Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un
Dengan langkah berat Hanna masuk ke dalam rumah megah yang suram. Bangunannya kokoh dan kuat, cantik, dan terawat. Akan tetapi Hanna bisa merasakan kengerian yang tersembunyi di balik mewahnya istana Sultan Bhayangkari. Seorang lelaki dewasa yang telah menjadi suaminya akibat terjebak hujan di pondok. Hanna menyusuri ruangan dengan kedua mata cokelatnya, dari sudut ke sudut. Hingga pandangannya terhenti pada sebuah foto sepasang pengantin yang tersenyum bahagia. Deg! Aliran darah Hanna berdesir saat mengetahui jika Sultan telah memiliki istri, bukan seorang lajang seperti dugaannya."Ayo! Akan aku tunjukkan kamarmu." Sultan berjalan di depannya dengan gagah, melewati beberapa ruangan.Tidak ada yang bisa Hanna lakukan selain mengikutinya, meskipun rasanya dia ingin sekali melarikan diri. Namun, Hanna tidak memiliki kemampuan. Di saat Sultan berhenti tiba-tiba wanita berkerudung putih itu menabrak dadanya, Hanna langsung menunduk. Dengan perasaan takut Hanna berjengit ket
Hanna baru saja bangun dari tidurnya yang tidak nyaman. Serangan terus mengganggu alam bawah sadar Hanna, seperti petunjuk bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan aman. Keringat mengucur deras dari dahi ke pipinya dengan napas tidak beraturan. Mimpi itu bagaikan nyata. Ya Allah! Hanna menangkup dadanya yang masih belum stabil. Keinginannya untuk melarikan diri semakin besar saat membayangkan Sultan berubah menjadi monster mengerikan seperti di dalam mimpi. Kejam dan bringas."Selamat malam, Nona Arimbi." Secara tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menampilkan seorang wanita bertubuh gempal dengan senyuman terpaksa.Wanita itu masuk tanpa memedulikan Hanna yang bersidekap ketakutan. Dengan tajam kedua mata Marlina berputar seakan mencari sesuatu, dan tertawa saat menemukan barang yang dicari. Ransel milik Hanna. Tangannya yang tegap merengut ransel tersebut, lantas melemparnya ke luar pintu."Bu, kenapa kamu membuangnya? Itu pakaianku yang aku bawa dari desa.""Ka
"Nona ..." panggil sebuah suara, halus.Dengan berat Hanna mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Rambutnya yang acak-acakkan, serta wajah penuh lebam membuat Ratih merasa kasihan. Perawat itu tidak pernah mengerti dengan tingkah laku dan perasaan Sultan. Dia bisa lembut kepada Arimbi yang pertama, tetapi menyiksa Arimbi kedua begitu tega."Makanlah," pinta Ratih mendekati Hanna, lalu menaruh makanannya di lantai. Tepat di hadapannya Hanna.Menggeleng lemah Hanna mendorong piring di depannya hingga agak jauh, dan berkata. "Aku hanya ingin pulang."Mengingat kondisinya Hanna kembali menangis, terlebih merasakan rasa sakit yang hampir menyiksa seluruh tubuh. Sultan tidak hanya memboikot dirinya, tetapi juga melukai perasaan. Setelah puas menghajar tubuh Hanna, dia mengikat kakinya di kaki ranjang, seperti seekor binatang. Sungguh keji."Nona Arimbi ..." Ratih mensejajarkan diri dengan Hanna, menatapnya pilu."Tolong aku." Hanna merintih.
Dalam sujud terakhir Hanna berdoa, cukup lama dan panjang. Air matanya merembes kemana-mana saat Hanna mengadu pada sang Khaliq. Setelah salam wanita itu pun bersimpuh lagi di hadapan-Nya dengan pandangan ke atas. Hanna menceritakan berulang kali kegundahan hatinya berikut rasa tertekan yang semakin menggunung."Ya Rabb, sesungguhnya Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui. Hamba sedang berada dalam kesulitan yang nyata, yang menyiksa jiwa raga dan batin. Kehidupan yang hamba impikan tak sesuai dengan kenyataan." Hanna menangis sesegukan, terasa sulit membicarakan semua yang di dada.Mengambil napas sejenak, Hanna pun menyeka air matanya yang terjangkau. "Ya Rabb, suamiku telah ingkar, dan dia tidak seperti yang aku bayangkan. Aku lelah, sikap dan sifatnya membuatku tertekan. Segala bentuk penyiksaannya melukai dan meremukkan tubuhku."Sekali lagi Hanna mengatur napasnya yang tidak beraturan, dengan air mata yang semakin deras mengiringi doa. "Tolong hambamu ini
Membelai lembut rambut putih yang disisirnya Hanna tersenyum lebar. Di saat Hanna menyentuhnya Ningsih juga ikut menyunggingkan senyum bahagia. Keduanya tampak begitu bersahabat dalam waktu yang singkat. Meski tahu kehadirannya bukanlah sebagai Hanna melainkan Arimbi, tapi dia bersyukur telah membuat sang bunda bahagia."Minumnya, Bun." Hanna membantu Ningsih bersandar, lalu menempelkan sedotan pada mulutnya yang kering."Kamu sudah makan, Nak?" tanyanya."Sebentar lagi, Bun, Hanna memang sengaja mendahulukan Bunda dulu. Nanti Hanna pasti makan kok, Sultan tadi sudah ngajak dinner bersama.""Hanna? Sultan?"Sontak Hanna terdiam, bingung ingin menjawab apa, sementara Bunda telah menaruh rasa curiga. Hanna lupa atas perannya, dan lupa bertanya pada Sultan yang biasa dipanggil dengan sebutan apa? Di saat Hanna tengah kesulitan, Sultan datang bak Ksatria penyelamat, dia langsung mengetahui apa yang telah terjadi pada istrinya."Hmm, maksudnya kucing y
Hari ini Ratih membawa Hanna menemui Arimbi yang sebenarnya, tadi pagi Sultan memerintahkannya sebelum berangkat kerja. Selama kedua wanita itu dipertemukan tidak ada hal yang rumit, Hanna cukup pandai menyesuaikan diri sehingga Arimbi mudah menerimanya sekalipun mereka baru pertama kali bertemu. Berkali-kali Ratih menatap Hanna yang barangkali ingin bertanya sesuatu.Tidak sedikitpun Hanna putus asa, meski sulit mengambil perhatian Arimbi, dia terus saja mengajaknya berbicara seperti teman mengobrol yang asyik. Ratih yang melihat kesungguhan Hanna sampai geleng-geleng kepala. Sultan tidak salah memilih Hanna untuk dijadikan Arimbi kedua, dia wanita yang sangat baik.Wajahnya begitu sejuk dan bersahaja."Halo, Mba, perkenalkan aku Hanna." Ini sudah yang kesekian kali Hanna memperkenalkan diri, tapi Arimbi masih belum merespons.Pandangan Arimbi masih tertuju pada langit mendung. Objek langit memang menjadi pem
Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna."Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan."Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya."Pergilah, aku masih mengantuk.""Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata t