Arya mengurungkan pukulannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah seorang perempuan yang mulai menari. Kilatan-kilatan emas mengitari tubuh istrinya itu. Sebelum sebuah hentakan kaki kirinya di bumi dan ayunan lengan rampingnya melesatkan tusuk konde emas ke arah suaminya.
“Apa-apaan kau, Jenar!” seru Arya sembari melepaskan cengkramannya di leher Aruna. Tubuh Putra Mahkota Astagina itu luruh ke tanah bersamaan dengan Arya yang menghadang laju Tusukan Kematian itu dengan gelombang api dari kedua telapak tangannya.
Arya paham, Suji Pati begitu mematikan. Ia sampai harus mengeluarkan pasokan energi yang besar untuk membuat perisai dari api yang menyelubungi tubuhnya, terutama kepala. Ujung runcing berwarna emas itu terus saja menghunjam mencari celah untuk menembus selubung api milik Arya.
Sejauh ini Arya hanya bertahan. Sembari ia mencari cara untuk menghentikan amarah istrinya. Memberi pengertian dalam jarak lebih dari dua puluh tombak amat tak mungkin. Sedang Jenar terus saja menghujaninya dengan Suji Pati. Satu-satunya cara adalah dengan mendekat.
“Sial, kalau begini terus aku akan segera kehabisan tenaga!” rutuk Arya dalam hati.
Lelaki pemilik Cundhamani itu bergerak perlahan. Ia terus saja memelihara fokusnya. Lengah sedikit saja, tusuk konde emas itu akan segera menembus kepalanya. Ingin sekali ia meraih busur Agnitama dan anak panah logam di punggungnya. Namun ia khawatir hal itu justru membuat Jenar salah paham.
“Tak akan aku biarkan kau mendekat!” jerit Jenar sembari mundur untuk mengembalikan lagi jaraknya.
“Jenar! Aku bisa jelaskan, tapi tolong hentikan dulu Suji Pati-mu!” pinta Arya dengan suara sayup-sayup. Lelaki itu terus mendekat. Niatnya untuk memberikan penjelasan disalahartikan sebagai usaha untuk menghadapi jurus andalan istrinya.
“Tak ada ampun untuk orang yang telah menyakiti putraku! Meski pun itu ayahandanya sendiri!” pekik Jenar terus bergerak mengendalikan tusuk konde emas.
Arya memayungi kepalanya sendiri dengan energi yang perlahan mulai mengikis. Ia sudah menjadi lelaki yang berbeda sejak serangan di Pantai Selatan Astagina belasan tahun silam. Meski kedewasaan membuatnya bijak, tapi kekuatannya menyusut cukup banyak.
“Jenar pasti mengira aku mendekat untuk melawan kelemahan Suji Pati,” batin Arya. “Tapi aku tak punya pilihan lain.”
Telapak tangan kanan Arya mulai menggenggam ujung busur Agnitama yang menggantung di pundak. Sesungguhnya lelaki itu meragu. Melawan istrinya sendiri tentu akan sangat memalukan. Walau pun melawan atau tidak, potensi terbunuhnya tetap tak berkurang.
“Tidak, aku masih punya cukup tenaga untuk melawannya!” Arya mengurungkan niatnya menggunakan busur Agnitama. Rencananya sekarang adalah terus mendekat dan mengenai tubuh Jenar agar Suji Pati berakhir.
Jenar masih terus bergerak dengan indah dan gemulai. Anak-anak rambutnya menjurai sebagian menutupi dahi. Titik-titik keringat di dahi Raja Astagina itu menandakan usaha yang dilakukan sudah menguras tenaganya. Meski matanya terus menyalang tak kenal takut, namun engah napas tak mampu menutupi kelelahannya.
“Kita lihat saja siapa yang memenangkan jarak ini, kau atau aku!” teriak Arya diakhiri dengan lolongan panjang berbuah lonjakan energi dari tubuhnya. Lelaki itu kini telah menyerupai bentuknya saat membunuh Prabu Ranajaya.
