“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya.
“Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan.“Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja.Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati.Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya.“Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira.“Tidak ada yang bisa kulakukan selain menempatkan diri di posisi itu. Nama baikku tidak sepenting itu sekarang. Yang kubutuhkan adalah kesempatan hidup, bukan emosi untuk hal yang tidak penting,” jawabnya, tegas.Ramon mendengus. Sedetik kemudian, dia baru menyadari ada yang lain dari tampilan Amira. Dres pastel mencetak tubuh itu, begitu cantik membalutnya. Juga rambut panjang hitam legam sedada, menambah kesan elegan.Merasa di perhatikan sebegitu seksamanya, Amira yang merasa tidak nyaman pun berdehem pelan. Dia mulai membuka suara tentang hal yang akan dia beritahukan pada Ramon.“Pak, bos dari Mextech akan datang. Aku sudah menghubunginya tadi malam dan berjanji akan membahas tentang kerja sama pagi ini.”“Apa kau serius?” tanya Ramon, menaikkan satu alisnya.Amira melirik arlojinya, “Seharusnya dia sudah datang.” Pasang mata itu beralih ke lantai utama yang memang didesain dengan kaca transparan. “Ah, dia di sana. Apa kusuruh saja dia masuk, Pak?”Ramon mengepal tangan, tak percaya dengan kinerja Amira. Perjanjian mereka adalah, jika Amira berhasil membawa pria itu, maka Ramon akan memaafkan Amira. Tapi ada apa dengan reaksi Ramon, kenapa mimik wajahnya semakin menunjukkan ketidaksukaan terhadap Amira?Langkah kaki dengan ketukan yang menggema itu, hampir sampai di hadapan Riko, founder perusahaan Mextech yang akan bekerja sama dengan Intext. Amira begitu antusias menyambut laki-laki bertubuh sedikit berisi, juga jenggot tipis memenuhi rahangnya.“Selamat pagi. Selamat datang ke Intext, Pak Riko. Saya Amira orang yang menghubungi Bapak tadi malam,” ucap Amira, sambil membungkuk sesekali pada Riko.Bukannya menyimak ucapan Amira yang super antusias, Riko justru terjebak dalam pesona aura magis perempuan itu. Tubuh itu, rambut panjang itu, matanya yang berbinar juga bibir ranum merah darah itu, seolah menghipnotisnya hingga berakhir membisu. Amira bahkan tidak tahu apa salahnya, hingga suasana jadi terasa canggung.“Pak,” tegur Amira.“Ah ... iya? Maaf, saya tidak pernah tahu kalau Ramon akhirnya memiliki sesuatu yang menarik untuk direbut,” ucap Riko, lebih terdengar racauan.“Apa?” Amira mengerutkan dahi.“Tidak-tidak. Jangan tanggapi ucapan saya tadi.” Riko mengibaskan tangannya, “Di mana Ramon? Bukankah rapatnya harusnya sudah di mulai?”“Iya, Pak. Silakan naik, Pak.”Begitu Riko berjalan lebih dulu, bisik-bisik yang tak terlalu samar itu terdengar oleh Amira. Berulang kali dia mendengar, ‘Bukankah itu Riko? Musuh bebuyutan Pak Ramon?’Tepat saat Riko masuk ke dalam ruangan yang mana di dalamnya sudah ada Ramon, dering pesan singkat masuk ke ponsel Amira. Kakinya menjeda sebentar untuk mengekori, guna membuka pesan apa yang masuk dalam ponselnya.Sebuah tautan yang dikirim oleh orang yang dikenal Amira sebelumnya muncul dalam jendela pemberitahuan. Tautan itu berisi tentang artikel-artikel mengenai hubungan antara Intext dan Mextech yang sejak awal memang tidak baik. Setiap artikel yang lolos dalam tinjauan mata Amira, membuat desisan napasnya mengudara.“Sial! Kenapa aku bodoh sekali? Bagaimana mungkin dia memberikan syarat semudah itu? Bodoh!” rutuknya dalam hati sambil memukul ringan puncak kepalanya.Kakinya segera melebar, masuk ke dalam sana. Baru saja menerobos melintasi pintu, pasang matanya sudah disuguhkan dua manusia sedang adu tatap dengan sorot yang masing-masing menajam. Tegukan ludah Amira lolos, merasa manusia paling tolol seantero jagat raya.