University of Oxford, Inggris, Juli 2017
Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka.
“Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management.
Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga.
Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum.
“Bagas …” terdengar suara pria tua.
Bagas menoleh mencari sumber suara, “Kakek!”
Pertemuan kakek dan cucu ini menghangatkan cuaca dingin pada saat itu. Sudah lama sekali sejak terakhir Bagas bertemu kakeknya, Rudi Hardjito.
“Kakek kapan datang?” tanya Bagas. “Ini sama siapa saja, Ayah ikut? Kakek sehat?”
Kakek Rudi tertawa sejenak. “Bagas, kamu masih sama seperti dulu, selalu bersemangat, ceria, tapi polos.”
“Ada yang mau kakek omongkan,” lanjutnya. “Kamu ada waktu? Gak ada kuliah?”
“Sudah selesai kuliah kek. Ada perlu apa? Kakek udah makan? Yuk sambil makan dekat sini.”
Bagas, kakeknya, dan para bodyguard berjalan menuju restoran yang dipilih Bagas. Tentu mereka tidak berjalan kaki, Kakeknya membawa Rolls Royce, entah dari mana, mungkin menyewa.
Mereka makan dengan lahap, atau lebih tepatnya Bagas yang makan dengan lahap. Kakeknya hanya minum teh, biskuit, dan menunggu Bagas selesai.
“Bagas,” ujar kakek Rudi. “Kakek mau minta tolong sama kamu.”
“Ada apa kek?” jawab Bagas sambil memainkan gelar orange juice-nya.
“Kamu kapan jadwal magang?”
“Harusnya tahun depan sih Kek. Kalau lancar,” Bagas tertawa kecil.
“Kamu bisa magang di Indonesia?” tanya Kakeknya langsung. Selalu tegas, seperti yang diingat Bagas.”
“Buat apa Kek? Bagas udah lama gak ke sana, lulus SD langsung ke Belgia sama Ibu.”
“Perusahaan Kakek, Djerami, harus diselamatkan.” jawabnya. “Ayahmu, om dan tantemu, mereka …”
“Berebut harta,” potong Bagas. “Kata ibu sih gitu, makannya ibu pindah ke Belgia.”
Kakek Rudi terdiam mendengar kalimat Bagas. Bagaimanapun, tak pernah dia bayangkan kelima anaknya akan saling sikut ingin menduduki posisinya.
“Iya,” Kakek Rudi menjawab. “Maka dari itu, Kakek mau minta tolong kamu. Kakek percaya sama kamu.”
“Bagas harus ngapain Kek?”
“Ini ide Shinta,” Shinta adalah cucu tangan kanan kakek, Bu Asri. Keluarga Bu Asri sudah puluhan tahun mengabdi jadi tangan kanan. Shinta seumuran Bagas, pernah beberapa kali bertemu.
“Kata Shinta,” lanjut Kakek Rudi. “Ada banyak masalah internal dalam perusahaan, tapi bakal sulit menyelesaikannya dari luar, kakek gak mau memecat ayahmu, om-om dan tantemu.”
“Terus, bagas harus bagaimana? Ngapain di Indonesia?”
“Kamu akan magang di Djerami, tapi diam-diam, gak usah bongkar identitas kalau kamu cucu kakek.”
“Wah seru! Aku mau,” potong Bagas.
Kakek Rudi terbahak singkat. “Dengar dulu, belum selesai.” lanjutnya. “Kamu magang aja seperti biasa, bilang tugas kampus. Nanti kakek percaya kamu bisa bantu Kakek pelan-pelan.”
“Eh, aku ngapain aja Kek? Kayak detektif gitu? Seru nih.”
“Gak perlu rencana, kakek percaya kamu. Lakukan apa yang menurutmu pantas dilakukan. Jadi dirimu sendiri, Bagas yang jujur, polos, dan berani. Bagas yang selama ini kakek kenal.”
“Wah misi rahasia dong ini. Bagas Bond!” Bagas tersenyum lebar. “Aku perlu ngomong ibu, Kek?”
“Boleh, kasih tau ibumu kalau waktunya sudah dekat. Misi ini juga penting untuk keluargamu, ibumu dan ayahmu.”
“Siap Kek! Tahun depan harusnya udah waktunya magang sih, tapi aku bingung, Kakek minta tolong aku ngapain?”
Kakek Rudi terdiam sejenak, katanya “Jadi dirimu sendiri, Bagas. Lakukan apa yang menurutmu harus dilakukan.”
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole