Share

5. Alasan

Arya mengurungkan pukulannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah seorang perempuan yang mulai menari. Kilatan-kilatan emas mengitari tubuh istrinya itu. Sebelum sebuah hentakan kaki kirinya di bumi dan ayunan lengan rampingnya melesatkan tusuk konde emas ke arah suaminya.

“Apa-apaan kau, Jenar!” seru Arya sembari melepaskan cengkramannya di leher Aruna. Tubuh Putra Mahkota Astagina itu luruh ke tanah bersamaan dengan Arya yang menghadang laju Tusukan Kematian itu dengan gelombang api dari kedua telapak tangannya.

Arya paham, Suji Pati begitu mematikan. Ia sampai harus mengeluarkan pasokan energi yang besar untuk membuat perisai dari api yang menyelubungi tubuhnya, terutama kepala. Ujung runcing berwarna emas itu terus saja menghunjam mencari celah untuk menembus selubung api milik Arya.

Sejauh ini Arya hanya bertahan. Sembari ia mencari cara untuk menghentikan amarah istrinya. Memberi pengertian dalam jarak lebih dari dua puluh tombak amat tak mungkin. Sedang Jenar terus saja menghujaninya dengan Suji Pati. Satu-satunya cara adalah dengan mendekat.

“Sial, kalau begini terus aku akan segera kehabisan tenaga!” rutuk Arya dalam hati.

Lelaki pemilik Cundhamani itu bergerak perlahan. Ia terus saja memelihara fokusnya. Lengah sedikit saja, tusuk konde emas itu akan segera menembus kepalanya. Ingin sekali ia meraih busur Agnitama dan anak panah logam di punggungnya. Namun ia khawatir hal itu justru membuat Jenar salah paham.

“Tak akan aku biarkan kau mendekat!” jerit Jenar sembari mundur untuk mengembalikan lagi jaraknya.

“Jenar! Aku bisa jelaskan, tapi tolong hentikan dulu Suji Pati-mu!” pinta Arya dengan suara sayup-sayup. Lelaki itu terus mendekat. Niatnya untuk memberikan penjelasan disalahartikan sebagai usaha untuk menghadapi jurus andalan istrinya.

“Tak ada ampun untuk orang yang telah menyakiti putraku! Meski pun itu ayahandanya sendiri!” pekik Jenar terus bergerak mengendalikan tusuk konde emas.

Arya memayungi kepalanya sendiri dengan energi yang perlahan mulai mengikis. Ia sudah menjadi lelaki yang berbeda sejak serangan di Pantai Selatan Astagina belasan tahun silam. Meski kedewasaan membuatnya bijak, tapi kekuatannya menyusut cukup banyak.

“Jenar pasti mengira aku mendekat untuk melawan kelemahan Suji Pati,” batin Arya. “Tapi aku tak punya pilihan lain.”

Telapak tangan kanan Arya mulai menggenggam ujung busur Agnitama yang menggantung di pundak. Sesungguhnya lelaki itu meragu. Melawan istrinya sendiri tentu akan sangat memalukan. Walau pun melawan atau tidak, potensi terbunuhnya tetap tak berkurang.

“Tidak, aku masih punya cukup tenaga untuk melawannya!” Arya mengurungkan niatnya menggunakan busur Agnitama. Rencananya sekarang adalah terus mendekat dan mengenai tubuh Jenar agar Suji Pati berakhir.

Jenar masih terus bergerak dengan indah dan gemulai. Anak-anak rambutnya menjurai sebagian menutupi dahi. Titik-titik keringat di dahi Raja Astagina itu menandakan usaha yang dilakukan sudah menguras tenaganya. Meski matanya terus menyalang tak kenal takut, namun engah napas tak mampu menutupi kelelahannya.

“Kita lihat saja siapa yang memenangkan jarak ini, kau atau aku!” teriak Arya diakhiri dengan lolongan panjang berbuah lonjakan energi dari tubuhnya. Lelaki itu kini telah menyerupai bentuknya saat membunuh Prabu Ranajaya.

Lesatan jingga bergerak begitu cepat hanya dengan sekedip mata. Tubuh Jenar terpental dua tombak ke belakang dan ambruk ke tanah. Tak sempat ia menghindar, ia hanya sempat menahan lesatan suaminya itu dengan menyilangkan kedua tangan di dada.

Perlahan Jenar bangkit. Ia tak hiraukan separuh wajah yang tertutup rambut. Suji Pati-nya memang berhenti. Tusuk konde emas itu sudah kembali berada di genggamannya. Namun tidak dengan amarahnya. Tatap mata nanar dengan lelehan darah di sudut bibir menandakan serangan Arya hanya menambah kemarahannya.

“Putramu sudah kau hajar, kini istrimu, hah?” hardik Jenar dengan suara parau.

“Kau tak memberiku pilihan....”

“Seperti kau yang juga tak memberi Aruna pilihan!” potong Jenar sembari memasang kuda-kuda. Lelaki berselubung api sepuluh tombak di depannya sama sekali tak membuatnya gentar.