Lesatan jingga bergerak begitu cepat hanya dengan sekedip mata. Tubuh Jenar terpental dua tombak ke belakang dan ambruk ke tanah. Tak sempat ia menghindar, ia hanya sempat menahan lesatan suaminya itu dengan menyilangkan kedua tangan di dada.
Perlahan Jenar bangkit. Ia tak hiraukan separuh wajah yang tertutup rambut. Suji Pati-nya memang berhenti. Tusuk konde emas itu sudah kembali berada di genggamannya. Namun tidak dengan amarahnya. Tatap mata nanar dengan lelehan darah di sudut bibir menandakan serangan Arya hanya menambah kemarahannya.
“Putramu sudah kau hajar, kini istrimu, hah?” hardik Jenar dengan suara parau.
“Kau tak memberiku pilihan....”
“Seperti kau yang juga tak memberi Aruna pilihan!” potong Jenar sembari memasang kuda-kuda. Lelaki berselubung api sepuluh tombak di depannya sama sekali tak membuatnya gentar.
“Aku sebagai ayahandanya bertanggung jawab atas perbuatannya membunuh kakeknya sendiri, Jenar!” ucap Arya mencoba memberikan pengertian kepada istrinya itu.
“Cih! Kau tak perlu repot-repot, Arya! Biar aku yang bertanggung jawab atas perbuatan putraku! Kau cukup bela saja putri cantikmu itu!” jawab Jenar sinis.
“Kau tak pernah berubah, Jenar!” ucap Arya singkat.
Sudah beberapa kali Jenar memang mengatakan bahwa Arya lebih menyayangi Rara Sati dari pada Aruna. Tentu saja Arya tak mengakuinya. Ia berusaha untuk adik kepada keduanya. Dan menurutnya memperlakukan dua orang yang berbeda dengan sama bukan lah merupakan keadilan yang sebenarnya.
“Dan sampai mati pun aku tak akan pernah berubah!” seru Jenar disusul dengan hentakan kaki kanannya di tanah.
Tusuk konde emas perlahan melayang memancarkan sinar yang begitu terang. Pengikat rambut itu berputar-putar tepat di atas kepala Jenar. Arya mengernyit. Belum pernah ia melihat Suji Pati dimulakan dengan demikian indah. Perlahan putaran benda itu semakin cepat dan berpengaruh pada gerakan udara di sekitarnya.
Arya mundur beberapa langkah. Tepat seperti rencana Jenar, memberikan jarak yang cukup untuk melancarkan serangan menggunakan jurus jarak jauh ini. Raja Astagina itu mulai menari. Gerakan tusuk konde emas yang mulanya seperti liar tak terkendali, kini cenderung lebih tenang. Namun justru ini lah saat-saat menegangkan.
Jenar melompat ke sebuah batu besar demi mendapatkan pandangan luas demi memulai serangan. Arya yang masih terpukau diam-diam menyadari bahwa sebentar lagi Suji Pati akan datang dengan kekuatan lebih besar. Lelaki itu diam-diam sudah menyentuh pangkal anak panah logam di punggungnya.
“Aruna, apa kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni begitu mendapati cucunya membuka mata.
“Kakek?” Aruna segera bangkit setelah menyadari bahwa ia masih berada di Wana Payoda yang terbakar. “Dimana ayahanda?”
“Dia di sana. Sepertinya kedua orang tuamu akan bertarung kali ini,” ucap Sanggageni lirih.
“Ibunda? Apakah itu Ibunda?” Aruna menunjuk seorang perempuan dengan rambut tergerai bergerak dengan anggun di atas sebuah batu besar.
“Ya, mereka bertarung karenamu, Aruna,” ucap Sanggageni dingin.
“Karena aku?” tanya Aruna membuang muka. “Aku tahu, Kakek. Maafkan aku tak bisa menguasai kekuatan api itu,” sambungnya.
