Home / Lainnya / Ambilah Gaji Suamiku! / Pagi-pagi Bikin Emosi

Share

Pagi-pagi Bikin Emosi

Author: Fhifhie_Zaa
last update Last Updated: 2023-08-01 10:05:00

Pagi bikin emosi 

Tok ... Tok ... Tok ... 

"Adam." 

"Adam buka pintunya!" 

Gedoran demi gedoran sangat mengganggu aktivitasku pagi ini. Ini masih pukul 5.30 pagi. Aku mematikan kompor dan segera membuka pintu depan yang digedor secara tak manusiawi. 

Ceklek ... 

"Ada apa sih, Mbak. Datang itu yang sopan sedikit. Mengganggu tau. Ini juga masih pagi."  

"Halah gitu doang. Mana Adam, suruh temui aku." 

"Memangnya ada apa, Mbak? Mas Adam masih tidur jam segini. Mbak kepagian datang kemari." 

Kebiasaan mbak Luna jika datang ke rumahku ia langsung masuk ke dalam padahal belum aku persilahkan masuk. Kami memang tinggal satu desa, hanya beda RT saja. Mbak Luna tinggal di RT 10, dan aku tinggal di RT 15. Jadi ia leluasa ke rumahku sesuka hatinya. Sedangkan rumah Ibu Mertuaku tak jauh dari rumah Mbak Luna. 

"Idih ini masak apaan coba. Sayur bening sama tempe doang? Gak ada ayam begitu. Kok miskin banget sih. Gaji Adam, jangan cuma  diumpetin aja, kasihan adikku sudah kerja keras dari pagi hingga malam hanya diberi makanan seperti ini." Cecarnya sambil membolak balikan sayur di dalam panci. 

"Terserah apa kata kamu, mbak. Nyatanya gaji suamiku hanya untuk keluarganya. Mana ada yang mau minta dibelikan mobil pada suamiku pula. Padahal rumah aja masih diangsur oleh suamiku," ucapku sambil meneruskan menggoreng tempe yang tertunda. 

"Kamu menyindirku? Wajar dong aku minta bagian dari adikku. Kalau bukan karena aku dan mbak Danik belum tentu adikku sukses seperti ini. Ini namanya balas budi." 

"Terserah apa kata kamu, mbak. Aku gak peduli." 

"Ada apa ini? Pagi- pagi sudah ribut saja," ucap Mas Adam yang keluar dari dalam kamarnya.

"Ajari istrimu sopan santun terhadap yang lebih tua. Kalau bukan karena jasaku kamu tentu gak akan bekerja di kantoran." 

"Santi... " 

"Apa, Mas! Kamu mau bilang hormati kakak kamu dan juga keluarga kamu. Mereka yang membiayai kuliahmu hingga tamat sarjana dan bisa bekerja di kantor. Mereka juga yang berkorban demi masa depan yang cerah untuk kamu. Mereka lebih utama daripada aku dan anak kamu. Begitu, Mas. Aku sudah hafal kata- kata kamu." 

"Heh Santi, jaga ucapan kamu. Apa begitu didikan orang tua kamu. Katanya lulusan terbaik nyatanya sifatnya nol." Terang Mbak Luna. 

Daripada makin panjang lebih baik aku masuk kedalam kamar, Riko. Ini sudah siang, waktunya ia bangun dan berangkat sekolah. Pagi- pagi sudah merusak mood ku saja. 

"Eh anak Mama sudah bangun dan rapi. Baru mau mama bangunin tadi," ucapku sambil tersenyum menghampirinya.

"Iya, Ma. Kan sudah siang. Nanti,Riko telat masuk sekolah." 

"Hmmm pintarnya anak mama. Ya sudah kita sarapan dahulu yuk. Mama buatkan sayur bening bayam dan juga tempe goreng." 

"Ayo, Ma. Kata Bunda di sekolahan sayur bayam itu bagus dan banyak vitaminnya." 

Aku bersyukur, walau putraku usianya masih dini tetapi ia sangat cerdas. Semoga kelak ia tak menurun sifat Papa-nya. Kugandeng tangan kecil ini keluar kamar dan menuju meja makan. Terlihat kakak ipar ku juga ikut duduk di meja makan. Aku hanya tersenyum melihat betapa banyaknya ia mengambil nasi dan juga sayur bening buatan ku pagi ini. Doyan apa doyan, ya? 

Aku segera mengambilkan makanan untuk Riko agar ia segera sarapan dan aku segera mengantarkannya ke sekolah. Tak baik membiarkannya terlalu lama berada di rumah apalagi ada mbak Luna. 

