sesuatu yang seharusnya tidak disentuh. Ketika ia mengangkat wajah lagi, pria itu sudah berdiri. Dokumen di depannya telah ditandatangani, semua orang di meja tampak menahan napas. Sagara menutup pena, menatap Arman dengan datar. “Kontrak selesai.” “Tentu, Pak Sagara. Kami siapkan kamar untuk beristirahat sebentar. Ingin ditemani siapa malam ini?” tanya Arman hati-hati. Sagara menatap sekilas perempuan di lengannya, lalu pandangannya berpindah—ke arah bar. Ke tempat Aluna berdiri. Tatapan itu hanya sedetik, tapi cukup membuat Arman menelan ludah. “Perempuan itu,” katanya datar. “Maaf, Pak?” suara Arman nyaris bergetar. “Yang barusan antar minum.” “Aluna?” Sagara meneguk sisa minumannya pelan. “Antarkan ke kamar 387.” Kalimat itu keluar pelan, sopan, tapi tak memberi ruang untuk menolak. Aluna terpaku di tempat. Musik masih berdentum, tawa masih pecah di ruangan, tapi baginya dunia seperti berhenti berputar. Dan dalam keheningan yang menggantung itu, satu pikiran muncul di kepalanya. Malam ini, hidupnya mungkin akan berubah. Entah menuju arah yang lebih baik atau justru semakin hancur.Pagi itu, meski jam operasional baru saja dimulai Aluna bersama Naura dan Zora jalan di mall karena Naura bilang, "Gue butuh kopi mahal dulu biar bisa mikir skripsi murah." Mereka berjalan berdampingan menuju lantai dua, dengan rencana sederhana: sarapan, kopi, lalu skripsi-an dengan wifi cafe.Seperti biasa, Naura sudah mengeluh lagi. "Demi apa pun, otak gue baru nyala kalau minum kopi mahal," gumamnya sambil mengutak-atik tote bag-nya."Mahal yang bikin dompet menjerit tapi jiwa tercerahkan," timpal Zora, penuh dramatis.Aluna terkekeh. Sisa lelah semalam masih menempel, tapi celotehan dua sahabatnya cukup jadi penawar. Ada kehangatan aneh saat mereka bertiga bersama: rusuh, enggak efisien, tapi selalu menyenangkan.Eskalator membawa mereka naik perlahan. Naura sibuk menunjuk segala hal—sepatu blink-blink, parfum diskon, bahkan stan skincare yang masih tutup. Zora merengek soal tumitnya yang lecet. Aluna sendiri cuma mengamati sekeliling, merasa kontras dengan suasana klub semalam y
Aluna mengangkat kepalanya perlahan, menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan lagi ketakutan yang murni, tapi setitik tekad yang mulai menyala."Tidak," bisiknya pada bayangannya sendiri. "Aku tidak akan membiarkannya karena aku nggak mau seperti ibu."Dengan gerakan yang lebih pasti, ia meraih tisu dan membersihkan sisa air mata dan riasan yang luntur di wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri.Setelah merasa sedikit lebih baik, Aluna membuka pintu toilet dan keluar. Lorong belakang masih sepi, tetapi kali ini ia tidak merasa sekecil dan selemah tadi. Ia berjalan dengan langkah yang lebih tegap, meskipun hatinya masih berdebar kencang.Ia harus melakukan sesuatu. Tidak mungkin ia hanya berdiam diri dan menunggu Sagara menghancurkannya. Ia harus mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri, untuk melawan balik.Baru beberapa meter keluar dari pintu toilet, suara langka
Aluna keluar dari ruangan pribadi Sagara dengan langkah yang tidak stabil. Pintu berat itu menutup perlahan di belakangnya, namun suara klik-nya terdengar seperti palu yang memaku peti mati—mengurung napasnya, mengunci masa depannya. Gadis itu menyeret langkahnya menjauh dari lorong VIP, berusaha tidak terlihat kacau. Musik club masih menghantam dari lantai bawah, tapi lorong belakang untuk staff lebih sepi, hanya terdengar suara AC berdengung dan langkah karyawan yang lalu-lalang. Begitu sampai di depan toilet karyawan, Aluna langsung masuk dan mengunci pintunya. Klik. Suara yang biasanya membuatnya merasa aman kali ini justru terasa seperti apitan terakhir sebelum ia pecah. Lampu putih dingin di atas kepala membuat wajahnya tampak pucat di cermin. Rambutnya berantakan. Bibirnya memerah bekas tekanan. Dan matanya terlihat seperti mata seorang gadis yang baru lari dari sesuatu yang gelap. Aluna memalingkan wajah. Ia tidak sanggup menatap pantulan dirinya lebih lama. Tan
Aluna meronta dalam hati, namun tubuhnya seolah membeku. Ciuman Sagara semakin dalam, merasuki setiap inci dirinya. Ia merasa seperti terhisap ke dalam pusaran yang gelap dan berbahaya. Di tengah kekalutan itu, Aluna melihat bayangan dirinya di masa depan, seorang wanita yang terjebak dalam dunia malam, seperti ibunya. Ia tidak ingin menjadi seperti itu. Ia ingin meraih mimpinya, menjadi seorang sarjana yang sukses, dan membuktikan bahwa ia bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan sekuat tenaga, Aluna mendorong Sagara menjauh. Ia terhuyung ke belakang, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Tatapan Sagara menggelap, bukan hanya marah tapi juga tersinggung. "Kenapa?" Suara Sagara terdengar rendah dan dingin. "Aku tidak bisa," bisik Aluna, suaranya bergetar seperti daun yang tertiup angin. "Aku bukan wanita seperti itu." Sagara tertawa sinis, suara yang berhasil mengiris hati Aluna. "Lucu sekali. Kau pikir kau siapa, Aluna? Dunia tidak peduli kau seperti apa." Aluna me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews