Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi.
Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu.
“Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu.
“Biasa aja,” jawab Bagas.
“Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?”
“Iya kayaknya, gue juga baru kenal.”
“Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?”
“Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Ya namanya juga usaha Gas, emang lo kagak naksir apa cantik begitu,” lanjut Edwin.
“Biasa aja, kemarin dua hari dia numpang tidur di tempat gue,” Bagas menjawab biasa.
“Hah?! Wah pelanggaran lo, udah ngapain aja lo?!”
“Emang siapa yang nginep?” Silvi datang baru datang dan langsung bertanya.
Sudah dua minggu, bicara di pagi hari seolah-olah jadi kebiasaan baru di antara tim magang. Biasanya mereka datang lebih pagi, berkumpul di ruangan magang, dan minum secangkir kopi atau teh sambil menunggu jam untuk bergabung dengan tim sales atau melakukan aktivitas lainnya.
Pagi itu, Bagas dan Edwin datang lebih cepat, tapi obrolan mereka dipotong Silvi yang mencuri dengar soal ada cewek tidur di tempat Bagas.
“Oh, itu si Sa …”
“GUE! Gue yang tidur di tempat Bagas,” Edwin menyela jawaban Bagas.
“Oh gitu. Emang kalian sering main di luar kantor?” tanya Silvi.
“Main PS doang di tempat gue,” Bagas menjawab.
“Ikut dong,” Silvi merespons cepat, tapi tampak malu-malu. “Ke tempat lo maksudnya.”
“Emang lo bisa main PS?”
“Gas, lo bego bener dah gak ngerti lagi gue,” Edwin menyela. “Dah yuk cabut gabung tim Pak Evan.”
“Have fun guys,” Silvi berucap.
Bagas dan Edwin berjalan meninggalkan ruangan magang, suasana kantor masih relatif sepi. Para pegawai baru berdatangan.
“Lo bego apa bilang-bilang soal Sarah ke Silvi?” Edwin bertanya kesal.
“Hah? Emang kenapa?”
“Lo masa gak ngerti kode-kode cewek?”
“Hah? Kode?”
“Hah terus mulut lo bau.”
“Emang kode apa?”
“Nih anak emang ya. Silvi tuh tebar kode, kayaknya suka sama lo.”
“Masa gitu? Emang gimana kodenya?”
“Wah parah lo gitu aja gak peka.”
“Emang lo ngerti cewek? Udah pernah pacaran?”
“Belom pernah,” jawab Edwin. “Tapi gue ngerti lah.”
Bagas dan Edwin kembali bersama tim Pak Evan. Ini hari keempat, mereka sudah bergabung sejak hari Rabu pekan sebelumnya. Tim Pak Evan sedikit lebih ceria, anak magang diberi kesempatan bekerja.
“Pagi pak,” kata Edwin.
“Pagi,” jawab Pak Evan. “Kalian berdua pagi bener udah dateng.”
“Ditarik Edwin, pak,” jawab Bagas.
“Lo nih, wah!” Edwin masih kesal. Ya gimana pak, anak magang ya begini,” lanjutnya.
“Kopi gue masih banyak Win, gelasnya di sana.”
“Bawel lo, bikin lagi sono.”
Pak Evan tertawa. “Emang kenapa? Hari ini kalian mau turun lapangan lagi?”
“Boleh pak, kalau diizinkan,” jawab Bagas.
“Saya belum ngopi nih pagi ini.”
“Biar dibikinkan Edwin pak, katanya gitu.”
“Semena-mena lo! Wah …”
“Oke Win, makasih ya. Seperti biasa.”
Edwin menoleh ke Bagas sebentar, lalu balik ke Pak Evan. “Baik pak, pake gula merah sama krim ya.”
“Nah itu udah tau, sip.”
Edwin baru berdiri hendak keluar ruangan. “Gue juga Win, makasih ya,” kata Bagas.
“Wah orang kaya gila lo!”
Tiga jam pertama pagi itu dihabiskan untuk menulis laporan terbaru dan menyesuaikan data. Bagas dan Edwin mencoba menyusun data mereka sendiri setelah diizinkan turun lapangan pekan lalu.
“Oke, kalian berdua boleh ikut ke lapangan hari ini,” ujar Pak Evan.
“Wah mantap nih Gas, makasih pak,” jawab Edwin.
“Tapi,” lanjut Pak Evan. “Jangan malu-maluin kayak minggu lalu ya.”
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole