Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang.
"Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya.
"Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."
Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya.
"Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya.
"Kecuali siapa?"
Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk.
"Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka.
Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan.
"Saya duluan, Pak." Ia pamit sambil menerima panggilan dari Ratih.
Raka menggeram. Ia tidak mengira hasilnya akan seperti ini. Seharusnya ia yang jadi pemenang, tapi yang tertawa penuh kemenangan justru asisten baru yang sangat dibencinya, dan itu hanya karena sebuah panggilan dari mamanya.
-0-
"Doniiiiiii!" teriak Raka dari dalam ruangannya.
Suaranya yang begitu keras, membuat Susan yang sedang mengoleskan lipsticknya berjingkat kaget , hingga lipstick itu menghasilkan sebuah goresan panjang di pipinya.
Doni yang kala itu sedang membuat jadwal pertemuan mingguan, langsung mendatangi ruangan Raka. Ia sangat tahu arti panggilan itu, dan ia harus segera menghadap bila tidak ingin lembur dadakan dititahkan Raka untuk seluruh divisi.
"Ada yang harus saya lakukan, Pak?"
Tsk. Doni salah memilih kata, dan kini ia harus menerima akibatnya.
"Kamu suruh bagian personalia membuat SP 2 untuk karyawan baru itu. Katakan, jika bukan karena kebaikanku, ia akan langsung diusir dari perusahaan ini."
Doni mencelos.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Cepat ke bagian personalia, dan segera buat apa yang aku perintahkan tadi!"
Tanpa menganggukkan kepalanya, Doni berjalan mundur, memutar tubuhnya, berjalan meninggalkan Raka yang masih menatapnya tajam. Di dalam benaknya terbayang bagaimana ekspresi Rara, tapi, haruskah ia melaporkan semua ini kepada Widjanarko? Sang Bos Besar? Tidakkah ini akan sangat diperlukan Rara sehingga gadis itu akan selamat?
Doni terus memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Bagaimanapun ia sekarang bekerja pada Raka, bukan Widjanarko. Sudah sepatutnya ia melakukan semua perintah Raka tanpa melakukan pengkhianatan di belakangnya, sekalipun itu demi seseorang yang sejatinya datang untuk membantu mereka.
Doni turun ke lantai empat, menuju ruangan kepala divisi personalia. Ia harus mengecek apakah data Rara sudah masuk ke file perusahaan. Jika sudah, status apa yang disandang Rara? Sebagai karyawan baru atau sebagai utusan khusus dari kantor pusat?
Di tengah perjalanannya menuju ruang personalia, ia bertemu dengan Dewa, kepala divisi desain. Pria berambut kuning itu dengan cepat menghampiri Doni yang jelas sedang tergesa-gesa.
"Pak Doni!" panggilnya dengan nada cukup keras.
Doni yang tengah terburu-buru dengan sangat terpaksa menghentikan langkahnya.
"Aku sedang tidak ada waktu untuk sekedar menjawab pertanyaan singkatmu. Cukup kau ingat apa yang tadi aku katakan padamu," tandas Doni dengan nada dingin, lalu kembali melanjutkan langkahnya yang dibuat semakin lebar.
Dewa terpaksa gigit jari. Maksud hati ingin mendapat informasi terbaru tentang karyawan baru bernama Rara, tapi dirinya justru diacuhkan seperti ini.
-0-
Rara kembali mengantongi ponselnya. Ia memberi jawaban yang bertolak belakang dengan pertanyaan Ratih mengenai hari-hari pertamanya bekerja bersama Raka, mengatakan semua baik-baik saja dan masih dalam batas wajar. Ia masih bisa mengatasi semuanya sendiri.
Ia berhenti sejenak setelah langkahnya berada sekitar seratus meter dari toko terakhir yang ia datangi. Ia berusaha mengingat ucapan Raka dan itu membuat dirinya menghela nafas panjang.
'Apa yang harus aku lakukan jika sudah kembali ke kantor? Haruskah aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Bagaimana dengan perintah yang sebelumnya di berikan padanya, bahwa ia hanya diberikan waktu dua jam untuk membawa pulang laptop dengan spek khusus gamer, dan kenyataannya ia gagal karena sang atasan sudah lebih dulu membeli, di tempat yang naasnya adalah tempat terakhir yang ia datangi dan barang ia cari sedang diambilkan pelayan di gudang toko?
Pesan singkat masuk ke ponsel Rara. Dengan cepat ia membuka kotak masuk dan membaca pesan tersebut.
*Segera kembali ke kantor, ada surat cinta untukmu. Pesanku: Bersikaplah biasa seperti tidak terjadi apa-apa.*
Rara tertegun. Apa lagi yang dilakukan oleh atasan barunya itu? Mengapa begitu membencinya? Bukankah seharusnya ia didukung dan dimanjakan, karena kedatangannya untuk menyelamatkan perusahaan dari ambang kehancuran?
Dimanjakan? Rara segera meralat kata itu. Hal yang sama sekali tidak akan pernah ia dapatkan dari seorang Raka.
Rara membalas pesan Doni.
*Tolong. Jangan pernah memberikan nomor ponsel saya pada siapapun.*
Nada pesan kembali terdengar.
*Pesan diterima. Segera datang ke kantor.*
Dua puluh menit kemudian, Rara sudah berjalan kembali di lobi. Ia melangkah ringan, meski batinnya sedang sibuk menenangkan emosinya yang masih meledak-ledak. Kini, ia merasa tidak lagi semangat seperti di awal saat ia menerima tugas ini. Dia merasa di-prank oleh bos besarnya.
Ingin protes, tapi dirinya tahu diri. Ia tidak selayaknya melakukan hal itu, mengingat apa yang sudah ia terima dari pasangan suami Widjanarko dan Ratih.
Ia terus melangkah hingga akhirnya berhenti tepat di pintu lift lantai empat yang masih bergerak turun dari lantai tujuh. Saat menunggu, tiba-tiba sebuah sapaan mengejutkan dirinya.
"Hai, Rara!" Dewa ternyata sudah berdiri tepat di samping Rara.
"Selamat Siang, Pak Dewa."
Dewa mengembangkan senyumnya mengetahui sapaannya dijawab dengan begitu ramah oleh Rara. Kini, ia mulai sibuk mengamati wajah Rara, dengan begitu serius. Penilaian demi penilaian mulai terbetik di hatinya, dan itu semua membuatnya tersenyum bahagia. Bahagia karena mengenal sosok cantik karyawan baru di perusahaannya.
Ting. Pintu lift terbuka seiring dengan teguran diluar dugaan Rara, yang membuat dirinya mematung seketika.
"Mengapa kamu masih di sini? Bukankah personalia sudah menerbitkan SP 3 untukmu?"
Doni yang berdiri tepat di belakang Raka terkejut. "Pak, bukannya tadi Bapak memerintahkan untuk memberikan SP du..."
"Tiga. Aku berubah pikiran. Segera proses semuanya," ucap Raka melenggang keluar dari lift, meninggalkan Dewa yang terperangah, tidak paham dengan yang baru saja ia dengar. 'Siapa yang dapat SP3?' batinnya bingung.
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Lama tidak mendapatkan jawaban dari Raka, Widjanarko menghela napas. Ia menggelengkan kepala, salah satu cara mencegah tekanan emosinya agar tidak semakin meninggi. Rasa penyesalan mulai menggelayuti dirinya. Andai saja dulu ia tidak mengikuti permintaan Ratih, perusahaan fashionnya sekarang pasti sudah berkembang pesat. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Papa berikan perusahaan sesuai dengan keinginanmu termasuk semua orang-orang dan dana serta semua asetnya. Tapi, apa yang kamu berikan sebagai bukti keberhasilanmu?" Raka lagi-lagi terdiam. Kenangannya kembali saat ia merongrong Widjanarko di suatu siang, agar dirinya diberi kedudukan penting di salah satu unit bisnis yang dimiliki Widjanarko. Semula Widjanarko ragu, tapi karena desakan Ratih akhirnya pria itu memberikan perusahaan fashionnya untuk dikelola oleh putra semata wayangnya. Namun sayang, apa yang diharapkan tidak kunjung tercapai. "Sekarang, datang ke kantor Papa. Bawa Rara bersamamu. Papa tunggu lima belas menit dari
Rara tidak segera melanjutkan kalimatnya, membuat suasana ruangan berukuran dua belas kali sepuluh meter persegi itu berubah menjadi sangat mencekam. Detak jam dinding berdesain kuno klasik adalah satu-satunya suara yang terdengar. Semua diam membatu, menanti kelanjutan kalimat yang entah, disengaja Rara atau tidak, terputus. "Kamu sengaja melakukan ini? Membuat kami semua menunggu kelanjutan cerita karanganmu?" tegur Raka begitu sinis, membuat Widjanarko melebarkan pupil matanya. "Raka! Bicaralah yang sopan. Jangan permalukan Papa!" hardik Widjanarko begitu keras, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Widjanarko kembali menatap Rara. "Katakan apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana? Apakah semua berjalan baik-baik saja atau ada kejadian yang tidak seharusnya terjadi di sana, diluar perhitunganmu?" Rara kali ini memberanikan diri untuk menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan bos besarnya. Rasa bimbang yang sebelumnya menggelayuti hatinya, kini berubah menjadi keberanian. Ia
