Hallo semuaaaaa! Novel ini adalah novel pertamaku setelah sekian lama tidak menulis. Biasanya aku menulis hanya untuk bersenang-senang dan mengisi kekosongan. Tapi kali ini aku benar-benar memikirkan apa paradigma di balik pandangan setiap karakter. Jika kalian suka, bisa support aku dengan vote, menyukai dan memberi feedback di kolom ceritaku. Terima kasih, byeee! Regard Rahameem
Hari kesepuluh di sekolah sial ini. Aku masih hidup, namun kewarasanku memudar. Aku perlu menata kembali apa yang telah kulewati. Dari awal, dari di mana dirinya mulai mengukir kisah seorang gadis biasa yang bernama Nadia. Akankah cerita yang dia hidangkan di kehidupanku berakhir dengan bahagia?Hari itu cuacanya cukup cerah. Terik matahari pagi sejuk dengan angin yang sepoi-sepoi menyeruak dari sela-sela jendela kelas. Pagi itu, pangeran Lili putih datang dan memperkenalkan dirinya sebagai manusia. Pertama aku terhipnotis dengan pucat kulitnya, begitu bersih bak kelopak mahkota bunga Lili, selanjutnya aku dianugrahi mendengar lantunan suaranya yang lembut. Dia ucapkan siapa namanya. Aku hanya dengar sekali dan aku bisa bersumpah nama itu akan terukir di benakku sampai aku menghembuskan nafas terakhirku di dunia. Sesekali dia tersenyum, pangeran bunga Lili itu terhibur akan suasana kelas yang menyambutnya hangat. Guratan senyumannya halus seperti ukiran karya seni para artis di mas
Di taman bertebaran bunga-bunga, mereka semua bermekaran menatap langit yang cerah. Kelopak mereka beragam bentuk dan warna. Kelopak lebar, ia merekah sempurna namun masih menyembunyikan kepala putik dan kepala sarinya, meninggalkan kesan menarik dan misterius. Ada juga yang kelopaknya yang tidak begitu besar, warnanya putih, namun posisinya merekah, menantang matahari sehingga lebah bisa melihat jelas dimana titik letak kenikmatan dari sekuntum bunga. Begitulah pemandangan yang sedang aku nikmati sekarang. Melodi dan Yuuta tidak ada henti-hentinya saling melempar godaan demi godaan. Si lebah tidak tahu malu itu terus saja mengitari bunga yang merekah. Si bunga tidak hanya diam menunjukan kecantikannya, dia tertawa, memuji, memukul-mukul bahunya, menambah daya tarik yang dia punya. Sedangkan aku? Aku hanya menjadi rumput liar yang membosankan. Kadang dicabuti karena dianggap berkompetisi mengonsumsi unsur tanah yang sama. Dan kalau beruntung si rumput liar itu tidak dicabut, sebagai
Leherku sakit. Aku tidur telungkup, memendamkan wajah merah beringus ke bantal. Rupanya aku menangis sampai ketiduran. Tidaklah buruk, setidaknya tangisan tadi mengantarkanku untuk tidur nyenyak. Selama aku tinggal di sekolah ini, sedetik pun aku tidak bisa beristirahat. Setiap inci dari tubuhmu, setiap kesadaran yang aku punya, hanya berporos pada Pak Darma. “Rupanya kau tertidur di sini.” Itu dia, seseorang yang baru saja aku pikirkan.“Kau tidak boleh tidur di UKS, di sini hanya untuk murid yang sakit saja.” Dia terus mengoceh. Sedangkan aku masih berusaha untuk mengakat kepala. Pandanganku masih berkunang-kunang. Lampu UKS menyala, mendobrak kasar bola mata. Aku mengucek-kucek kedua bola mataku dan mendapati Pak Darma duduk di sebelah kasurku. Seperti bernostalgia, bedanya kali ini dia tidak membawa segelas susu. “Apa yang bapak inginkan sekarang? Membunuhku di tengah malam sama seperti sahabatku ku pergi kemarin?” aku duduk di atas kasur, sepenuhnya menghadap Pak Darma. “Aku
Kamu di mana, aku sudah di tempat. Celingak-celinguk, sorot mata redup menjelajahi ke sekeliling ruangan. Sudah satu jam lebih aku menyibukan diri di dalam toko buku yang tidak terlalu ramai. Aku terdampar di toko buku sambil menunggu janji Apollo yang aku dapat setiap minggu. Banyak buku berjajar, memenuhi rak-rak dan menghalangi tubuhku dipandang oleh penjaga toko yang bertugas. Rasanya canggung saja jika harus melihat-lihat tanpa ada intensi untuk membeli dari awal. Mungkin saja durasi satu jam bukan waktu yang lama untuk aku yang gemar membuang waktu, tapi untuk bertemu Apollo rotasi bumi melambat. Setelah kami berpisah, Mamah dan Apollo pindah kota. Mereka pulang ke tempat eyang kakung, tepatnya ke kota Bandung. Jakarta-Bandung tidak dipisahkan oleh hamparan samudra atau gunung menjulang ke langit dan kakinya mengakar ke inti bumi. Jakarta-Bandung untuk kami manusia modern bukan lagi halangan. Maka dari itu Apollo sering mengujungiku di akhir pekan. Dia bilang dia ingin melih
