Share

4. Pertarungan

Sanggageni segera menghampiri cucunya dengan satu lompatan. Pria setengah baya dengan satu tangan itu menatap tak percaya tubuh Aruna yang terluka yang segera pulih dengan cepat. Ia teringat Ajian Dasa Daraka yang sempat ia kuasai. Itu pun memerlukan waktu sedikit lebih lama.

“Aruna! Kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni di tengah seringai pemuda itu.

“Apa yang terjadi padaku, Kek? Ada apa dengan tubuhku? Ayahanda selalu memintaku untuk menguasai kekuatan api. Tapi aku menjadi aneh dan kadang menakutkan!” seru Aruna kepada kakeknya.

“Ini takdirmu, Aruna. Kau mewarisi darah Ayahandamu, dan Ayahandamu mewarisi darahku, kau tak bisa menolaknya,” terang Sanggageni berusaha menenangkan cucunya.

“Dan aku tak meminta untuk dilahirkan sebagai putra Ayahanda dan juga cucu Kakek!” pungkas Aruna berapi-api.

Sanggageni terdiam, ia mencoba mengerti apa yang dirasakan cucunya itu. Lahir sebagai seorang pangeran sebuah kerajaan sebesar Astagina, tentu membuat Aruna merasa tak memerlukan kekuatan seperti itu. Tanpa itu pun ia sudah bisa meraih segalanya.

“Aruna, kau....”

Pemuda di hadapan Sanggageni menunduk penuh amarah. Kedua tinju yang mengepal mulai mengeluarkan asap tipis dengan suara berdesis. Cahaya jingga seakan muncul dari telapak tangan mengepal itu. Menjalar di pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

“Jadi begini prosesnya, luar biasa!” batin Sanggageni. Pemandangan yang sungguh mengagumkan. Meski dirinya sendiri pernah mengalami hal serupa, namun melihat hal itu terjadi pada orang lain sungguh tak pernah diduga sebelumnya.

Aruna menengadah sembari berteriak, menyemburkan api yang besar dan kuat. Namun belum sempat teriakannya selesai, sebuah gerakan kilat menghantam tubuh Putra Mahkota Astagina itu hingga terpental jauh.

“Tak ada negosiasi dengan anak ini, Ayahanda!” desis Arya, pelaku penghantaman tadi.

“Arya, dia masih terlalu muda. Apa kau tak berpikir bila tindakanmu ini berlebihan?” ujar Sanggageni mencoba menggoyahkan pendirian putranya.

“Aku tak punya pilihan lain. Jika aku tak menghantamnya tadi, mungkin Ayahanda sudah bertemu dengan Adipati Kertajaya di alam baka sekarang!” ketus Arya dan segera melesat meninggalkan Sanggageni menyusul Aruna.

Kepulan asap dan debu menjadi satu. Aruna bangkit dari kobaran api yang membakar rerumputan dan semak belukar sambil memegangi dadanya. Pohon besar di belakangnya tumbang setelah terhempas oleh tubuhnya. Sebentar lagi Wana Payoda mungkin akan menghitam. Desa-desa di sekitar Gunung Payoda akan terkena dampaknya.

“Rupanya kematian Kakek Kertajaya belum membuatmu belajar sesuatu, Aruna,” ucap Arya yang sudah tiba di hadapan putranya.

“Ayahanda....” Aruna menyeringai menahan sakit terakhir sebelum lukanya benar-benar sembuh. “Cabut lah kekuatan ini! Aku tak menginginkannya!” serunya.

“Kau pikir tengah berada di istana, Anak Manja? Apa hantaman Ayahandamu ini tak cukup memberikanmu rasa sakit, hah?” hardik Arya. Ia sudah kehilangan kesabaran menghadapi putranya itu.

“Aku tak mengerti, Ayahanda!” rengek Aruna. Pemuda 16 tahun masih terus bersikukuh pada pendiriannya dan berharap ayahandanya mengerti apa yang ia rasakan.

“Kau telah membunuh kakek Kertajaya, melukai ayundamu, dan kau akan menyerang kakek Sanggageni?” desak Arya begitu tegas. Lelaki itu masih berada pada bentuk api jingganya.

“Tapi Ayahanda tahu, itu di luar kuasaku!” bantah Aruna. Pemuda itu masih terus berharap ayahandanya mengerti keadaannya, bukan terus memaksa.

“Maka kuasai lah kekuatan itu, Aruna!” teriak Arya dengan penuh amarah. Ia kembali melayangkan pukulan ke arah putranya itu. Kali ini tidak ke bagian tubuh, tapi ke wajah. Karena sejatinya ia tak tega melihat wajah putranya terluka.

