Pesawat pribadi Erick yang ditumpangi dirinya serta Ann sudah mendarat dengan selamat di kota terkenal akan bangunan bersejarahnya namun berarsitektur kuno ini. Hawa sejuk musim semi serta rintikan hujan menyambut kedatangan dua manusia yang berbeda usia ini. "Selamat datang di London, Sir!" ucap Pengawal dari kolega Erick dengan ramah. Ann semakin tajkub pada sosok Erick ini. Sosoknya bagi Ann adalah inspirasinya. Kemudian para pengawal membawa Erick dan Ann agak jauh dari perkotaan. Selama perjalanan pandangan mata Ann menembus kaca jendela mobil jauh ke luar sana. Ya, jauh tidak karuan, hatinya kini hampa karena di sampingnya tidak ada sosok penguatnya. Akan tetapi berbeda setelah melihat handphonenya penuh dengan pesan dari Juan. Pesan-pesan itu seolah asupan energi semangatnya dia pun akhirnya tersenyum.
Mobil berhenti di depan bangunan dengan arsitek paling unik di antara bangunan ataupun rumah lainnya. "Ayo, Ann!" ajak Erick yang sedang memperhatikan gadis belia
Setelah pamitan pada ibu, ayah serta Renata yang baru pulang dari sekolah. Ann langsung masuk ke dalam mobil milik pribadinya, dan sopir pun sudah duduk di depan stir. Sementara Juan masih bergeming di dekat pintu mobil, "Ann, kamu ikut mobilku, aku mau mengantarkanmu." Pinta Juan sembari menatap wajah gadis yang sudah duduk di atas jok mobil belakang. Ann menggelengkan kepalanya. "Aku sama sopir saja!" singkatnya. "Ayo Pak, kita jalan agar tidak ketinggalan pesawat." Ann menambahkan dengan melirik ke arah sopir. Sementara Juan yang masih terpaku di depan pintu mobil, akhirnya duduk di sebelah Ann. Sopir bergegas melajukan mobil. Sedangkan Juan serta Ann saling membisu di belakang, setelah beberapa saat Juan memiringkan badannya menghadap Ann yang sedang membaca buku. "Yang kamu lihat minggu lalu tidak sesuai penglihatanmu!" jelasnya pelan dengan tangan hendak meraih tangan Ann, akan tetapi ditepis olehnya. Ann pun beraksi sama disertai menatap wajah Juan. Kemudian berbicara ketus,
Selandia Baru -1923 Tepatnya ada di kota The West yang terpencil. Di sana ada rumah sederhana, bahkan bisa dikatakan sangat kecil. Hamparan hijaunya sayuran sawi dan wortel, juga pepohonan yang rindang mengelilingi rumah. Air sungai mengalir jernih mengapit antara rumah ke rumah, membuat kota ini begitu sangat sejuk. Rumah sederhana ini bangunannya dari perpaduan anyaman bambu dan kayu jati yang tertata tidak beraturan. Adalah tempat tinggal gadis usia sepuluh tahun beserta keluarganya. Tenang, duduk di pelataran rumah dengan kursi panjang yang hampir rapuh. Tangannya asik dengan buku tulis usang ditemani pencil yang hanya tinggal separuh. Tiba-tiba, langkah kaki kasar dan terburu-buru keluar dari dalam rumah. “Kamu kalau sudah besar mau menjadi apa?” tanya Johan, yang merupakan Ayah dari gadis kecil ini sambil meraih peralatan melukisnya. “Aku ingin menjadi penulis, penulis yang hebat!” jawab Ann enteng. Ann Arthurian, gadis terlahir dari keluarga kurang beruntung namun penuh a
“Oh, Ann dunia memang terkadang sangat tidak adil bagi sebagian kita. Tapi, kamu harus sabar dan kuat!” ujar seorang Nenek yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Spontan, Ann mengercapkan kedua matanya. “Nenek?” Ann terkejut sambil menghampiri dan memeluknya. “Kok Nenek ada di sini?” tanya Ann pada Loriez yang ada di depannya. Begitu Ann mendongakan wajahnya ke atas, dia memundurkan langkahnya ke belakang. “Maaf, Pak,” ucapnya sambil memuyu-muyu matanya. “Lain kali, kalau jalan gunakan kedua mata!” jawab seorang Bapak yang tidak dikenali dengan kasar. Sejenak Ann merenung, ‘Kenapa kejadian ini sering terjadi? Tapi ini begitu nyata,’ ucapnya dalam senyap. Setelah sadar kalau itu hanya halusinasi, dia pun segera mempercepat langkahnya. Begitu sampai rumah, matanya kembali digercapkan. “Nenek Loriez?” ucapnya agak terkejut. Nenek serta merta mengurai tangannya lalu memeluk erat cucu kesayangannya ini. Tapi Ann,segera melepaskan. Melihat itu, Loriez heran. “Kamu baik-baik saja, A
Sepeninggal ibu dan neneknya, Ann kembali berimajinasi, tangannya lincah menulis di atas buku lusuhnya. Pikiran Ann pada kenyataan hidup yang selalu dibatasi. Dia memiliki sayap namun tersangkut pada ranting-ranting pepohonan, sangkutan itu tiada lain adalah pahitnya kemiskinan. Tiba-tiba saja Ann dikejutkan oleh Ayah yang baru datang, “Mariez, Riez kamu di mana? Cepat, ambilkan minum! Ambilah bahan makanan ini, lukisanku hari ini terjual dua buah dengan harga yang lumayan!” ucapan itu membuat Ann tersenyum. Ann dengan cepat mendatangi Johan. “Yah, Ayah... ibu pergi bersama nenek ke kampung sebelah!” ujar gadis kecil yang sudah berdiri di depannya sambil memberikan segelas air. Johan tersenyum, tangannya meraih gelas sambil berucap sangat lembut, “Mungkin kamu akan memiliki Adik baru.” Penuturan dari ayahnya membuat Ann menghela napas pendek, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan matanya tertuju pada beberapa bahan makanan yang Johan beli, “Ayah, bolehkan aku makan sep
Seketika Ann menutup kuping dengan menggunakan kedua tangannya, samar-samar dia mendengar lagi perkataan kasar dan cacian dari ayah kepada ibunya. Ann pun membalikan badannya, langkahnya berjalan ke arah ladang gandum yang menguning terhampar. Tatapannya ke arah gubuk kecil yang ada di tengah-tengah ladang. Kendatipun perut Ann sangat lapar dan tubuhnya yang lelah, dia masih terus berjalan mendekat gubuk tersebut. Begitu sampai dia pun duduk pada papan separuh yang tergeletak di antara rerumputan liar yang tumbuh, badannya menyender pada tiang bambu penopang gubuk. Ungkapan-ungkapan yang ada di pikirannya, Ann curahkan pada buku lusuhnya. Dengan tak sadar airmatanya mengalir deras. “Anak perempuan memang ditakdirkan cengeng!” gertak suara anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri tegak di belakang Ann. Cepat, Ann tergapah berdiri. Begitu membalikan tubuhnya dia melihat sosok anak laki-laki memakai kaca mata bening berbentuk bulat dengan frame warna hitam dan bertopi warna hi
Alice yang terpaku dari tadi tidak tinggal diam, dia mengikuti sahabatnya. Setelah sampai rumah Ann, Alice masuk ke dalam kerumunan, dia pun bertanya pada salah satu warga yang ada di sana, “Kenapa dan ada apa Pak?” “Nenek Loriez terjatuh, sepertinya dia memang sudah waktunya ajal, usianya ‘kan sudah tua sekali,” ungkap salah satu Bapak yang sibuk mempersiapakan pemulasaraan. Alice berdiri di belakang Ann, tangannya meraih lengan gadis yang sedang terisak ini. “Ann, kamu harus kuat, malam ini tidurlah di rumahku,” ucapnya pelan. Ann beranjak dan menoleh pada Alice, “Tuhan tidak sedang bersamaku, itu selalu!” ucapnya pesimis. “Tuhan sedang ada rencana besar untukmu, sabarlah!” jawab Alice menguatkan hati sahabatnya, hanya itu cara satu-satunya agar Ann tidak terpuruk. Kendatipun dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak memakan waktu lama, karena tidak ada yang harus ditunggu dari pihak keluarga. Pemulasaraan pun telah usai dengan
Di dalam asrama mata Ann memperhatikan ke sekeliling ruangan sambil terpaku di atas tempat tidur bertingkat. Tatapannya pada suster dan anak-anak sebayanya yang sedang sibuk dengan buku-buku mereka di atas meja belajar. Reina datang menghampiri dengan membawa beberapa baju dan kotak segi empat. “Jangan merenung seperti itu, nanti suster Maria akan menggodamu,” ujarnya sambil menoleh pada suster yang berbadan gemuk yang sedang merapikan tempat tidur. Tangan Reina pun meraih kotak, setelah di buka isinya adalah bermacam-macam buku yang tidak pernah Ann miliki. “Ensiklopedia Algoritma? Ensiklopedia Cultural? Science? Sejarah? Ilmu Peradaban?” ucap Ann sumringah sambil mengeluarkan semua buku-buku tersebut, hingga membuat tempat tidurnya penuh. Reina tersenyum melihat antusiasme Ann pada buku-buku, dia menyadari anak yang baru datang ini tidak seperti anak pada umumnya. Dia berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu. Kemudian, dia pun meninggalkannya.
Terbiasa dengan kehidupan serba minimalis dan ala kadarnya, tidur beralas sehelai karpet adalah bukan persoalan yang besar. Menyadari siapa dirinya, Ann tidak banyak menuntut atau mengeluh. Dia beraksi biasa saja, kemudian kakinya melangkah pada anak yang sedang menulis di sebelahnya. “Bolehkan aku minta beberapa lembar buku tulis dan pinjam pencil?” pinta Ann sedikit memelas. Teman sekamarnya ini membuka lacinya, lalu mengeluarkan buku dan pensil, “Ini, buatmu saja!” ucapnya datar. Ann mengambil buku tersebut dan berterima kasih. Kemudian, Ann duduk di kursi belajarnya lalu menulis kembali materi-materi yang diujikan waktu dia ulangan pelulusan. Kendatipun tidak yakin kalau besok akan diuji dengan soal yang sama. Melihat itu, Angela dan Belle penasaran dengan apa yang Ann tulis, “Kamu menulis apa?” tanyanya sambil menengok ke arah buku. “Aku menulis, operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat, membandingkan bilangan pecahan, mengingat kembali bilangan berpangkat bulat positif,