“Athena, minggir! Apa yang kau lakukan!” Ah, aku begitu merindukan pelukan Mamah. Penghianatan pahit, penawarnya adalah kata maaf. Segelas susu bagi bisa ular. Penawar bagi luka. Mamah seharusnya meminta maaf bukan pergi begitu saja. Hadapi kekecewaan Ayah bukan memboyong kakak ke entah berantah. Aku menghalangi tubuh Melodi dari moncong senjata Sri. Ujung senjatanya ngebul, panasnya bertabrakan dengan dingin yang dibawa hujan. Aku melihat jelas lubangnya mengarah ke kepala. Melodi hanya bisa merintih di belakang tubuhku. Tanganku gemetaran tapi aku tidak gentar. Aku angkat kedua tanganku ke udara menandakan aku hanya ingin berdamai. Jendela mata Sri tidak memberikan isyarat keadaan hatinya, apakah ia masih hidup atau gersang dilahap api amarah. Tanan Sri kokoh menodongkan pistol, mengarahkan moncongnya menuju keningku. Hujan bertambah deras. Langitnya dari biru menjadi kelabu. Jika memang Sri tidak berubah pikiran, aku akan segera bertemu Jessica. Aku harap ayah tidak akan kec
Madu tak pernah beracun, sebaliknya ia manis merayuBunga merekah menggoda yang berkeliling, biasanya sih lebah yang bisingBagaimana jikalau si lebah hinggap di bunga tak biasaMalang, bentuknya menawan walau mengandung bukan hanya nektar“Innana, ada apa? Mengapa tiba-tiba_”“Eden! Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba dia meminta putus. Dengan mudahnya dia mencampakkanku begitu saja!” sambil berderai air mata. Aku, Kemala dan Melodi duduk mengitari Innana. Tangisannya tidak berhenti menemani deru hujan. Ruang kelas kosong, hanya ada kami berempat. Aku tidak ingat berapa yang tersisa dari kami setelah sunami peluru Sri tadi. “Eden pasti mempunyai alasan. Dia tidak mungkin begitu saja minta putus.” Kemala tidak lelah menenangkan “Apa alasannya?! Coba beritahu aku alasan yang tepat….” niat Kemala untuk menenangkannya pun gagal, gejolak amarah, kekecewaan yang diselimuti air mata tak terelakkan. “Semuanya baik-baik saja, tidak ada perdebatan sebelumnya. Aku ingat-ingat pun, terakhir kita
Canggung sekali. Terakhir kali pembicaraan normal dengan Innana tidak berjalan mulus. Kami malah bertengkar yang diakhiri dengan aku menakut-nakutinya. Kondisi yang mengharuskan aku menggiringnya ke bilik toilet tempat di mana aku menemukan buku catatan Nadia. Aku klaim tempat ini adalah markas pemberontakan. Nadia menaruh buku itu di sini, maka di sinilah satu-satunya tempat yang aman bagi kami mengatur strategi. Bilik toilet memang sempit, tapi aku harap apa yang kami dapatkan dari sini melebar sampai kami dapat menemukan jalan pulang. Kira-kira sudah 300 tetesan air yang jatuh dari keran wastafel toilet. Kerannya sedikit bocor karena berkarat. Setiap hitungan ke 60 aku akan bersumpah serapah dalam hati pada Yuuta, karena dia belum datang juga. Yuuta dan Eden lebih tepatnya. Aku meminta Yuuta membawa Eden ke tempat ini di jam makan malam. Mungkin Pak Darma akan menyadari kami berempat tidak tertangkap di cctv dengan mudah, karena memang jumlah murid yang ada berkurang secara drasti
Putus asa, jalan buntu dan harapan yang menjadi angan-angan saja, mengantarkan Sri menuju tiang jagal. Hatinya retak, celah-celahnya kentara, lukanya dalam dan bernanah. Jiwanya tidak mau menahan borok luka hati yang dia pendam. Salah siapa lagi jika bukan kita, si pelaku atau si orang yang acuh. Semua darah ada di tangan kita semua. “Sejak kejadian kemarin, dia tidak keluar dari ruang UKS. Kami sudah berusaha membujuknya untuk membuka pintu, setidaknya dia butuh makan. Tapi kami tidak mendapatkan jawaban dari dalam” Kemala menjelaskan apa yang terjadi pasca Sri menembaki kepala teman-teman kami. Kami mendapati Sri tergantung di tiang ring basket. Kepalanya menunduk ke bawah, padahal pagi ini mataharinya begitu cerah. Dia menggantung dengan seutas tali yang melingkar di lehernya, padahal berat kehiduapannya masih ada. Kaki, tangan bahkan tubuhnya membiru, menjuntai begitu saja, seirama dengan angin hutan. Semua dari kami, sisa dari pertarungan kemarin, mematung mengantarkan nyawa S