“Tidak, Aruna. Suatu saat kau pasti menguasainya. Dan jika saat itu tiba, kau akan lebih hebat dari ayahandamu. Percaya pada Kakek,” ujar Sanggageni menatap tajam mata cucunya itu.
Pria tua itu bergerak melindungi Aruna manakala energi Suji Pati dan Cundhamani telah saling berbenturan. Ia lalu membawa Putra Mahkota Astagina itu ke tempat yang dirasa aman, namun masih tetap dapat mengawasi pertarungan.
“Mengapa Kakek berkata demikian?” tanya Aruna tak mengerti.
“Kakek melihat perubahanmu, Aruna. Juga saat kau dikuasai energi besar itu. Kau benar-benar luar biasa!” puji Sanggageni.
“Tapi....” Aruna memandang telapak tangannya sendiri. Tangan yang sudah melukai ayundanya dan juga Kakek Kertajaya.
“Kau hanya membutuhkan alasan untuk menguasainya. Dan tugasmu sekarang adalah mengetahui alasan itu,” ucap Sanggageni sambil tersenyum memeluk cucunya.
Sebuah ledakan membuat kakek dan cucu itu menunduk serempak. Sanggageni sudah mengerti, sesungguhnya Cundhamani dan Suji Pati tak akan pernah bisa bersatu. Itu sebab ia rela meninggalkan Gantari dan Arya kecil untuk berjuang bersama Baka Nirdaya. Kedua ilmu hebat itu tak mampu saling melengkapi. Mereka akan saling menghancurkan.
“Mengapa Kakek tersenyum?” tanya Aruna. Pemuda itu tak mengerti mengapa di saat genting seperti ini kakeknya masih bisa tersenyum dengan tenang.
“Kakek senang sudah bisa mengatakannya. Ingat baik-baik, Aru....”
Aruna terbelalak. Sebuah benda runcing keemasan menghantam kepala kakeknya hingga menembus kening. Setelahnya benda itu segera tercabut dan melesat entah kemana. Sanggageni luruh di pangkuan Aruna.
“Kakek!”
Arya terpaku menyaksikan ayahandanya tewas. Ia marah, semua usahanya untuk menghentikan dan menangkal Suji Pati justru berbuah pada kematian Sanggageni. Batas kesabarannya yang memang sudah begitu tipis, kini benar-benar hilang. Lelaki itu menoleh ke arah Jenar yang berdiri di atas dahan pohon sembari memasangkan anak panah logam pada busur Agnitama.“Demi ayahandaku, aku akan membunuhmu!” seru Arya seketika menarik tali busur hingga ke batas maksimal.Mata panah menyala jingga dan mengeluarkan denging menusuk telinga. Kaitan ibu jari tangan kanan Arya pada tali busur sudah terlepas. Getaran akibat lesatan anak panah membentur lengan kiri bagian dalam. Terasa lebih sakit dari biasanya.Jenar segera melompat demi menghindari Cundhamani. Perempuan itu segera bergerak agar api Cundhamani tak mengenai tubuhnya. Batang pohon tempatnya tadi berpijak segera tumbang dan terbakar. Raja Astagina itu segera mengembalikan kuda-kudanya setelah denging itu terdengar kembali.“Gawat! Arya benar-bena
“Braja!” Ki Bayanaka sibuk mengibaskan toya dari kayu sarayu ke api-api Cundhamani itu. Dari jarak dua puluh tombak dan kondisi tanah yang meninggi, ia dapat menyaksikan Sanggageni terkulai tak berdaya di hadapan cucunya setelah kepalanya tertembus tusuk konde emas.Firasat pria tua itu benar-benar tajam. Sebelumnya ia tak pernah mengikuti keluarga istana berkunjung ke Girijajar. Kali ini ia menyusul karena merasa tak nyaman dengan perasaannya. Separuh desa sudah hancur terbakar, dan kini lereng Payoda tengah berkobar. Rupanya cerita Mahaguru Rakajiwa terbukti sekarang.“Ksatria Cundhamani dan pengguna Suji Pati tak akan bisa bersanding untuk waktu yang lama. Braja, sudah aku katakan dulu. Tapi kau tak percaya bahkan dengan hal yang kau alami sendiri!” rutuk Ki Bayanaka dalam hati.Dari tempatnya berdiri ia dapar menyaksikan Aruna, Putra Mahkota Astagina menggoncang-goncangkan tubuh kakeknya dengan mata basah. Sebelumnya Ki Bayanaka sudah menyaksikan Rara Anjani menangisi jasad ayahan
