Mengamankan barang berharga
Pagi hari aku bangun sedikit kesiangan akibat semalam aku tak bisa tidur. Segera aku menunaikan ibadahku dan meluncur ke dapur memasak untuk sarapan kami. Usai memasak dan beberes singkat, aku segera memandikan Riko yang sudah bangun. Ia selalu bangun pagi karena selalu aku ajak sholat bersama. "Cuma nasi goreng telur, Dek? Gak ada yang lainnya?" "Gak ada, Mas. Kita harus berhemat. Makan saja yang ada," ujarku sambil meletakkan teh hangat di samping suamiku. "Ahhh kamu itu gak pandai mengelola uang. Makanya bekerja biar tau gimana susahnya cari uang. Gak cuma protes saja dirumah. Masa uang segitu dibilang kurang. Kamu-nya yang boros berarti." "Sekarang semuanya serba naik, Mas. Jadi aku akan benar- benar berhemat dan jangan tanya ikan, ayam ataupun daging lagi. Kecuali kamu beri aku nafkah seperti semula. Sekarang Riko juga sekolah dan belum bayar uang bulanannya." "Ngapain juga di sekolahin. Buang- buang biaya segala. Lebih baik kamu ajari dia di rumah. Kalau jatahnya SD baru sekolahin. Aku gak mau tahu harus tersedia makanan kesukaan aku setiap hari. Aku gak bisa makan tanpa adanya aneka protein hewani." "Beri aku tambahan uang dan akan aku masakan menu kesukaan kamu." Mas Adam memilih pergi dari rumah tanpa menyentuh sarapannya. Seharusnya dia bersyukur aku masih mau membuatkan sarapan untuknya. Ia pikir uang 1 juta cukup untuk semuanya. Untung aku bisa mengakali semuanya. Untuk bumbu dapur aku menanam sendiri di halaman belakang rumah ini menggunakan pot. Ada cabai besar, cabe rawit, bawang merah,bawang putih, kunyit, lengkuas,sereh aku tanam sendiri di belakang. Di depan rumah aku tanami sayur bayam, terong,dan kangkung. Lumayan untuk masak sehari- hari. "Ma, Papa kok marah aku sekolah. Memangnya Papa gak mau ya lihat aku pintar?" Astagfirullah, aku lupa jika tadi kami berdebat ada Riko di antara kami. Ya Allah, maafkan aku. Seharusnya, Riko, tak mendengar perdebatan tadi. "Anak mama,salah paham akan ucapan Papa tadi. Bukan seperti itu maksudnya, Nak. Sudah gak usah dipikirkan lagi. Sekarang Riko sarapan terus kita berangkat sekolah," ucapku sambil tersenyum kepadanya. Dengan lahap, Riko menyantap sarapannya dan menghabiskan susu yang telah aku sediakan. Aku juga memakan bagian ku,sebagai tenaga untuk memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus aku perbuat. Usai mengantarkan , Riko sekolah, aku kembali kerumah guna mencari dimana sertifikat rumahku disimpan oleh, Mas Adam. Untung waktu itu sertifikat ini atas namaku. Semoga aku tak terlambat mengamankan sertifikat rumah ini. Setibanya aku dirumah. Segera aku menggeledah seluruh rumah guna mencari dimana sertifikat itu berada. Mengapa aku dengan bodohnya menyerahkan begitu saja sertifikat ini pada,Mas Adam. "Ahhh ketemu. Alhamdulillah, aku harus segera mengamankan sertifikat ini," Gumamku dan segera membawanya untuk aku simpan.