“Aku sebagai ayahandanya bertanggung jawab atas perbuatannya membunuh kakeknya sendiri, Jenar!” ucap Arya mencoba memberikan pengertian kepada istrinya itu.

“Cih! Kau tak perlu repot-repot, Arya! Biar aku yang bertanggung jawab atas perbuatan putraku! Kau cukup bela saja putri cantikmu itu!” jawab Jenar sinis.

“Kau tak pernah berubah, Jenar!” ucap Arya singkat.

Sudah beberapa kali Jenar memang mengatakan bahwa Arya lebih menyayangi Rara Sati dari pada Aruna. Tentu saja Arya tak mengakuinya. Ia berusaha untuk adik kepada keduanya. Dan menurutnya memperlakukan dua orang yang berbeda dengan sama bukan lah merupakan keadilan yang sebenarnya.

“Dan sampai mati pun aku tak akan pernah berubah!” seru Jenar disusul dengan hentakan kaki kanannya di tanah.

Tusuk konde emas perlahan melayang memancarkan sinar yang begitu terang. Pengikat rambut itu berputar-putar tepat di atas kepala Jenar. Arya mengernyit. Belum pernah ia melihat Suji Pati dimulakan dengan demikian indah. Perlahan putaran benda itu semakin cepat dan berpengaruh pada gerakan udara di sekitarnya.

Arya mundur beberapa langkah. Tepat seperti rencana Jenar, memberikan jarak yang cukup untuk melancarkan serangan menggunakan jurus jarak jauh ini. Raja Astagina itu mulai menari. Gerakan tusuk konde emas yang mulanya seperti liar tak terkendali, kini cenderung lebih tenang. Namun justru ini lah saat-saat menegangkan.

Jenar melompat ke sebuah batu besar demi mendapatkan pandangan luas demi memulai serangan. Arya yang masih terpukau diam-diam menyadari bahwa sebentar lagi Suji Pati akan datang dengan kekuatan lebih besar. Lelaki itu diam-diam sudah menyentuh pangkal anak panah logam di punggungnya.

“Aruna, apa kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni begitu mendapati cucunya membuka mata.

“Kakek?” Aruna segera bangkit setelah menyadari bahwa ia masih berada di Wana Payoda yang terbakar. “Dimana ayahanda?”

“Dia di sana. Sepertinya kedua orang tuamu akan bertarung kali ini,” ucap Sanggageni lirih.

“Ibunda? Apakah itu Ibunda?” Aruna menunjuk seorang perempuan dengan rambut tergerai bergerak dengan anggun di atas sebuah batu besar.

“Ya, mereka bertarung karenamu, Aruna,” ucap Sanggageni dingin.

“Karena aku?” tanya Aruna membuang muka. “Aku tahu, Kakek. Maafkan aku tak bisa menguasai kekuatan api itu,” sambungnya.

“Tidak, Aruna. Suatu saat kau pasti menguasainya. Dan jika saat itu tiba, kau akan lebih hebat dari ayahandamu. Percaya pada Kakek,” ujar Sanggageni menatap tajam mata cucunya itu.

Pria tua itu bergerak melindungi Aruna manakala energi Suji Pati dan Cundhamani telah saling berbenturan. Ia lalu membawa Putra Mahkota Astagina itu ke tempat yang dirasa aman, namun masih tetap dapat mengawasi pertarungan.

“Mengapa Kakek berkata demikian?” tanya Aruna tak mengerti.

“Kakek melihat perubahanmu, Aruna. Juga saat kau dikuasai energi besar itu. Kau benar-benar luar biasa!” puji Sanggageni.

“Tapi....” Aruna memandang telapak tangannya sendiri. Tangan yang sudah melukai ayundanya dan juga Kakek Kertajaya.

“Kau hanya membutuhkan alasan untuk menguasainya. Dan tugasmu sekarang adalah mengetahui alasan itu,” ucap Sanggageni sambil tersenyum memeluk cucunya.

Sebuah ledakan membuat kakek dan cucu itu menunduk serempak. Sanggageni sudah mengerti, sesungguhnya Cundhamani dan Suji Pati tak akan pernah bisa bersatu. Itu sebab ia rela meninggalkan Gantari dan Arya kecil untuk berjuang bersama Baka Nirdaya. Kedua ilmu hebat itu tak mampu saling melengkapi. Mereka akan saling menghancurkan.

“Mengapa Kakek tersenyum?” tanya Aruna. Pemuda itu tak mengerti mengapa di saat genting seperti ini kakeknya masih bisa tersenyum dengan tenang.

“Kakek senang sudah bisa mengatakannya. Ingat baik-baik, Aru....”

Aruna terbelalak. Sebuah benda runcing keemasan menghantam kepala kakeknya hingga menembus kening. Setelahnya benda itu segera tercabut dan melesat entah kemana. Sanggageni luruh di pangkuan Aruna.

“Kakek!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status