"Cepat habiskan makanan kamu dan segera mama antarkan ke sekolah." 

"Nghabis- habiskan biaya saja. Sekolah dari pagi sampai sore. Gak kasihan sama suaminya yang kerja dari pagi hingga sore." 

"Ini 'kan anakku, mbak. Terserah aku dong. Mau aku sekolahin full seharian atau malah di pondok pesantren saja itu juga urusan aku. Yang penting aku gak minta biaya dari suami mbak 'kan?" 

"Huh.. ajari istri kamu sopan santun sama aku. Aku tunggu di luar," ucap mbak Luna. Ia terlihat kesal terhadapku. Tapi masa bodo lah. 

"Dek, jaga sedikit bicara kamu. Ia kakak aku loh, yang bantu aku selama ini," ujar Mas Adam membela kakaknya. 

Tak ku hiraukan ucapan Mas Adam, aku lebih memilih meneruskan sarapanku. Usai sarapan, aku segera mengantarkan Riko ke sekolahannya. Walau hari ini masih terlalu pagi dari biasanya tapi lebih baik daripada terlalu lama di rumah. 

Ku kendarai sepeda motor lamaku untuk mengantarkan putraku. Membelah jalanan yang masih sepi pagi ini. Sampai kapan harus selalu seperti ini? Lelah, tentu aku sangat lelah. Selalu bersabar dan mengalah sudah aku lakukan tentu semuanya ada batasannya. 

"Ma, apa benar rumah yang kita tinggali sekarang mau di jual dan kita tinggal di rumah nenek Tari?" 

Astaghfirullah. Sejenak aku menepikan kendaraan ku. Ku ajak Riko duduk sebentar di taman dekat sekolahannya. Pernyataannya barusan membuatku gelisah. 

"Riko kata siapa?" tanyaku setelah kami duduk berdua di bangku taman.

"Semalam Riko dengar dari papa yang bilang rumah kita akan dijual. Dan  tadi pagi Riko juga mendengar pembicaraan Papa dan tante membahas penjualan rumah kita, Ma. Riko gak mau tinggal di rumah nenek Tari. Nenek Tari jahat sama Riko," ucap bocah kecil di hadapanku ini. 

Ya, aku tahu bahwa Riko selalu di beda- bedakan oleh mertuaku. Ia selalu dikucilkan. Apalagi jika kami semuanya berkumpul, anak- anak kakak ipar ku tak ada yang mau mendekati Riko. Makanya aku malas sekali jika sudah mengadakan kumpul keluarga. 

"Ma... Mama kenapa diam saja. Berarti benar ya, Ma?" Riko kembali menanyakan hal yang sama dan ia menuntut untuk aku menjawabnya.

"Enggak kok, Nak. Rumah itu gak akan pernah di jual. Rumah itu akan tetap jadi milik kita. Riko, gak akan pindah kemana- mana terutama ke rumah, nenek Tari," ucapku sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

"Tapi Papa ..." 

"Istttt gak usah di pikirkan. Mama, gak akan biarkan rumah itu di jual. Mama janji. Kalau seandainya rumah itu di jual, kita akan beli rumah yang lebih besar lagi lalu mengajak, Nenek dan kakek Bimo tinggal bersama. Sekarang Riko  fokus saja pada sekolah. Jadi anak pintar dan berprestasi. Buat banga, Mama dan Papa." 

"Benar, Ma. Iya ma, Riko janji akan fokus belajar dan jadi orang sukses." 

"Amin. Ya sudah yuk kita ke sekolah, sudah siang." 

Aku segera mengantarkan, Riko ke sekolahannya. Aku juga akan pulang dahulu sebelum ke Butik. Membersihkan bekas makan tadi pagi. Ku lajukan motorku menuju rumah. Terlihat mobil, Mas Adam masih ada di garasi. Apa dia tak bekerja hari ini? Apa, Mbak Luna juga masih ada di rumah?

Segera aku parkir 'kan  motorku di garasi depan samping mobil, Mas Adam. Kulihat sekeliling, Motor, Mbak Luna juga tak ada, berarti dia sudah kembali pulang kerumahnya. Syukurlah. 

"Assalamu'alaikum." 

Kubuka pintu rumah dan melihat sekeliling. Kemana perginya, Mas Adam?

"Astagfirullahaladzim. Apa- apaan ini, Mas. Kenapa semuanya di berantakan seperti ini?" Pekik ku kaget. 

Bagaimana tak kaget kalau ternyata suamiku memporak- porandakan seisi lemari pakaian kami. Kepala ini terasa mendidih mengetahui apa yang sedang suamiku cari. Aku tetap harus berusaha tenang. Jangan sampai aku gegabah. 

"Mana sertifikat rumah ini, Santi! Aku mencarinya dari tadi tak ketemu. Kamu sembunyikan dimana, Hah!" bentak Mas Adam. 

"Loh, bukankah sertifikat itu kamu yang simpan, Mas? Kenapa tanya aku? Memangnya ada bukti kalau aku yang mengambilnya? Aku saja tak tahu dimana kamu menyimpannya?" 

Mas Adam terdiam sesaat. Ia duduk disisi ranjang kamar kami. Ia terlihat frustasi tak menemukan apa yang ia cari. 

"Aku menyimpannya di meja itu dan menumpuknya dengan berkas- berkas lainnya. Aku juga selalu membawa kuncinya. Bagaimana bisa tak ada di tempat?" 

"Ya mana aku tahu, Mas. Sejak kamu memintanya untuk menyimpannya, aku tak pernah tau dimana letaknya hingga saat ini. Lagian buat apa kamu mencari sertifikat itu. Jangan bilang mau kamu jual atau kamu gadaikan, Mas?" ujarku padanya.

"Ingat hutang kamu sudah terlalu banyak, Mas. Mau nambah hutang lagi. Lagian buat apa kamu menuruti kemauan saudara- saudara kamu kalau kamu-nya tak sanggup. Bukan begini membalas budi mereka. Kamu juga harus ingat ada anak dan istri kamu yang harus kamu bahagiakan dan utamakan," sambungku lagi sambil memungut pakaian yang berserakan di lantai dan juga tempat tidur. Kalau begini kemungkinan aku tak ke butik hari ini.

Kulihat, Mas Adam masih terdiam sambil memijat pelipisnya. Entah apa yang dia pikirkan aku tak tahu. Yang jelas sampai kapanpun tak akan aku serahkan sertifikat rumah ini. Enak saja, aku yang membeli dan Mas Adam menjualnya kemudian uangnya diserahkan pada saudara- saudaranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Amaly
lanjut ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ambilah Gaji Suamiku!   part 41

    Kehidupanku saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahagia? Jelas... Jelas aku bahagia dan bersyukur. Apalagi memiliki anak- anak yang begitu perhatian dan saling menjaga satu sama lain. Riko bertanggung jawab atas kedua adik- adiknya. Hanya saja aku sedih dan gelisah saat ini. Sekian tahun lamanya ternyata putraku belum bisa menghapus rasa itu dari dalam dirinya. Entah apa yang harus aku lakukan lagi. Pertemuanku dengan Mas Adam membuat hati ini menjadi dilema dan serba salah. Riko yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalu terus menerus menolak bertemu dengan Mas Adam. Setiap kali aku membahasnya ia akan tetap menolaknya mentah- mentah. Aku sudah bertekad akan mendekatkan Riko dengan Mas Adam. Bagaimanapun ia masih memiliki hubungan darah dengannya. Jika mantan istri itu ada tetapi tak ada yang namanya mantan anak. Mas Faiz berjanji akan terus membantuku. Aku tak ingin di cap negatif dalam mendidik Riko. Riko lulusan pesantren dan lulusan perguruan

  • Ambilah Gaji Suamiku!   part 40

    Santi merasa ada yang memanggil. Ia segera menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat orang yang memanggilnya. Mengatur nafasnya dan berusaha bersikap santai dan biasa melupakan ketegangan malam itu. "Loh Mas Adam sama siapa?" "Aku mengantar Johan dan istrinya. Katanya ingin berbelanja, itu mereka ada di butik kamu. Kebetulan aku sedang cari tempat makan malah ketemu kamu disini." "Oh,,, kebetulan kami habis makan disini bareng anak- anak." "Mana suami dan anak- anak kamu. Apa ada Riko,San?" "Hmmm suamiku baru di toilet dan anak-anak sudah menuju butik katanya mau ambil barang." "Riko? Berarti ia ada di butik kamu?" "Riko...." "Ma... Aku sudah selesai, ayo kebawah. Ayah biar nyusulin kita aja." Seketika Adam menoleh dan melihat putranya berada tepat di belakangnya. Rasa haru dan bahagia terpancar dari wajah Adam. Sekian lama mencari kini ia bertemu dengan putranya kembali. "Riko..