Jenar jatuh bersimpuh, menyangga tubuh dengan kedua tangan dan sisa-sisa tenaganya. Napas Raja Astagina itu terengah-engah, seperti cerminan pertarungannya dengan sang suami. Keringat menetes dari dahi dan juga dagunya. Rambutnya yang biasa terikat tapi ke belakang, kini menjuntai beranta kan seperti rumah tangganya.“Sial! Aku belum pernah bertarung hingga menguras tenaga seperti ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Jenar di antara tarikan napas memburu.Arya melemparkan tusuk konde emas yang membara ke arah Jenar. Sengaja tak ia kenakan pada tubuh istrinya itu. Lelaki itu melenguh seperti ada sesuatu yang terjadi pada tangannya. Tusuk konde emas menancap tepat di hadapan Jenar. Di tempat peluhnya tadi menetes.“Benda itu memang istimewa. Tenagaku seperti terserap olehnya,” ucap Arya dalam hati.Lelaki itu melangkah mendekati istrinya yang tak berdaya. Langkahnya begitu mantap dan penuh percaya diri. Apa lagi melihat tubuh Jenar yang gemetar, Arya merasa marwahnya sebagai
Jenar memutar tubuhnya satu kali dengan gerakan tangan yang begitu indah. Ia merasa sudah begitu siap untuk melakukan serangan pamungkas. Tusuk konde emas sudah cukup lama berputar-putar di atas kepala. Benda itu seolah mengumpulkan energi untuk menghunjam dengan kekuatan penuh.“Aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku tak akan membunuhmu! Sudah cukup menyakitiku dengan berbagi cinta dengan Rara Anjani. Kau tak akan kubiarkan hidup jika menyakiti putraku!”Tatap nyalang Jenar mengawali hentakan kaki dan gerakan tangan tegas mengarah pada suaminya. Sementara Arya masih menutup mata. Ada seutas senyum di sudut bibir lelaki itu. Ia memang tak melihat. Namun datangnya energi besar dan cepat itu dapat ia deteksi dengan begitu gamblang.Tepat sebelum tusuk konde emas itu menghujam keningnya, Arya mengatupkan kedua telapak tangan di kening sembari menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya tertarik oleh gravitasi dan membawanya masuk ke dalam jurang gelap itu. Lelaki itu mampu menangk
“Dimana Arya, Jenar?” tanya Rara Anjani kepada madunya itu.Jenar tak menyahut sedikit pun. Perempuan itu duduk terpaku di dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda dalam pengawalan empat prajurit. Mereka disambut oleh Senopati Jatiwungu dan satu peleton pasukan berkuda Astagina.“Jenar!” pekik Rara Anjani mengiringi langkah kereta kuda itu. Sedang Jenar sama sekali tak menoleh pada istri kedua suaminya itu.“Gusti,” hormat Senopati Jatiwungu pada rajanya yang tampak berbeda.Jenar menoleh dengan tatap mata tajamnya. “Mengapa kau di sini, Senopati?” tanyanya.“Ampun, Gusti. Patih Danapati meminta hamba untuk membawa pasukan ke mari,” jawab Senopati Jatiwungu sembari terus mengiringi kereta kuda rajanya.“Kembali lah! Kau tak diperlukan di sini!” titah Jenar dingin.“Sendika, Gusti!” sahut Senopati Jatiwungu cepat. Lelaki itu segera menghentikan langkahnya dan kembali ke rombongan pasukan berkuda pimpinannya.“Jenar! Dimana Arya?” Rara Anjani mencoba mendapatkan jawaban sekali lagi. Ia