[Rere, kamu ada waktu siang ini?] [Ada, San, ada apa?][Bisa kita bertemu, aku ingin meminta bantuanmu?][Baiklah, kamu datang saja ke kantor. Aku tunggu kamu.][Oke. Aku segera ke kantor kamu.]Aku segera berangkat menuju kantor milik sahabatku. Hanya dia yang bisa membantuku saat ini. Dan hanya dia lah tempatku berbagi suka duka ku. Segera aku mengendarai sepeda motorku dan menuju kantor milik, Rere. Ternyata, Rere sudah menungguku di lobby kantornya. Aku segera menghampirinya."Hai,apa kabar,San?" "Kurang baik, Re. Aku ingin meminta bantuanmu." "Ya sudah kita ke kantin sambil mengobrol." Aku menceritakan semuanya pada Rere. Hingga pada akhirnya aku juga meminta tolong untuk mengamankan sertifikat rumahku padanya. Hanya dia yang aku percaya. Tak mungkin juga aku menyerahkan pada orangtuaku. Aku berada jauh dari orang tuaku. "Ya ampun keterlaluan suami kamu dan keluarganya, San. Lebih baik simpan di Bank saja lebih aman. Hanya kamu yang bisa mengambilnya." Saran Rere ada benarnya juga. Perhiasanku juga akan lebih aman jika disimpan disana."Benar juga kamu, Re. Ya sudah aku bawa ke Bank depan saja kalau begitu." "Ya sudah, ayo aku temani." 🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁Pukul 4 sore,aku menjemput Riko di sekolahannya. Ya,Riko aku masukan sekolah full day. Bukan aku tak mau mendidik putraku, tetapi aku juga butuh waktu untukku bekerja. Tidak ada yang mengetahui bahwa aku membuka usaha. Termasuk suamiku sendiri. Aku hanya berjaga- jaga saja, tetapi ternyata benar firasat ku kala itu. "Mama." Teriak Riko saat ia telah keluar dari ruangannya. "Anak mama wangi sekali. Bagaimana sekolah hari ini?" "Riko belajar melukis, Ma. Ini lukisan, Riko," ucapnya sambil menyerahkan lukisan kepadaku. "Waaa ini bagus sekali. Nanti kita tempel di rumah." "Boleh, Ma." "Boleh dong. Ayo kita pulang." Kami akhirnya pulang setelah berpamitan pada guru pembimbing anakku. Kami mengendarai motor dengan pelan, menikmati suasana sore hari di kota kelahiran, Mas Adam. "Ma, Riko, mau ayam goreng?" Pinta anakku. Ia hafal dimana penjual ayam goreng berada. Karena jalan menuju rumahku melewati gerai ayam goreng. Segera aku parkiran motor dan memesankan makanan untuk kami berdua. Kami makan bersama. Terlihat anakku begitu senang makan ayam goreng di gerai ini. Dahulu aku akan membungkusnya dan kami akan makan bertiga bersama. Tetapi kali ini, lebih baik aku dan anakku saja. Aku masih kesal terhadap, Mas Adam. Setibanya kami di rumah ternyata sudah ada mobil Mas Adam. Tumben sekali dia sudah pulang kerumah. Biasanya ia akan pulang malam karena mampir terlebih dahulu kerumah Mama. "Assalamu'alaikum," ucapku saat kami masuk kedalam rumah. "Wa'alaikumsalam. Kenapa baru sampai rumah kamu? Biasanya jemput, Riko gak lama." "Tadi ngobrol dulu sama guru pembimbingnya, Riko." "Kenapa kamu gak kemas- kemas sih. 'Kan sudah aku katakan kita akan tinggal dirumah, Mama dan rumah ini akan aku jual." Aku meminta anakku untuk masuk kedalam kamarnya dan berganti pakaian. Walau ia masih kecil tetapi ia sudah bisa berganti pakaiannya sendiri maupun mandi sendiri. "Bukankah aku sudah bilang kalau aku gak mau pindah kerumah Mama. Aku juga tak setuju rumah ini dijual sampai kapanpun. Jika, Mas, mau pindah,silahkan pindah sendiri jangan suruh aku maupun Riko juga ikut pindah." "Santi ! Kamu sudah berani membantahku? Kamu mau jadi istri durhaka?" Bentak Mas Adam. Astagfirullah, mengapa jadi seperti ini. Aku hanya mengelus dada