Share

Pagi-pagi Bikin Emosi

Pagi bikin emosi 

Tok ... Tok ... Tok ... 

"Adam." 

"Adam buka pintunya!" 

Gedoran demi gedoran sangat mengganggu aktivitasku pagi ini. Ini masih pukul 5.30 pagi. Aku mematikan kompor dan segera membuka pintu depan yang digedor secara tak manusiawi. 

Ceklek ... 

"Ada apa sih, Mbak. Datang itu yang sopan sedikit. Mengganggu tau. Ini juga masih pagi."  

"Halah gitu doang. Mana Adam, suruh temui aku." 

"Memangnya ada apa, Mbak? Mas Adam masih tidur jam segini. Mbak kepagian datang kemari." 

Kebiasaan mbak Luna jika datang ke rumahku ia langsung masuk ke dalam padahal belum aku persilahkan masuk. Kami memang tinggal satu desa, hanya beda RT saja. Mbak Luna tinggal di RT 10, dan aku tinggal di RT 15. Jadi ia leluasa ke rumahku sesuka hatinya. Sedangkan rumah Ibu Mertuaku tak jauh dari rumah Mbak Luna. 

"Idih ini masak apaan coba. Sayur bening sama tempe doang? Gak ada ayam begitu. Kok miskin banget sih. Gaji Adam, jangan cuma  diumpetin aja, kasihan adikku sudah kerja keras dari pagi hingga malam hanya diberi makanan seperti ini." Cecarnya sambil membolak balikan sayur di dalam panci. 

"Terserah apa kata kamu, mbak. Nyatanya gaji suamiku hanya untuk keluarganya. Mana ada yang mau minta dibelikan mobil pada suamiku pula. Padahal rumah aja masih diangsur oleh suamiku," ucapku sambil meneruskan menggoreng tempe yang tertunda. 

"Kamu menyindirku? Wajar dong aku minta bagian dari adikku. Kalau bukan karena aku dan mbak Danik belum tentu adikku sukses seperti ini. Ini namanya balas budi." 

"Terserah apa kata kamu, mbak. Aku gak peduli." 

"Ada apa ini? Pagi- pagi sudah ribut saja," ucap Mas Adam yang keluar dari dalam kamarnya.

"Ajari istrimu sopan santun terhadap yang lebih tua. Kalau bukan karena jasaku kamu tentu gak akan bekerja di kantoran." 

"Santi... " 

"Apa, Mas! Kamu mau bilang hormati kakak kamu dan juga keluarga kamu. Mereka yang membiayai kuliahmu hingga tamat sarjana dan bisa bekerja di kantor. Mereka juga yang berkorban demi masa depan yang cerah untuk kamu. Mereka lebih utama daripada aku dan anak kamu. Begitu, Mas. Aku sudah hafal kata- kata kamu." 

"Heh Santi, jaga ucapan kamu. Apa begitu didikan orang tua kamu. Katanya lulusan terbaik nyatanya sifatnya nol." Terang Mbak Luna. 

Daripada makin panjang lebih baik aku masuk kedalam kamar, Riko. Ini sudah siang, waktunya ia bangun dan berangkat sekolah. Pagi- pagi sudah merusak mood ku saja. 

"Eh anak Mama sudah bangun dan rapi. Baru mau mama bangunin tadi," ucapku sambil tersenyum menghampirinya.

"Iya, Ma. Kan sudah siang. Nanti,Riko telat masuk sekolah." 

"Hmmm pintarnya anak mama. Ya sudah kita sarapan dahulu yuk. Mama buatkan sayur bening bayam dan juga tempe goreng." 

"Ayo, Ma. Kata Bunda di sekolahan sayur bayam itu bagus dan banyak vitaminnya." 

Aku bersyukur, walau putraku usianya masih dini tetapi ia sangat cerdas. Semoga kelak ia tak menurun sifat Papa-nya. Kugandeng tangan kecil ini keluar kamar dan menuju meja makan. Terlihat kakak ipar ku juga ikut duduk di meja makan. Aku hanya tersenyum melihat betapa banyaknya ia mengambil nasi dan juga sayur bening buatan ku pagi ini. Doyan apa doyan, ya? 

Aku segera mengambilkan makanan untuk Riko agar ia segera sarapan dan aku segera mengantarkannya ke sekolah. Tak baik membiarkannya terlalu lama berada di rumah apalagi ada mbak Luna. 

"Cepat habiskan makanan kamu dan segera mama antarkan ke sekolah." 

"Nghabis- habiskan biaya saja. Sekolah dari pagi sampai sore. Gak kasihan sama suaminya yang kerja dari pagi hingga sore." 

"Ini 'kan anakku, mbak. Terserah aku dong. Mau aku sekolahin full seharian atau malah di pondok pesantren saja itu juga urusan aku. Yang penting aku gak minta biaya dari suami mbak 'kan?" 

"Huh.. ajari istri kamu sopan santun sama aku. Aku tunggu di luar," ucap mbak Luna. Ia terlihat kesal terhadapku. Tapi masa bodo lah. 

"Dek, jaga sedikit bicara kamu. Ia kakak aku loh, yang bantu aku selama ini," ujar Mas Adam membela kakaknya. 

Tak ku hiraukan ucapan Mas Adam, aku lebih memilih meneruskan sarapanku. Usai sarapan, aku segera mengantarkan Riko ke sekolahannya. Walau hari ini masih terlalu pagi dari biasanya tapi lebih baik daripada terlalu lama di rumah. 

