Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.
Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."
Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya. "Kau merasa seperti itu juga?" tanyanya.
Mariam mengangguk, suaranya kini penuh dengan kekhusyukan. "Setiap ombak yang datang, membawa cerita-cerita lama yang belum terungkap. Laut ini, seperti hidup kita. Berkelok-kelok, penuh dengan arus yang tak bisa kita kendalikan, tapi kita terus berlayar tanpa tahu apa yang akan datang."
Patiwaji berdiri di sampingnya, menatap lautan yang tak berujung itu. "Aku sering berpikir, apakah kita hanya seperti perahu kecil yang terombang-ambing di atas lautan ini? Tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti arus yang ada."
Mariam menoleh padanya, matanya menyiratkan pemahaman. "Itu mungkin benar. Tapi bukankah kita yang memilih perahu kita? Kita yang memilih untuk melayari laut ini, untuk mencari apa yang kita cari. Tak ada yang benar-benar bisa mengendalikan ombak, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapi mereka."
Patiwaji merenung sejenak, menyadari ada kebenaran dalam kata-kata Mariam. "Jadi, kita harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa perjalanan ini mungkin penuh dengan ketidakpastian?"
"Ya," jawab Mariam, suara yang dalam dan penuh dengan ketenangan. "Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan datang. Tapi kita bisa memilih bagaimana cara kita merespons setiap gelombang yang datang. Itu yang penting."
Angin yang berhembus sejuk menggoyangkan rambut mereka, sementara suara ombak yang menghantam pantai semakin keras. Sepertinya alam semesta itu sendiri tengah berbicara kepada mereka, memberi mereka waktu untuk merenung dan mengerti lebih dalam tentang arti perjalanan mereka.
"Apakah kau pernah merasa takut, Mariam?" Patiwaji tiba-tiba bertanya, suaranya lebih dalam daripada sebelumnya. "Takut akan perjalanan ini? Takut akan apa yang mungkin kita temui?"
Mariam menoleh padanya, melihat ekspresi serius di wajah Patiwaji. Ia diam sejenak, seolah menimbang-nimbang jawabannya. "Tentu, aku merasa takut. Takut akan hal-hal yang tidak kita ketahui. Takut akan kemungkinan kegagalan, takut akan kehilangan arah. Tetapi aku juga percaya bahwa rasa takut itu bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Rasa takut adalah bagian dari perjalanan ini, bagian dari apa yang akan membentuk kita."
Patiwaji mencerna kata-kata Mariam itu dengan seksama. Ia selalu berpikir bahwa ketakutan adalah sesuatu yang harus diatasi, dihindari, atau bahkan diabaikan. Tetapi kata-kata Mariam membuka perspektif baru. "Jadi, kau tidak takut pada perjalanan ini? Tidak takut pada apa yang mungkin kita hadapi di depan?"
Mariam tersenyum lembut. "Aku takut, Patiwaji. Aku takut akan banyak hal. Tapi aku tahu bahwa ketakutan itu tidak boleh menghentikan langkah kita. Justru, kita harus menghadapinya. Kita harus berjalan, meskipun kita merasa takut. Karena jika kita berhenti hanya karena takut, kita tidak akan pernah sampai ke tujuan kita."
Patiwaji terdiam, meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Mariam. Terkadang, ketakutan memang bisa menjadi hambatan terbesar dalam perjalanan hidup seseorang. Namun, jika ketakutan itu dikelola dengan bijaksana, ia justru bisa menjadi kekuatan yang memandu mereka melewati segala rintangan.
"Apa yang sebenarnya kita cari di sini, Mariam?" tanya Patiwaji, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Apakah kita hanya mencari kekuatan atau tujuan? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?"
Mariam memandangi laut untuk beberapa saat, sebelum menjawab dengan lembut, "Aku rasa, kita sedang mencari kedamaian, Patiwaji. Kedamaian yang hanya bisa kita temukan ketika kita menerima segala yang ada di sekitar kita—termasuk ketakutan kita, masa lalu kita, dan segala ketidakpastian yang ada di masa depan. Kita mencari tempat yang aman di dalam diri kita, tempat di mana kita bisa berdamai dengan siapa kita sebenarnya."
Patiwaji merasa ada sebuah kelegaan dalam kata-kata itu. Seperti ada sesuatu yang berat terangkat dari pundaknya. "Mungkin itulah yang selama ini kita cari, tanpa kita sadari. Kedamaian dalam diri kita sendiri."
Mariam mengangguk pelan. "Kita sering kali terjebak dalam pencarian yang tak ada ujungnya, Patiwaji. Kita ingin menemukan sesuatu yang besar, sesuatu yang luar biasa, tapi kita lupa bahwa kedamaian itu tidak harus ditemukan di tempat yang jauh. Kadang, kedamaian itu ada di dalam diri kita sendiri, jika kita mau mencarinya dengan cara yang tepat."
