Nicho berjalan di depan Gracia. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Sudah aturan dalam menyeberang. Tangannya menggenggam tangan Gracia dengan mantap. Kuat dan stabil. Sesekali ia mengecek ke belakang, takut jika ia berjalan terlalu cepat dan Gracia tidak bisa mengikutinya.Beberapa mata mulai melirik ke arah mereka. Bukan menikmati keromantisan mereka, tetapi mengagumi Nicho. Bagaimana tidak? Dari Ibu-Ibu, remaja, laki-laki dan wanita sebayanya memasang mata kepada Nicho. Mata mereka mengikuti setiap langkah laki Nicho. Tentu saja Nicho tidak sadar, ia terlalu fokus dengan wanita yang sedang ia tuntun. Wanita dinosaurus yang galak namun tetap ceroboh. Namun, Gracia sangat sadar. Ia bahkan sekarang merasa dirinya seperti satu-satunya wanita yang beruntung. Ia tidak perlu mengagumi pria tampan seperti yang orang-orang lakukan sekarang. Malah ia sangat mengenal pria tampan ini. "Eh, cowok itu ganteng banget deh! Siapa sih dia?""Iya nih, Jeng! Kalau aku m
Kedai Koopi sudah buka sejak jam enam pagi. Sepagi itu untuk memulai hari yang indah. Begitu juga dengan Stanley. Ia sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan Gracia di akhir pekan ini. "Bro, excited banget hari ini. Kayak baru pacaran aja!""Baru atau pun lama harus tetap excited. Emang kalau kamu keluar sama istrimu nggak sesenang itu?""Yah, senang sih. Tapi jangan bandingkan istri dengan pacar dong! Entar kalau kamu udah nikah baru tahu,""Tahu apa?""Tahu kalau kamu tidak boleh lagi bersantai,""Bersantai saat kerjaan selesai boleh dong!""Anda belum tahu wahai anak muda! Yang namanya pekerjaan rumah tangga tidak ada habisnya,""Apaan sih? Udah ah... kerja.. kerja!"Tring! Bel dari atas pintu berbunyi. Tanda ada yang masuk ke kedainya. Stanley tak memandang ke arah pintu, ia duduk membelakangi. "Astaga, mereka belum datang?" Seorang wanita bersungut-sungut.Keadaan kedai masih sepi. Wanita itu mengenakan high heels. Setiap langkah kakinya berbunyi menggema di dalam ked
Jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi saat Ana selesai sarapan dan mandi. Ia pergi ke kamarnya, mengecek gawai."Eh, Tumben Stanley bangun pagi!"(Jemput jam satu siang aja kali ya?) TringSebuah pesan masuk. (Nggak mau jam sepuluh atau sekarang kah? Biar agak lebih lama di rumahku) (Nggak ah. Nanti jadinya malah seharian aku disana. Kamu kan kebiasaan gitu!) (Yah, tak apa-apa lah sesekali.) (Cewek itu nggak boleh lama-lama di rumah cowok. Itu prinsipku.) (Iya-iya. Jam satu deh. Padahal aku udah belanja makanan ringan banyak banget loh.) (Paling nanti yang paling banyak makan adalah Anda.) (Nggak dong.) (Iya.) (Kamu lagi ngapain?) (Baru beres-beres. Kamu?) (Belanja makanan ringan. Sekarang mau balik ke kedai sekalian tunggu kamu siap) (Oke. Hati-hati di jalan ya) (Siap. Habis ini kamu ngapain?) (Istirahat di rumah sambil nikmatin kue lapis legit.) (Enaknya.) (Lebih enak bisa
(Gracia, maaf. Kedai lagi rame nih. Kamu boleh kesini nggak? Sekalian kamu makan juga disini.) Stanley mengetik dengan cepat. Semenjak Nicho ada disini dari tadi, kedai menjadi lebih ramai.(Mau nggak ya? Panas banget ini. Nanti agak lebih siang boleh kok!) Gracia membalas. Tak ada balasan lanjutan dari Nicho. "Biasa dia cepat balas deh. Ini benar-benar dia nggak bohong ya! Tumben siang-siang gini ramai. Nggak apa kali ya? Sesekali cewek yang samperin. Udah lama juga nggak kesana!"(Aku kesana ya.) Ana mengganti setelan pakaian rumahnya dengan setelan santai. Baju kaus oranye dan celana panjang berbahan kain hitam. Ia mengikat rambutnya model ekor kuda."Ok. Ini sudah rapi."Ia mengambil tas selempang. Memasukkan gawai, kunci rumah, beberapa lembar uang tunai, dan tidak lupa membawa kartu-kartu."Ma, aku keluar ya! Mau ke tempat Stanley. Nanti pulang mau sekalian nitip beli sesuatu nggak?" Ana keluar dari kamar. Mendapati mamanya sedang a