ini. Memangnya dipikir aku gak tau akal bulus kalian semuanya. "Kalau aku ikut dengan kamu, apa kamu bisa menjamin hidupku nyaman seperti di rumah ini? Apa kamu juga akan memberikan aku nafkah tambahan yang aku minta? Apakah hasil jual rumah ini akan utuh masuk ke rekening aku untuk biaya sekolah, Riko tanpa kamu potong?" Terlihat Mas Adam tak dapat menjawab pertanyaan ku. Jelas dia tak sanggup memenuhi keinginanku. Sedangkan seluruh keluarganya ingin menikmati uang penjualan rumah ini, terutama Mbak Danik yang sudah mengelu- elukan membeli rumah dikawasan elit. Aku tahu berapa harga rumah di perumahan tersebut. "Ini juga rumahku,Santi. Aku juga membeli rumah ini. Mana bisa uang semuanya jatuh ditangan kamu. Jadi wanita jangan serakah. Lagi pula dirumah Mama semua kebutuhan tercukupi. Kamu dan Riko gak harus melulu makan sayur- sayuran seperti dirumah ini. Riko juga bisa meneruskan sekolahnya." Aku tertawa mendengar ucapan Mas Adam barusan, "Mas lupa atau bagaimana sih, hampir 90 persen rumah ini aku yang membeli menggunakan uang tabunganku. Jadi, kalau rumah ini dijual otomatis uang menjadi milikku. Mas lupa harga rumah ini berapa dan,Mas memberikan aku uang berapa. Mau aku ingatkan harga rumah ini waktu itu. Aku masih menyimpan kwitansinya."Kehidupanku saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahagia? Jelas... Jelas aku bahagia dan bersyukur. Apalagi memiliki anak- anak yang begitu perhatian dan saling menjaga satu sama lain. Riko bertanggung jawab atas kedua adik- adiknya. Hanya saja aku sedih dan gelisah saat ini. Sekian tahun lamanya ternyata putraku belum bisa menghapus rasa itu dari dalam dirinya. Entah apa yang harus aku lakukan lagi. Pertemuanku dengan Mas Adam membuat hati ini menjadi dilema dan serba salah. Riko yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalu terus menerus menolak bertemu dengan Mas Adam. Setiap kali aku membahasnya ia akan tetap menolaknya mentah- mentah. Aku sudah bertekad akan mendekatkan Riko dengan Mas Adam. Bagaimanapun ia masih memiliki hubungan darah dengannya. Jika mantan istri itu ada tetapi tak ada yang namanya mantan anak. Mas Faiz berjanji akan terus membantuku. Aku tak ingin di cap negatif dalam mendidik Riko. Riko lulusan pesantren dan lulusan perguruan
Santi merasa ada yang memanggil. Ia segera menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat orang yang memanggilnya. Mengatur nafasnya dan berusaha bersikap santai dan biasa melupakan ketegangan malam itu. "Loh Mas Adam sama siapa?" "Aku mengantar Johan dan istrinya. Katanya ingin berbelanja, itu mereka ada di butik kamu. Kebetulan aku sedang cari tempat makan malah ketemu kamu disini." "Oh,,, kebetulan kami habis makan disini bareng anak- anak." "Mana suami dan anak- anak kamu. Apa ada Riko,San?" "Hmmm suamiku baru di toilet dan anak-anak sudah menuju butik katanya mau ambil barang." "Riko? Berarti ia ada di butik kamu?" "Riko...." "Ma... Aku sudah selesai, ayo kebawah. Ayah biar nyusulin kita aja." Seketika Adam menoleh dan melihat putranya berada tepat di belakangnya. Rasa haru dan bahagia terpancar dari wajah Adam. Sekian lama mencari kini ia bertemu dengan putranya kembali. "Riko..
