Share

Bab 8. Amira di Lecehkan

Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya.

“Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”

Plak!

Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam,

“Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!”

Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat.

“Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sini secepatnya. Aku bahkan bisa bertindak lebih dari pada ini,” lanjut Amira, mengancam.

Riko tak terima. Matanya menyorot tajam wajah tegas di atas kepala Amira. Dendam yang sedari dulu memang sudah tertanam, kembali tumbuh. Kali ini, bukan karena pencapaian, juga tentang kekuasaan. Namun ... Perempuan. Riko tidak bisa menerima begitu saja, jika harus kalah lagi dari Ramon.

“Apa yang kau pikirkan? Kau takut kalau kali ini kau kalah lagi?” ujar Ramon sadar akan tatapan Riko. Riko mendesis pelan. “Bawa saja dia. Kali ini aku tidak akan mempertahankan apa yang kau inginkan dariku,” lanjut Ramon, sambil mendorong lagi tubuh Amira.

“Pak!” Suara gadis itu menekan. Ramon tak menanggapi.

“Kenapa kau hanya diam? Segera bawa sampah ini bersamamu dan jangan pernah kembali lagi.”

Riko segera merambat tangan Amira, mencoba membawa perempuan itu mengikuti langkahnya. Namun, lagi-lagi Amira menepis, merasa muak.

“Pak Ramon, tolong jangan seperti ini. Aku salah! Aku tidak memahamimu sejak awal. Aku minta maaf,” sergah Amira, menatap penuh wajah Ramon.

“Baiklah. Anggap aku memberimu satu kesempatan. Ini perintah dariku. Pergi bersamanya dan lakukan apa yang dia mau. Jelas?”

Kerutan dahi Amira benar-benar tercetak sempurna. Dadanya kembali terasa sesak, merasa dilecehkan berkali-kali oleh laki-laki yang tadinya akan menjadi ayah mertuanya. Tanpa sadar, air mata itu menjejaki wajah Amira, sambil terus menatap begitu dalam pahatan wajah Ramon.

“Baiklah. Kalau itu memang perintah untukku, akan kulakukan.”

Di belakang sana, ada Riko yang merasa menang. Amira sudah dia incar sejak malam itu. Bukan apa-apa, kecantikan Amira menjadi alasan Riko mengenyahkan kebenciannya terhadap Ramon, dan menginjakkan kaki lagi di lantai milik musuhnya ini.

“Kenapa tidak dari tadi saja? Kau bahkan tidak harus menerima perkataan buruk dari Ramon kalau sejak awal kau mau pergi denganku,” celetuk Riko.

“Tunggulah di luar. Aku akan keluar sebentar lagi,” sahut Amira, memberitahu.

Riko menurut. Kini ruangan itu hanya diisi dua orang yang sedang menatap dengan dendam masing-masing. Amira belum bisa terima, bagaimana cara Ramon memperlakukan juga menuduhnya sebagai pembunuh.

“Pak, sebenarnya apa alibimu sampai yakin kalau aku yang membunuh putramu? Dari mana kau memastikan hal itu, Pak?” tanya Amira, meminta penjelasan.

“Jangan mengungkit hal yang sudah selesai. Sebaiknya kau pergi, atau kulenyapkan kau di sini!” Ramon masih tetap kukuh pada pendirian.

“Selesai katamu? Kau tahu seberapa besar aku mencintaimu Dired? Kau tahu bagaimana caraku memperlakukannya?! Kau tahu seberapa besar impian kamu berdua di masa depan? Apa kau tahu semua itu, Pak?! Dired banyak bercerita tentangmu padaku. Tentang seberapa besar kasih sayangmu, cintamu, dan juga perhatianmu padanya. Tapi satu hal yang sangat kusayangkan, aku lupa bertanya apakah ayahnya sungguh-sungguh menyayanginya atau hanya terobsesi semata karena kenyataan ayahnya seorang laki-laki yang angkuh itu tidak alibi semata!” cerca Amira, sambil berderai air mata.

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Tangannya bergetar. Membahas tentang mendiang sang kekasih, rupanya masih menyayat hatinya.

“Sudah cukup omong kosongmu? Sekarang keluar! Tinggalkan tempat ini sekarang juga!” hardik Ramon.

“Aku tidak akan pergi, sebelum kau –”

Plak!

Ego menutup logika, hingga tangan kekar itu lagi-lagi menyakiti perempuan yang sama. Ini kedua kalinya tangan Ramon menyakiti Amira. Gadis itu bahkan terpental, tersungkur. Dahinya kembali berbekas, terbentur sudut meja yang tumpul.

“Aku sudah memberimu kesempatan untuk hidup. Aku sudah memperlambat ajalmu. Tapi lihat caramu bicara dan mengajari bagaimana harusnya aku mencintai anakku. Seolah-olah kaulah yang paling mengerti dia. Apa kau sadar? Kau hanya benalu yang tidak tahu malu. Kau lebih mirip wanita jalang! Caramu merayu dan membawa Riko ke sini, sudah cukup membuktikan kalau putraku juga terobsesi pada tubuhmu!” caci Ramon, tanpa filter. Wajahnya memerah dengan urat-urat leher yang tercetak.