“Tapi perlu kuberitahu satu hal padamu, Ramon. Setelah sekian lama kita bersaing, baru kali ini aku menginginkan sesuatu yang kau miliki. Bukankah itu hebat?”Tepat setelah ucapan Riko berhenti, bola mata Ramon menyadari kedatangan Amira dari ambang pintu. Lagi-lagi jemari itu mengepal kuat, menimbulkan urat-urat biru mencetak pergelangannya.“Aku tidak akan bertanya sesuatu apa yang kau inginkan. Karena bukan hanya sekali ini, sebelumnya juga kau menginginkan semua milikku. Jadi aku tidak akan penasaran lagi sesuatu apa yang kau maksud,” balas Ramon menanggapi ucapan Riko hanya bualan.Senyum miring tercetak dalam bingkai wajah Riko, “Kudengar-dengar, kau baru saja mengalami kemalangan. Apa sekarang anakmu itu sudah menjadi bagian dari Tuhan?” ujarnya, mengungkit luka.“Jangan memulainya, Riko. Aku bosan jika harus melihatmu berakhir di rumah sakit.”Kali ini tawa laki-laki itu yang mengudara. “Hey ... kau sekarang sendirian. Kau tidak punya alat lagi untuk menyombongkan sesuatu di depanku. Jadi terima saja sekarang, kalau kita satu sama!”Merasa terusik dengan kata-kata Riko, gerakan Ramon terbaca ingin melayangkan pukulan. Dengan gerak cepat, Amira datang menghalau dengan berdiri tepat di tengah-tengah kedua laki-laki usia matang ini.“Maaf, ini kesalahan saya, Pak. Saya yang akan mengurusnya,” kata Amira. Dia tak menatap Ramon, melainkan menajamkan mata pada Riko.Ramon tiba-tiba bergeming, tak menebak kalau reaksi Amira akan seperti ini. Dia menatap punggung perempuan itu, juga menyadari aroma lavender menguar merambat penciumannya.Emosi yang tadinya hendak meluap, perlahan ditahan hanya memastikan sejauh apa Amira bisa bertindak.“Tolong abaikan permintaan saya tadi malam. Saya salah menanggapi perintah. Tolong pergilah dari sini, dan buat harimu nyaman lagi,” kata Amira, mencoba membujuk Riko.“Kenapa? Padahal aku sangat antusias, apalagi setelah bertemu denganmu. Jangan putuskan hubungan kita bahkan sebelum di mulai,” jawab Riko, nakal. Matanya tak berhenti memindai setiap bagian tubuh Amira.“Saya mohon. Segera tinggalkan ruangan ini.”“Bagaimana kalau aku tidak mau? Apa kau akan melakukan sesuatu?”“Jadi ini sesuatu yang kau maksud?” Tiba-tiba suara Ramon mengudara. Amira tak berniat membalikkan tubuhnya, dia hanya menanti kelanjutan kalimat itu. Sementara Riko menatap penuh wajah tegas Ramon.“Ambil saja dia.” Ramon mendorong tubuh Amira, hingga terjatuh dalam pelukan Riko. “Konon katanya, binatang hanya bersanding dengan binatang,” lanjut Ramon, tanpa beban.Amira mendengus tak percaya, sembari berontak lepas dari pelukan Riko. Sekilas jemari lentik itu mengepal keras, menatap Ramon penuh geram. Ramon membalas dengan tatapan dingin namun begitu mengintimidasi.“Ha-ha-ha. Kau tahu saja apa yang kupikirkan, Ramon. Apa kau yakin akan memberikannya padaku?”“Sejak kapan kau melihat aku pernah memelihara seekor binatang?” Mata laki-laki itu segera berpaling.“Baiklah, kalau kau memaksa, aku tidak akan menolak. Akan kubawa binatang cantik ini ke rumahku. Ayo.”Tangan Riko dengan cepat ditepis kala hendak meraih pergelangan tangan Amira.“Kenapa? Kau masih ingin bersama dengan Ramon? Lihat dia, dia sudah membuangmu bahkan mengatakan bidadari cantik sepertimu dengan sebutan binatang. Apa lagi yang kau cari darinya? Ikut denganku, dan kau akan mendapatkan hal yang lebih baik dari sekedar sebutan bodoh itu,” ucap Riko, berusaha meyakinkan Amira yang memang sedari awal menarik perhatiannya.“Aku tidak pernah mengatakan aku menginginkan hal lain. Disebut seperti itu juga tidak ada masalah untukku. Karena janjiku, aku hanya akan menerima perintah dari atasanku dan itu dia, Pak Ramon. Silakan pergi dari sini, jika kau masih punya harga diri!”Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba