“Yang ini mbak,” seru Indah menyerahkan dokumen pada Luna.“Ada lagi nggak?” tanya Luna.“Cuma itu aja.”“Oke, aku masuk ya.” Indah menitip berkas yang harus ditandatangani oleh Sadam saat akan masuk ke ruangan pria itu untuk briefing.Sadam fokus dengan layar kerjanya dan mempersilahkan Luna untuk duduk.“Sebentar, aku selesaikan ini dulu.”“Oke, pak.” Luna membuka laptopnya mengecek kembali file dan bahan yang akan didiskusikan. Bahkan sempat membalas pesan Ardan yang mengajaknya makan siang.Hampir lima belas menit menunggu Sadam selesai.“Oke, kita lanjut. Mana filenya.”“Ini dulu pak, Mbak Indah bilang sudah ditunggu.” Luna menyerahkan map berisi dokumen yang harus mendapatkan approval Sadam.“Hm.”Tidak lama Indah pun masuk karena Sadam menghubungi untuk mengambil dokumennya.“Ada lagi? Setelah ini saya naik untuk rapat dengan manajemen yang lain.”“Lewat sistem pak, sudah saya ajukan,” ujar Indah lalu keluar ruangan.Sadam memberikan arahan pada Luna sambil membuka layar komput
“Nggak mau ikut?” tanya Ratna mendengar Luna tidak akan ikut berpetualang.Ardan sudah menyiapkan mobil untuk mereka menuju tempat wisata dan berkeliling di Bali.“Ah, lo nggak seru.”“Aku kayaknya nikmati pantai yang dekat-dekat sini aja,” ujar Luna.“Nggak asyik deh. Kita pake mobil, lo nggak akan capek.”“Kalian aja, maaf aku nggak bisa,” tutur Luna. Ia merasa tidak nyaman harus bersenang-senang bahkan seperti double date antara Ratna dengan Ardan dan dirinya dengan Sadam.Katakanlah ia akan bercerai, tapi masih proses dan tidak elok kalau ia terlihat bersenang-senang dengan pria lain. Luna hanya menjaga harga dirinya.“Ya udah deh, tapi ikut sarapan ya,” ajak Ratna.Sadam dan Ardan sudah berada di resto, menunggu para wanita untuk sarapan bersama sambil menikmati secangkir kopi.“Luna nggak ikut,” seru Ratna pada Ardan.“Kenapa, sakit?” tanya Ardan menatap khawatir.“Nggak pa-pa, aku tunggu di sini aja. Paling main dekat-dekat sini,” sahut Luna. “Maaf ya,” ujarnya lagi.“Kamu yaki
“Gue suka kerja model begini. Nyambung liburan,” seru Ratna. Sudah berada di bandara menunggu jadwal keberangkatan.Luna sudah datang lebih dulu, Ratna dan Sadam menyusul. Seharusnya ada satu orang lagi yang berangkat, tapi batal karena orang tersebut ditugaskan Sadam ke tempat lain.“Tidak ada yang tertinggal ‘kan?” tanya Sadam.Saat ini mereka berada di executive lounge bandara.“Tidak ada pak. Semua dokumen dan laptop saya juga punya bapak saya jadikan satu koper,” jelas Luna.“Hm. Sudah sarapan?” tanya Sadam lagi.“Ya belumlah, pake nanya. Jam segini dia sudah di sini, mana mungkin sudah makan. Temenin dong atau ambilin apa gitu,” ejek Ratna.Jika bukan di lingkungan perusahaan atau bukan sedang bekerja, Ratna memang begitu. Sering mengejek Sadam dan Luna. Namun, akan bersikap profesional ketika berurusan dengan tugasnya.Luna yang sudah hafal dan kebal dengan ucapan sahabatnya itu, hanya merespon dengan cibiran. Langsung menuju buffet, begitupun dengan Sadam. mengambil coklat pan
Luna mengabaikan pertanyaan Sherin, kembali fokus mengambil barang-barangnya. Sherin pun menghampiri karena diabaikan.“Gara-gara lo, gue berasa kayak setan di sini.”“Kenapa karena aku?”“Iya, lo udah kayak malaikat di mata ibu, dan gue berasa iblis. Selalu aja apa yang gue lakuin itu salah,” cetus Sherin.“Ya memang kamu salah. Memang kamu pikir semua yang kamu lakukan itu benar? Astaga,” tutur Luna kembali mengabaikan Sherin. Pandangannya tertuju pada kotak perhiasan, ia buka dan isinya berkurang dari yang ia ingat. Tidak mau ambil pusing, ia kembalikan lagi kotak itu lalu mengunci lemari.Mengambil tas di atas lemari lalu memasukan pakaian dan perlengkapan yang tadi sudah dipisahkan.“Kenapa nggak pindah aja sekalian.”“Ini sedang aku lakukan. Tidak mungkin aku tidur di sini, tempat menjijikan,” ujar Luna.“Eh, lo ….”“Ada apa ini?” Ibu sudah berdiri di tengah pintu kamar. “Sherin, sedang apa kamu?”“Nggak ada bu, Cuma nyapa doang,” ujar Sherin lalu meninggalkan kamar Luna.Ibu m
“Dia ajak kamu apa?” tanya Sadam serius.“Dia ….” Luna menceritakan apa yang tadi dikatakan Irwan. Entah sekedar bercanda atau serius, tapi isi otak Irwan yang sepertinya semakin mesum bisa dipastikan kalau ia serius.“Gila,” ucap Sadam. “Suami kamu, mantan suami kamu itu sepertinya ada kelainan jiwa. Bagaimana bisa dia … astaga.”Sadam menghembuskan nafas kasar. Entah mengapa ia kesal juga mendengar ide gila Irwan mengajak Luna dan Sherin bercinta. Emosinya sangat terlihat dan Luna menyadari itu. Tentu saja kekesalan itu karena Sadam ada perasaan dengan Luna, tidak peduli kalau begitu terlihat dan kentara.“Jangan temui lagi, mana tahu dia ada rencana jahat denganmu.”“Rencana jahat?”“Kamu yang lebih kenal dia, baiknya jaga jarak dengannya. Langsung ke kosan kamu?” tanya Sadam meski ingin sekali mengajak Luna mampir untuk makan malam, tapi kembali lagi ia menghormati Luna dan status wanita itu. Seperti yang Ratna bilang, ia harus sabar.“Iya pak,” jawab Luna.Sempat melirik Sadam ya
“Jaga mulutmu, Mas!”Irwan malah terkekeh lalu menghisap rokoknya dan menghembuskan asap ke udara. “Jangan munafik Luna. Kamu tuh cinta aku, kabur karena marah dan cemburu doang. Pasti ada bagian dari kamu sama liarnya seperti Sherin,” ujar Irwan lirih.“Terserah mulut kamu saja. Jangan lagi mengganggu keluargaku.”“Maksud kamu aku mengganggu?”“Tidak mungkin Sherin pergi dari rumah di tengah malam buta kalau bukan karena kamu.” Luna bicara pelan meski dengan tekanan menunjukan kalau dia emosi.Irwan menatap sekeliling, mereka berada di tempat umum dan terbuka. Mini market itu pasti memiliki cctv. Ada orang lalu lalang juga kendaraan, ada juga tukang parkir dan beberapa orang menikmati jajanan di tempat tersebut.Beranjak dari jok motor lalu menghampiri Luna membuat wanita itu mundur.“Seharusnya kamu tanya Sherin, dia datang karena terpaksa atau sukarela. Mau tahu apa yang kami lakukan?”Luna menatap sinis dan tidak merespon pertanyaan Irwan.“Kami bercinta sangat liar dan panas. Kak