Ku kendarai sepeda motor lamaku untuk mengantarkan putraku. Membelah jalanan yang masih sepi pagi ini. Sampai kapan harus selalu seperti ini? Lelah, tentu aku sangat lelah. Selalu bersabar dan mengalah sudah aku lakukan tentu semuanya ada batasannya. 

"Ma, apa benar rumah yang kita tinggali sekarang mau di jual dan kita tinggal di rumah nenek Tari?" 

Astaghfirullah. Sejenak aku menepikan kendaraan ku. Ku ajak Riko duduk sebentar di taman dekat sekolahannya. Pernyataannya barusan membuatku gelisah. 

"Riko kata siapa?" tanyaku setelah kami duduk berdua di bangku taman.

"Semalam Riko dengar dari papa yang bilang rumah kita akan dijual. Dan  tadi pagi Riko juga mendengar pembicaraan Papa dan tante membahas penjualan rumah kita, Ma. Riko gak mau tinggal di rumah nenek Tari. Nenek Tari jahat sama Riko," ucap bocah kecil di hadapanku ini. 

Ya, aku tahu bahwa Riko selalu di beda- bedakan oleh mertuaku. Ia selalu dikucilkan. Apalagi jika kami semuanya berkumpul, anak- anak kakak ipar ku tak ada yang mau mendekati Riko. Makanya aku malas sekali jika sudah mengadakan kumpul keluarga. 

"Ma... Mama kenapa diam saja. Berarti benar ya, Ma?" Riko kembali menanyakan hal yang sama dan ia menuntut untuk aku menjawabnya.

"Enggak kok, Nak. Rumah itu gak akan pernah di jual. Rumah itu akan tetap jadi milik kita. Riko, gak akan pindah kemana- mana terutama ke rumah, nenek Tari," ucapku sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

"Tapi Papa ..." 

"Istttt gak usah di pikirkan. Mama, gak akan biarkan rumah itu di jual. Mama janji. Kalau seandainya rumah itu di jual, kita akan beli rumah yang lebih besar lagi lalu mengajak, Nenek dan kakek Bimo tinggal bersama. Sekarang Riko  fokus saja pada sekolah. Jadi anak pintar dan berprestasi. Buat banga, Mama dan Papa." 

"Benar, Ma. Iya ma, Riko janji akan fokus belajar dan jadi orang sukses." 

"Amin. Ya sudah yuk kita ke sekolah, sudah siang." 

Aku segera mengantarkan, Riko ke sekolahannya. Aku juga akan pulang dahulu sebelum ke Butik. Membersihkan bekas makan tadi pagi. Ku lajukan motorku menuju rumah. Terlihat mobil, Mas Adam masih ada di garasi. Apa dia tak bekerja hari ini? Apa, Mbak Luna juga masih ada di rumah?

Segera aku parkir 'kan  motorku di garasi depan samping mobil, Mas Adam. Kulihat sekeliling, Motor, Mbak Luna juga tak ada, berarti dia sudah kembali pulang kerumahnya. Syukurlah. 

"Assalamu'alaikum." 

Kubuka pintu rumah dan melihat sekeliling. Kemana perginya, Mas Adam?

"Astagfirullahaladzim. Apa- apaan ini, Mas. Kenapa semuanya di berantakan seperti ini?" Pekik ku kaget. 

Bagaimana tak kaget kalau ternyata suamiku memporak- porandakan seisi lemari pakaian kami. Kepala ini terasa mendidih mengetahui apa yang sedang suamiku cari. Aku tetap harus berusaha tenang. Jangan sampai aku gegabah. 

"Mana sertifikat rumah ini, Santi! Aku mencarinya dari tadi tak ketemu. Kamu sembunyikan dimana, Hah!" bentak Mas Adam. 

"Loh, bukankah sertifikat itu kamu yang simpan, Mas? Kenapa tanya aku? Memangnya ada bukti kalau aku yang mengambilnya? Aku saja tak tahu dimana kamu menyimpannya?" 

Mas Adam terdiam sesaat. Ia duduk disisi ranjang kamar kami. Ia terlihat frustasi tak menemukan apa yang ia cari. 

"Aku menyimpannya di meja itu dan menumpuknya dengan berkas- berkas lainnya. Aku juga selalu membawa kuncinya. Bagaimana bisa tak ada di tempat?" 

"Ya mana aku tahu, Mas. Sejak kamu memintanya untuk menyimpannya, aku tak pernah tau dimana letaknya hingga saat ini. Lagian buat apa kamu mencari sertifikat itu. Jangan bilang mau kamu jual atau kamu gadaikan, Mas?" ujarku padanya.

"Ingat hutang kamu sudah terlalu banyak, Mas. Mau nambah hutang lagi. Lagian buat apa kamu menuruti kemauan saudara- saudara kamu kalau kamu-nya tak sanggup. Bukan begini membalas budi mereka. Kamu juga harus ingat ada anak dan istri kamu yang harus kamu bahagiakan dan utamakan," sambungku lagi sambil memungut pakaian yang berserakan di lantai dan juga tempat tidur. Kalau begini kemungkinan aku tak ke butik hari ini.

Kulihat, Mas Adam masih terdiam sambil memijat pelipisnya. Entah apa yang dia pikirkan aku tak tahu. Yang jelas sampai kapanpun tak akan aku serahkan sertifikat rumah ini. Enak saja, aku yang membeli dan Mas Adam menjualnya kemudian uangnya diserahkan pada saudara- saudaranya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Amaly
lanjut ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status