(Ana... Ana...Ana)Gracia mengetik nama Ana berulang kali di pesan. Ia sangat geram untuk memendam perasaannya kali ini. Ia harus curhat, benar-benar ia harus mencurahkan kegelisahannya."Iih, kenapa Ana nggak balas sih? Kebiasaan deh. Emang sibuk apaan sih di akhir pekan ini? Keluar sama pacarnya aja jarang. Sok sibuk sekali sih Ana. Sahabat apaan yang katanya siap kapanpun untuk sahabatnya?" Gracia menggerutu. Setelah selesai keluar jogging dengan Nicho. Ia bersembunyi di kamar. Mandi dan tetap di kamar. Bahkan ia sudah tak ada nafsu untuk makan gorengan kesukaannya."Nicho juga kemana lagi nih anak. Udah buat geger satu komplek. Sekarang yang katanya beli peralatan mandi aja lama banget. Bukannya malah luruskan masalah. Malah hilang,""Woi, dinosaurus. Ngambek mulu kerjaannya. Cepat tua loh entar!" seru Eric. Ia berdiri, menyenderkan badannya di depan pintu kamar Gracia. Pintu kamar Gracia memang sudah terbuka dari tadi. "Iih, bising. Semua itu gara
Ana dan Stanley sudah sampai di rumah Stanley. Rumahnya berlantai dua. Bergaya rumah lama yang sudah direkonstruksi ulang menjadi rumah semen berkeramik.Rumahnya nyaman, namun terasa hampa."Papa kamu memangnya kemana?""Biasa. Paling main ke rumah temannya,""Jadi jarang di rumah?""Sudahlah. Nggak perlu dibahas. Kan kita mau senang-senang,""Iih apa-apaan sih? Jangan aneh-aneh deh," Ana kaku. Stanley pergi dari ruang tamu. Masuk ke dalam rumahnya lebih dalam, masuk ke salah satu ruang."Hei, kamu mau kemana?" Ana berteriak cukup keras. Agak menggema. "Awas, kalau kamu aneh-aneh Stanley!""Katanya mau senang-senang? Kan kita mau nonton? Nggak jadi?" sahut Stanley. Kedua tangannya menggenggam remote TV dan sebuah kaset DVD."Ohh, iya jadi kok," Ana menjawab cepat."Atau ada yang mau kamu lakukan?""Nggak. Boleh kok. Nonton. Kan kita udah janji,""Let's go!"Stanley menarik lengan Ana dengan lembut. Menuju ke ruang tengah
Hening menyeliputi Stanley dan Ana. Stanley tidak menyangka jika masalah yang selama ini ia pendam sendiri akan terungkap dengan jalan seperti ini. Jika suatu saat hal itu akan terungkap, setidaknya itu harus dari pengakuan dari dirinya, bukan seperti ini."Memang tidak ada yang bisa aku sembunyikan dari kamu ya,""Hei, jangan ngomong gitu dong. Seharusnya, hal seperti ini kamu cerita sama aku. Kenapa kamu nggak tanya saran aku atau biasa kan kamu tanya saran papa kamu?""Sebenarnya aku nggak mau ini akan jadi beban pikiran kamu. Jika kedai ini nggak sukses, aku yang akan lebih malu sama kamu. Masa tiap kali rencana atau bisnis apapun, selalu berhenti di tengah jalan? Calon suami apaan aku?" Stanley menghempaskan napasnya berat. "Maaf, aku terlalu mendesak kamu ya? Kan aku udah bilang. Pelan-pelan saja. Kamu masih muda, umurmu masih dua puluh empat tahun,""Tuh kan, kamu selalu bilang hal itu. Kalau aku pelan-pelan memangnya kamu bisa nunggu aku sampai kapan?""Hal ini tentu saja ak
"Sekarang antarin aku pulang?""Eh, kok cepat banget pulangnya. Tinggal beberapa saat lagi ya!""Aku mau pulang, Ley!" Ana membalas dengan wajah tanpa ekspresi. "Oke. Oke. Kita pulang!"Stanley menurut saja. Ia tak mau memaksa lagi. "Kita ke kedai ya. Ambil motormu,""Iya."Selama perjalanan Ana tak banyak bicara. Begitu juga dengan Stanley. Ia bingung harus bilang apa. Dengan meminjam uang dari pacar sendiri saja sudah hal yang memalukan bagi dirinya. Dan kenapa Ana harus tahu tentang utang ini?Mereka telah sampai di kedai. Ana langsung berjalan menuju motornya. "Mau aku temani sampai rumah?""Nggak perlu. Aku bisa sendiri kok. Kamu urus kedai kamu aja. Sepertinya ramai sekali. Pegawaimu butuh bantuan,""Yakin?""Iya. Yakin kok. Semangat ya!""Iya. Kamu juga ya!""Selalu.""Oh ya, hari minggu besok kamu mau ngapain?""Mm, belum ada rencana sih,""Kalau boleh aku... ""Bro, untung kau udah sampai. Itu di dalam kami kewalahan banget. Tolong ya!" Temannya memanggil dari belakang. "Eh