Malam semakin larut, dan suara ombak yang terus bergulung menjadi satu-satunya teman yang menemani mereka. Suasana di sekitar mereka sangat sunyi, hanya ada kedamaian yang mengalir pelan-pelan. Namun, di dalam hati Patiwaji, ada gelombang perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Rasa ingin tahu, keinginan untuk memahami lebih dalam, dan perasaan takut yang tak kunjung hilang. Tetapi, kata-kata Mariam membawa ketenangan yang luar biasa.
"Kau tahu, Mariam," kata Patiwaji akhirnya, "kadang aku merasa bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar pencarian luar biasa atau pencapaian besar. Mungkin ini adalah perjalanan untuk memahami diri kita sendiri. Untuk benar-benar mengetahui siapa kita."
Mariam menatapnya, ada kilauan kebijaksanaan di matanya. "Mungkin kita harus melanjutkan perjalanan ini dengan cara yang berbeda. Bukan hanya mencari tujuan yang jelas, tapi juga belajar dari setiap langkah yang kita ambil. Mungkin kita tidak akan pernah menemukan semua jawabannya, tetapi kita akan selalu belajar, dan itu adalah perjalanan yang tak ternilai harganya."
Patiwaji tersenyum, merasa sebuah pemahaman baru mulai tumbuh dalam dirinya. "Aku rasa, perjalanan ini adalah tentang lebih dari sekadar tujuan. Ini adalah tentang bagaimana kita menghadapi setiap langkah, setiap ombak, dan setiap tantangan. Mungkin, kita sudah menemukan apa yang kita cari."
Dengan kata-kata itu, mereka berdua terdiam, menikmati suara laut yang mengalun di malam itu. Dalam heningnya malam, mereka tahu bahwa perjalanan ini—meskipun penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan—adalah perjalanan yang sangat berarti.
Malam semakin gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang malu-malu menyinari permukaan laut yang berkilauan. Patiwaji dan Mariam masih berdiri di atas bukit kecil, di tempat yang sama, namun sekarang perasaan mereka terasa berbeda. Tidak ada lagi percakapan yang terburu-buru, hanya ada ketenangan yang mengisi setiap ruang antara mereka. Laut yang terus bergulung di bawah sana, menyuarakan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendengarkan dengan hati.
Patiwaji mengambil napas dalam-dalam, mencoba meresapi ketenangan yang ada di sekelilingnya. Namun, di dalam dirinya, banyak hal yang masih bergolak. Teringat kembali kata-kata Mariam sebelumnya—tentang mencari kedamaian dalam diri, tentang menerima ketakutan dan segala ketidakpastian yang ada. Semua itu mengendap dalam pikirannya, dan ia tahu bahwa perjalanan ini—meskipun penuh dengan kegelisahan—adalah perjalanan yang lebih besar dari sekadar pencapaian luar biasa.
“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Patiwaji setelah beberapa lama diam, suaranya menggema di tengah malam yang hening.
Mariam memalingkan wajahnya ke arah laut, memperhatikan ombak yang tak henti-hentinya datang. “Aku tidak tahu. Terkadang, aku merasa seperti ombak itu. Mereka datang tanpa bisa dihentikan, tanpa bisa diprediksi, dan meskipun ada batu-batu besar yang menghadang, mereka tetap menghantam dengan kekuatan yang sama.”
Patiwaji mengangguk, menyadari perasaan itu. “Aku merasa begitu juga. Kita terombang-ambing dalam arus yang tidak kita kendalikan. Kita tidak tahu apa yang akan datang setelah ini, apa yang akan menanti di depan.”
Mariam tersenyum lembut, tatapannya tetap tertuju pada ombak yang datang satu demi satu. “Tapi bukankah itu yang membuat kita terus maju? Ketidakpastian itu? Ketika kita merasa tidak ada yang pasti, kita justru belajar untuk bertahan. Mungkin, di situlah kekuatan kita ditemukan—di dalam ketidakpastian itu.”
Patiwaji merenung. Mariam selalu tahu bagaimana cara berbicara tentang hal-hal yang paling sulit dipahami, seolah memberikan pemahaman tanpa perlu menjelaskan semuanya secara detail. Dalam banyak hal, dia merasa seperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan, namun dalam cara yang menyenangkan.
“Jadi, kita harus menerima ketidakpastian itu? Menerima bahwa kita tidak akan selalu tahu apa yang akan datang, tapi tetap berjalan?” tanya Patiwaji, mencoba menangkap makna dari setiap kata yang keluar dari bibir Mariam.
“Ya,” jawab Mariam dengan suara yang penuh ketenangan. “Kita tidak bisa menghindari ketidakpastian. Itu adalah bagian dari kehidupan. Yang bisa kita lakukan adalah menerima ketidakpastian itu, dan belajar bagaimana menavigasi perjalanan ini dengan hati yang terbuka. Mungkin kita tidak selalu tahu ke mana arah kita, tapi selama kita berusaha dengan sepenuh hati, kita akan sampai di tempat yang tepat.”
Patiwaji memandang Mariam dengan tatapan yang dalam. Ia merasa seolah ada sesuatu yang besar dan penting yang sedang dipahami oleh dirinya, namun sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. “Kau selalu tahu bagaimana membuat segala sesuatunya terdengar begitu sederhana, Mariam.”
Mariam tersenyum kecil. “Sederhana bukan berarti mudah, Patiwaji. Seringkali, yang sederhana itulah yang paling sulit diterima. Kita terbiasa mencari jawaban yang kompleks, padahal jawaban sebenarnya ada dalam diri kita sendiri. Ketika kita bisa berdamai dengan ketidakpastian itu, kita akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya.”
Perkataan Mariam menyentuh hati Patiwaji. Terkadang, ia merasa terjebak dalam pencariannya yang tidak ada ujungnya. Namun, seiring berjalannya waktu, kata-kata Mariam memberikan perspektif yang berbeda. Seolah, untuk mencapai kedamaian, ia tidak perlu terus mencari, tetapi justru harus berhenti sejenak, menerima keadaan, dan melangkah dengan hati yang lapang.
Pemandangan di sekitar mereka semakin indah dengan cahaya bulan yang semakin terang. Lautan di bawah sana masih bergulung dengan tenang, seolah mendengarkan percakapan mereka, membiarkan mereka melangkah maju dalam pemahaman baru yang terbuka di hadapan mereka.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Patiwaji dan Mariam menoleh, dan melihat seorang pria yang berjalan menuju mereka. Di belakangnya, beberapa orang tampak ikut mengikuti. Patiwaji mengenali pria itu—Ia adalah Arfan, salah satu pemuda di desa yang dikenal dengan ketekunan dan kecerdasannya.
“Patiwaji, Mariam,” sapa Arfan dengan suara yang hangat namun penuh makna. “Kalian masih di sini?”
Mariam tersenyum kecil. “Kami sedang menikmati malam, Arfan. Laut ini memberikan banyak pemikiran.”
Arfan tersenyum dan berjalan lebih dekat. “Aku juga sering mendengar suara laut ini. Terkadang, aku merasa ada sesuatu yang besar dan kuno yang dipendam di dalamnya. Suara itu bukan sekadar ombak, tetapi bisikan dari masa lalu yang mengajarkan kita banyak hal.”
Patiwaji mengangguk, seolah memahami apa yang dimaksud Arfan. “Kadang aku merasa ombak ini menceritakan sebuah cerita yang belum selesai. Sebuah cerita yang kita belum bisa mengerti sepenuhnya.”
Arfan berdiri di samping mereka, lalu memandang laut yang terbentang luas. “Laut itu memang misterius. Tapi kita sebagai manusia harus belajar mendengarnya. Bukan hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati.”
Suasana menjadi hening sejenak, sementara mereka bertiga menatap ke arah laut. Angin malam yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma asin dari laut yang jauh di bawah sana. Setiap hembusan angin membawa ketenangan, namun juga membangkitkan perasaan tidak menentu—perasaan bahwa ada sesuatu yang besar dan tak terungkap yang mengintai di luar jangkauan mereka.
Arfan kemudian melanjutkan kata-katanya, “Patiwaji, Mariam, kita akan menghadapi perjalanan yang lebih panjang lagi. Perjalanan ini bukan hanya soal mencari kekuatan atau tujuan. Tetapi tentang bagaimana kita bisa bertahan dan berkembang dalam ketidakpastian yang ada.”
Mariam mengangguk, meresapi kata-kata Arfan. “Kita harus siap untuk apa yang datang, apa pun itu. Kita tidak tahu apa yang akan dihadapi di depan, tetapi kita bisa memilih untuk tetap berdiri tegak meskipun ombak datang menghantam.”
“Betul,” jawab Arfan, “dan dalam perjalanan ini, kita akan menemukan kekuatan kita bukan hanya dalam diri kita sendiri, tetapi juga dalam hubungan kita dengan orang lain. Kita akan saling menguatkan, saling mendukung, untuk melewati setiap gelombang yang datang.”
Patiwaji menatap ke arah Arfan, merasa ada kehangatan dalam kata-katanya. Ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, mereka tidak akan pernah sendirian. Ada orang-orang yang siap berjalan bersamanya, menghadapi setiap ombak yang datang dengan hati yang teguh.
Dengan hati yang lebih tenang, mereka bertiga tetap berdiri di sana, menyaksikan ombak yang datang tanpa henti, menikmati malam yang semakin larut. Suara lautan itu—meskipun tak terucapkan—memberikan mereka kekuatan dan pengertian baru.