Sebuah benturan energi menghasilkan percikan api yang begitu besar. Dayanya serupa dengan ledakan kecil, mampu menghempaskan apa pun di sekitarnya dalam radius beberapa tombak. Suara berdesis dan asap putih tebal membumbung di udara.

“Aruna, kau....” Arya terperangah melihat putranya sudah berselubung api dan menangkap tinju kanannya.

“Cukup, Ayahanda! Aku tak sudi menjadi bulan-bulananmu!” ucap Aruna dengan suara parau dan berat.

Arya tersenyum dan berusaha melepaskan genggaman tangan putranya. Namun tak berhasil, tenaga Aruna berubah berkali-kali lipat hingga cengkramannya terasa mulai menyakiti. Mantan Patih Astagina itu segera mengayunkan tendangan kaki kiri. Namun belum sempat kaki itu mengenai sasaran, Aruna segera menarik tangannya hingga tinju kiri mampu menjangkau wajah ayahandanya.

Kali ini Arya yang terpental ke belakang. Namun segera ia kuasai tubuhnya dan kembali menginjak bumi. Hantaman Aruna memang kuat dan terasa sakit, namun belum cukup untuk melukainya. Lelaki itu tersenyum sinis sembari menatap nyalang putranya.

“Bagus, dia masih tetap sadar meski dalam bentuk apinya,” batin Arya. “Sekarang tinggal bagaimana menghadapinya dan membuatnya kembali normal.”

Pertarungan ayah dan anak tak dapat lagi dielakkan. Perbedaannya kini Aruna tetap sadar dan terlihat mampu menguasai dirinya sendiri. Tak seperti beberapa saat lalu, ia hanya mengamuk tak tentu arah.

Gerakan keduanya begitu cepat. Beberapa waktu mereka bahkan seperti bertarung di udara. Kilatan api menyambar ke segala arah membuat Wana Payoda tak ubahnya seperti tungku raksasa. Hal itu pula yang memaksa Sanggageni dan Jenar hanya bisa mengawasi keduanya dari jauh.

“Tampaknya putramu mulai menguasai kekuatan itu, Jenar. Kalau begini terus, bisa-bisa Arya akan dikalahkan,” ucap Sanggageni tanpa sekali pun menoleh ke arah menantunya.

“Belum bisa dipastikan, Kakanda. Aku khawatir Aruna tak akan bertahan lama. Meski tak lagi kuat seperti dulu, Arya tetap lah Ksatria Cundhamani,” sahut Jenar memaparkan analisanya.

“Kau benar, dia kini lebih dewasa dan bijak dalam menggunakan kekuatannya,” ujar Sanggageni mengamini ucapan Jenar.

Sebuah lesatan jingga bergerak cepat dan menghantam bumi. Lesatan berikutnya menyusul menyebabkan ledakan. Asap dan debu serta material-material hutan lainnya berhamburan ke udara. Hempasan udara bahkan serupa badai.

Sanggageni dan Jenar berlindung di balik batu besar demi menghindarkan diri mereka dari potensi terhempas energi atau material lain. Pandangan mereka benar-benar terhalang. Hanya ada kelabu, selain pula kilatan jingga yang semakin lama terus mereda.

“Beruntung aku dan Arya tak pernah bertarung sampai seperti ini,” seru Sanggageni.

“Tapi kau hampir mati di Padang Kalaha, bukan?” sahut Jenar dengan senyum tipis.

“Ya, itu karena aku tak melawan,” kilah Sanggageni.

Jenar memicingkan matanya sembari menyilangkan telapak tangan di atas mata. Hembusan angin mau tak mau memaksa matanya tak bisa melihat dengan maksimal. Tanpa ucap ia segera keluar dari persembunyiannya dan menarik tusuk konde emas di kepala. Rambut hitam sepinggangnya berkibar-kibar diterpa angin yang mulai mereda.

“Jenar?”

Sanggageni terbelalak. Ia paham benar apa yang akan terjadi kemudian. Pria tua itu mulai mengusap-usap matanya dengan satu-satunya telapak tangan. Ia berusaha secepat mungkin mengetahui keadaan Arya dan Aruna.

Seiring dengan debu yang menghilang dan hempasan angin yang mereda, sepasang ayah dan anak itu tampak terlihat dengan posisi yang saling berlawanan. Arya berdiri dan terengah-engah, sedang Aruna tergelatak dengan luka parah di dada. Namun di bibirnya masih tersungging senyum picik untuk ayahandanya.

“Arya sudah keterlaluan!” seru Jenar sembari melangkah dan menghentakkan kaki di tanah. Pertanda radius serangan untuk Suji Pati sudah dilakukan.

“Jenar! Jangan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status