“Dimana ini, Kakek Legawa?” tanya Aruna begitu ia, Legawa dan Ki Bayanaka tiba di sebuah kumpulan bangunan dari bambu.“Selamat datang di Rakajiwa, Pangeran Aruna,” ucap Legawa setelah menyelesaikan Lembat Brabat-nya.“Kakek, mohon jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku sudah sepakat dengan Ki Bayanaka untuk tak lagi mengenakan gelar itu di depan namaku,” pinta Aruna sekilas melirik Ki Bayanaka.Legawa tersenyum lembut. Ia memandang Ki Bayanaka yang tampak memperhatikan sekitar padepokan sembari mengusap janggutnya. Pria tua bertoya itu mengangguk tanda setuju. Itu memang sudah menjadi kesepakatannya dengan Aruna agar putra Arya dan Jenar itu mau ikut dengannya.“Baik lah. Namun boleh kah kau memanggilku dengan Ki saja? Aku merasa berada di istana dengan panggilan Kakek,” pinta Legawa setengah tersenyum.“Tentu saja, Ki,” sahut Aruna dengan senyum merekah. “Lantas, apakah aku akan tinggal di sini? Bukan kah Rakajiwa sudah lama hancur?”“Ya, kita akan tinggal di sini, Aruna. Rakaj
Aruna menghampiri jasad kakeknya yang kembali diletakkan di atas balai bambu oleh orang-orang Baka Nirdaya. Wajah teduh pria paruh baya itu terlihat begitu tenang. Bibirnya memucat, beberapa titik kulit wajah tampak membiru. Pangeran Astagina itu terus berusaha menahan tangis yang kembali terpacu oleh keharuan orang-orang di padepokan ini.“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Ki Bayanaka.“Kakek dan ayahanda selalu mengatakan bahwa kami memiliki unsur pembentuk api dalam darah,” ucap Aruna sembari menyingkap kain yang menutup tubuh Sanggageni.“Lantas?” Ki Bayanaka penasaran.“Bukan kah manusia berasal dari tanah?” tanya Aruna sambil terus memperhatikan seluruh tubuh kakeknya, terutama pada bagian jantung.“Ya, benar!”“Entah mengapa aku yakin bila seseorang mati maka dia akan kembali menjadi tanah seperti asalnya,” jawab Aruna sama sekali tak memperhatikan lawan bicaranya.“Lantas?” tanya Ki Bayanaka lagi.“Unsur penyusun api itu, Ki. Meski sudah berada dalam tubuh sejak lahir, ia te
“Apa yang harus aku perbuat dengan benda ini, Ki?” tanya Aruna pada Ki Bayanaka, sosok paling senior di padepokan kini.“Simpan lah. Aku tak tahu apa kah berguna atau tidak. Tapi mustika itu berasal dari tubuh kakekmu. Selain kau dan Arya tak ada yang lebih berhak untuk menyimpannya,” jawab Ki Bayanaka bijak.Aruna mengangguk tanda setuju. Pemuda itu menggenggam kembali Mustika Api dari tubuh kakeknya itu. Ia menyambut uluran tangan Legawa untuk dapat berdiri dan memulai prosesi pemakaman Sanggageni.“Perdana!” panggil Legawa. Seorang pemuda lebih tua sedikit dari Aruna muncul dari kerumunan yang nyaris tak mampu dibedakan.“Ya, Guru,” sahut pemuda bernama Perdana itu.“Antarkan Aruna ke bilikmu. Kalian akan menjadi teman satu bilik. Sementara berikan dia pakaianmu. Setelah itu segera bergabung untuk mengurus pemakaman Tuan Sanggageni!” titah Legawa.“Baik, Guru!” sahut pemuda itu dengan penuh hormat. “Mari, Tuan Aruna.”Perdana mempersilahkan Aruna untuk mengikutinya. Sebuah gestur p