  • Ambilah Gaji Suamiku!   part 39

    Adam segera memarkirkan mobilnya kebetulan halaman rumah Ibunya cukup luas. Bahkan 4 mobil pun cukup di halaman depan rumahnya. Dengan pelan tapi pasti Adam memasuki rumahnya. Tampaklah anak kecil yang masih bermain di ruang tamunya rambut ikalnya dengan pipi yang gembul, belum lagi gigi di bagian depan yang membuatnya mengemaskan. 'Kenapa ada anak kecil dirumah ini? Anak siapa ini?' Gumam Adam sambil terus memperhatikan tingkah lucu anak di depannya. "Mas.. ayo masuk. Didalam ada anak- anak Mbak Danik. Maaf Mas, Alika ini suka sekali bikin berantakan." "Ini anak kamu, Wi. Kapan kamu datang?" "Iya, Mas. Ini Alika anakku dan Mas Johan. Kami datang tadi pagi. Sekitar jam depalanan. Oh Oya itu Mama dan Mas Johan ada diruang makan bersama kedua anak Mbak Danik." "Baiklah. Aku ke kamar dahulu sebelum menemui mereka." Adam segera berlalu. Sebelum benar- benar berlalu ia sempat mencium pipi gembul Alika. Ia sungguh terpesona

  • Ambilah Gaji Suamiku!   part 38

    "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Jawab Bu Tari dan Mbak Danik bersamaan. Bu Tari segera melangkahkan keluar guna melihat siapa tamu yang berkunjung pagi ini. "Johan... Widi. Ayo masuk, kok gak bilang dahulu kalau mau pulang." "Kejutan untuk Mama. Sudah lama kami gak pulang kemari." Kata Widi istri dari Johan."Widi, anak ini..." "Iya, Ma. Ini anakku dan Mas Johan." "Mama punya cucu perempuan. Danik... Danik kemari, lihat lah ini. Mama punya cucu perempuan,Danik. Terimakasih Ya Allah, akhir ya aku punya cucu perempuan juga." "Johan, Widi apa kabar kalian." "Kabar baik, Mbak. Mbak sendiri bagaimana?" "Seperti yang kamu lihat. Mbak baik dan sehat." "Alhamdulillah kalai begitu, Mbak. Oh iya, Mas Adam kemana? Masa sepagi ini udah berangkat ke kedai?" "Ada baru menemui Santi dan Riko. Kebetulan kan mereka ada di Jakarta." Jawab Bu Tari dengan semangat. "Alhamdulilla

  • Ambilah Gaji Suamiku!   Part 37

    Pov Santi Aku tak menyangka di usiaku yang tak lagi muda ini Allah masih memberikan aku karunia-Nya. Sungguh- sungguh karunia yang begitu indah bagiku. Sengaja aku tak memberitahu langsung suamiku, anak- anak dan keluarga besar ku maupun keluarga suamiku. Aku ingin membuat kejutan untuk semaunya nanti waktu perayaan anniversary Butik dan Bridal ku yang di Jakarta. Beruntungnya aku di Butikku ada Siska yang sangat aku percaya, ia mau tak mau juga membantuku menyembunyikan kehamilanku untuk sementara waktu. Jika Mas Faiz mengetahuinya pasti ia akan melarang ku untuk melakukan apapun. Sejujurnya aku sangat beruntung memiliki suami seperti Mas Faiz. Ia sangat peduli dan perhatian penuh denganku. Apalagi jika tahu aku hamil lagi, ia memang menginginkan punya banyak anak. Untung saja kehamilanku kali ini tak membuatku harus sekalu ada didalam kamar sepanjang hari. Kehamilanku kali ini masih bisa membuatku beraktifitas seperti biasanya. "Bu Sant

  • Ambilah Gaji Suamiku!   part 36

    Tak terasa hari perayaan anniversary butik Santi diadakan. Santi dan keluarganya menggunakan baju dengan warna yang senada. Baju itu telah Santi rancang dan buat sendiri spesial untuk malam ini. Putranya juga terlihat gagah dan semakin tampan mempesona. "MasyaAllah anak Mama makin ganteng aja." "Iya dong Ma, siapa dulu ayahnya. Ayah Faiz." Gurau Riko sambil tersenyum dan terus menempel dengan Faiz. Sikap Riko terhadap Faiz memang berbeda, sedari kecil ia sangat manja dengan Faiz. Andai sejak dahulu aku bertemu dengan Faiz, mungkin kebahagiaan ini jauh lebih sempurna. Tak ada kesakitan atau kepahitan hidup ini yang begitu membekas di hati. Apakah Riko telah melupakan Papa kandungnya? Entahlah aku hanya berharap Riko tetap mengingat siapa Papa kandungnya dan berharap suatu saat nanti ia akan berbakti kepadanya juga. Aku tak ingin dianggap Ibu yang mencoba menghilangkan ingatan Riko tentang Papa kandungnya. Walau sejujurnya Mas Adam tak pernah sedikit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status