Adam segera memarkirkan mobilnya kebetulan halaman rumah Ibunya cukup luas. Bahkan 4 mobil pun cukup di halaman depan rumahnya. Dengan pelan tapi pasti Adam memasuki rumahnya. Tampaklah anak kecil yang masih bermain di ruang tamunya rambut ikalnya dengan pipi yang gembul, belum lagi gigi di bagian depan yang membuatnya mengemaskan. 'Kenapa ada anak kecil dirumah ini? Anak siapa ini?' Gumam Adam sambil terus memperhatikan tingkah lucu anak di depannya. "Mas.. ayo masuk. Didalam ada anak- anak Mbak Danik. Maaf Mas, Alika ini suka sekali bikin berantakan." "Ini anak kamu, Wi. Kapan kamu datang?" "Iya, Mas. Ini Alika anakku dan Mas Johan. Kami datang tadi pagi. Sekitar jam depalanan. Oh Oya itu Mama dan Mas Johan ada diruang makan bersama kedua anak Mbak Danik." "Baiklah. Aku ke kamar dahulu sebelum menemui mereka." Adam segera berlalu. Sebelum benar- benar berlalu ia sempat mencium pipi gembul Alika. Ia sungguh terpesona
"Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Jawab Bu Tari dan Mbak Danik bersamaan. Bu Tari segera melangkahkan keluar guna melihat siapa tamu yang berkunjung pagi ini. "Johan... Widi. Ayo masuk, kok gak bilang dahulu kalau mau pulang." "Kejutan untuk Mama. Sudah lama kami gak pulang kemari." Kata Widi istri dari Johan."Widi, anak ini..." "Iya, Ma. Ini anakku dan Mas Johan." "Mama punya cucu perempuan. Danik... Danik kemari, lihat lah ini. Mama punya cucu perempuan,Danik. Terimakasih Ya Allah, akhir ya aku punya cucu perempuan juga." "Johan, Widi apa kabar kalian." "Kabar baik, Mbak. Mbak sendiri bagaimana?" "Seperti yang kamu lihat. Mbak baik dan sehat." "Alhamdulillah kalai begitu, Mbak. Oh iya, Mas Adam kemana? Masa sepagi ini udah berangkat ke kedai?" "Ada baru menemui Santi dan Riko. Kebetulan kan mereka ada di Jakarta." Jawab Bu Tari dengan semangat. "Alhamdulilla
Pov Santi Aku tak menyangka di usiaku yang tak lagi muda ini Allah masih memberikan aku karunia-Nya. Sungguh- sungguh karunia yang begitu indah bagiku. Sengaja aku tak memberitahu langsung suamiku, anak- anak dan keluarga besar ku maupun keluarga suamiku. Aku ingin membuat kejutan untuk semaunya nanti waktu perayaan anniversary Butik dan Bridal ku yang di Jakarta. Beruntungnya aku di Butikku ada Siska yang sangat aku percaya, ia mau tak mau juga membantuku menyembunyikan kehamilanku untuk sementara waktu. Jika Mas Faiz mengetahuinya pasti ia akan melarang ku untuk melakukan apapun. Sejujurnya aku sangat beruntung memiliki suami seperti Mas Faiz. Ia sangat peduli dan perhatian penuh denganku. Apalagi jika tahu aku hamil lagi, ia memang menginginkan punya banyak anak. Untung saja kehamilanku kali ini tak membuatku harus sekalu ada didalam kamar sepanjang hari. Kehamilanku kali ini masih bisa membuatku beraktifitas seperti biasanya. "Bu Sant
Tak terasa hari perayaan anniversary butik Santi diadakan. Santi dan keluarganya menggunakan baju dengan warna yang senada. Baju itu telah Santi rancang dan buat sendiri spesial untuk malam ini. Putranya juga terlihat gagah dan semakin tampan mempesona. "MasyaAllah anak Mama makin ganteng aja." "Iya dong Ma, siapa dulu ayahnya. Ayah Faiz." Gurau Riko sambil tersenyum dan terus menempel dengan Faiz. Sikap Riko terhadap Faiz memang berbeda, sedari kecil ia sangat manja dengan Faiz. Andai sejak dahulu aku bertemu dengan Faiz, mungkin kebahagiaan ini jauh lebih sempurna. Tak ada kesakitan atau kepahitan hidup ini yang begitu membekas di hati. Apakah Riko telah melupakan Papa kandungnya? Entahlah aku hanya berharap Riko tetap mengingat siapa Papa kandungnya dan berharap suatu saat nanti ia akan berbakti kepadanya juga. Aku tak ingin dianggap Ibu yang mencoba menghilangkan ingatan Riko tentang Papa kandungnya. Walau sejujurnya Mas Adam tak pernah sedikit