Rasa sakit di pukul, di cambuk, juga dicampakkan, ternyata tidak sebanding dengan ucapan Ramon kali ini. Sesak di tenggorokan juga dalam dadanya, benar-benar tidak ada obatnya. Jangankan menyangkal untuk membela diri lagi, tenaganya sudah lebih dulu habis sebab perkataan yang melebihi tikaman.

Amira hanya bisa menangis sambil berdiri. Dia sesekali tersenyum miris. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, Amira menatap nanar sebentar wajah Ramon seakan merutuk laki-laki itu lewat tatapan, lalu berlalu pergi. Sementara Ramon yang sedari tadi sudah mengepal tangannya, beralih menghempaskan semua barang-barang yang ada di atas meja kerjanya. Entah kenapa, dadanya ikut sesak tepat saat melepas tatapan nanar Amira.

Ramon seolah bisa merasakan kepedihan yang Amira rasakan. Sejenak dia sadar, tentang ucapannya yang benar-benar di luar batas.

Namun, kenyataan bahwa ada orang yang berdalil, mengaku kaki tangan Amira, menjadi satu-satunya alasan laki-laki itu tidak akan mengubah keputusan meski rasa simpati itu muncul begitu saja.

**

“Terbanglah ke Nepal. Aku sudah menyiapkan pasport juga uang tambahan,” ucap Farah seraya meletakkan amplop di atas meja.

“Kau bilang ini hanya sebatas pengakuan bohong saja. Tapi lihat sekarang, si brengsek itu merebut satu kakiku. Dan sekarang kau menyuruhku kabur? Apa kau sedang bercanda denganku, Farah?”

Farah mendesis, muak. “Jack, jangan mulai lagi. Kita sudah sepakat untuk membuat semua ini sederhana.”

Laki-laki itu mendengus. “Ini tidak sederhana, Farah! Aku kehilangan kakiku! Apa kau pikir aku akan hidup tenang setelah ini?”

Fara memukul meja di depannya. Mata hazel bergores abu-abu itu menatap nyalang pada sosok laki-laki yang duduk di depannya berbeda meja bundar.

“Jack, aku sudah memberimu keringanan. Kau tahu? Kau bisa saja kehilangan satu kakimu lagi kalau akhirnya Ramon tahu kau hanya orang suruhan. Aku berbuat ini demi kau, Jack. Jadi turuti apa yang kukatakan, jika kau masih mencintai dirimu juga ... keluargamu,” tegas Farah, lalu tersenyum miring.

“Jangan ganggu keluargaku! Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai itu terjadi!” Pria itu balik mengancam.

“Baiklah, aku tidak akan menyentuh mereka, asal kau menyepakati perjanjian ini. Pergi dan hilanglah dari kota ini sebentar, setelah semuanya aman kau bisa kembali dan berbuat sesukamu. Apa kau paham?”

Jack hanya bisa mendesah, tak ada pilihan. Jika pun berontak, semua itu akan sia-sia. Anak dan istrinya bisa saja jadi sasaran Farah, oknum yang sudah menyuruhnya berbohong di hadapan Ramon.

Jack akhirnya meraih amplop berisi uang juga paspor di atas meja. Namun, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu yang janggal.

“Tapi, Farah, siapa pelakunya? Aku bahkan tidak tahu yang mana korbannya di sana.”

Farah juga ikut bingung. Dia mengerutkan dahi, memikirkan hal yang sama. Jika bukan dia yang membunuh Dired, lantas siapa?

“Aku juga sedang mencari tahu itu. Aku yakin, ada satu orang lagi yang menciptakan api setelah dipanaskan oleh Ramon dan Dired. Tapi siapa?” gumam Farah.

**

Pesan singkat mengambang di jendela pemberitahuan. Ramon yang terlihat ogah-ogahan menatap layar persegi itu, memilih mengabaikan. Tidak akan dia bebani kepalanya dengan sesuatu yang tidak penting lagi. Dired sudah tidak ada, jadi tidak ada hal-hal yang harus merebut atensinya termasuk pesan singkat barusan.

Memilih abai dan melanjutkan aktivitasnya yang tengah membaca perkembangan perusahaannya, kali ini aktivitas itu dijeda oleh panggilan video yang masuk.

Mau tak mau, tangannya meraih ponsel dan mendapati nama Riko di sana.

Sebelum menggulir untuk menjawab, Ramon tiba-tiba saja teringat akan Amira. Bagaimana gadis itu pergi dari hadapan, juga bagaimana dia melayangkan kata-kata kacau itu.

“Halo, Ramon. Kenapa kau tidak membaca pesanku? Padahal aku sudah sangat antusias untuk menunjukkan padamu betapa indahnya sesuatu yang baru saja aku berikan. Ah ... aku jadi lupa berterima kasih padamu tadi pagi. Kalau begitu, terima kasih, Teman Lamaku.”

Panggilan itu terputus. Ramon hanya mendengar tanpa membalas. Detik kemudian, pesan itu pun merebut penuh atensinya. Meski ragu, namun ibu jarinya tetap membuka.

Pesan itu berisikan beberapa foto. Setelah mengunduh, dan meninjaunya, tiba-tiba saja Ramon melemparkan ponselnya sambil mendesis,

“Riko Brengsek!”

Foto yang baru saja di kirim adalah foto Amira yang sudah dibuat setengah sadar. Entah apa yang Riko lakukan pada gadis itu, namun Amira sudah tergeletak di atas ranjang dengan dress yang tersingkap separuhnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status