Rara memilih untuk diam, tidak mengemukakan pendapatnya. Semua hal yang menjadi pembicaraan anak-bapak ini diluar kendalinya, dan ia tidak punya hak untuk urun rembug. Sama halnya dengan Doni. Pria itu juga mengambil langkah yang sama dengan Rara, menjadi pendengar yang baik. "Kesepakatan apa yang bisa kita buat sore ini?" Suara Widjanarko memecah kesunyian. Raka diam menyimak. "Tidak ingin mengatakan keberatan?" tandas Widjanarko, mengarahkan tatapannya ke arah Raka. Menggeleng lemah, hanya itu yang dilakukan oleh Raka. Ia tidak punya perbendaharaan kata jika sudah berhadapan dengan Widjanarko, dan ia tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan pria berusia hampir setengah abad itu, kecuali ada Ratih yang menjadi penyokongnya. "Baiklah. Mungkin hanya Rara yang bisa menjawab, langkah apa yang sebaiknya kita ambil untuk sekarang ini?" Deg. Rara tidak menduga jika Widjanarko akan meminta pendapatnya. Ia tidak ingin lagi bos kecilnya salah paham, yang berujung pada kecemburuan
Widjanarko sangat terkejut. "Kamu serius dengan perkataanmu, Rara? Kamu tidak takut akan akibatnya?" Rara tersenyum simpul. "Bapak sudah mengenal saya begitu lama. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan serius dan secara total. Setiap pekerjaan akan selalu ada resiko yang harus dihadapi, dan saya sudah siap dengan semua resiko yang akan saya hadapi ketika saya menerima tugas ini." Widjanarko menggelengkan kepalanya. Ia masih ragu untuk menyetujui usulan Rara. Lama ia menimbang, hingga akhirnya anggukan kepalanya menjadi awal terbitnya senyum di kedua sudut Rara. "Terima kasih atas kepercayaannya, Pak," ucap Rara dengan binar mata penuh semangat. Ketakutannya hilang sudah, seiring dengan anggukan setuju Widjanarko. Sambil menghela napas berat, Widjanarko kembali menganggukkan kepalanya. "Berhati-hatilah! Raka bukan orang yang mudah menyerah, kamu harus punya kesabaran ekstra untuk menundukkannya. Aku tidak pernah mengkhawatirkanmu di luar sana, tapi tidak dengan putraku sendiri.
Rara tersenyum, dan sekali lagi, senyumnya berhasil membuat Raka salah tingkah. Rara tidak menjawab namun tetap mengulas senyum di wajahnya. Jika atasannya paham, pasti tahu arti senyum yang tersungging di wajahnya. "Kenapa malah senyum? Aku tidak butuh senyumanmu. Apa kamu sedang sariawan?" Raka berusaha mengurai rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Sungguh, senyum Rara mengandung racun baginya, dan ia berusaha mati-matian agar tidak terbuai. "Nggak, Pak. Gigi dan gusi saya, sehat semua, termasuk semua bagian dalam rongga mulut saya." "Iissh. Sudah. Hilangkan senyum itu dari wajahmu. Mengganggu saja," rutuk Raka. Ia menyerah, tidak sanggup melihat senyum Rara. "Baik, Pak." Namun, wajah Rara tetap tidak berubah, terlihat cerah dan bersemangat. Dan Raka harus rela tersiksa karena terus saja mencuri-curi pandang gadis di sebelahnya, hingga lehernya terasa pegal. "Don! Mampir ke apotik. Aku butuh obat. Leherku sakit." "Baik, Pak." Apakah ini salah satu strategi Rara? -0- Widj
Widjanarko mengusap wajahnya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Oknum yang memanfaatkan ketidakpedulian Raka-lah yang akhirnya memanfaatkan peluang yang ada. Ia berhasil mengeruk keuntungan hingga menyebabkan perusahaan fashionnya nyaris kolaps seperti sekarang ini. "Kamu mencurigai seseorang?" tanya Widjanarko pada Rara. "Mungkin tidak hanya satu orang, Pak. Ada beberapa tapi saya harus mengumpulkan bukti dulu. Ini baru dugaan saya saja. Semoga itu salah." "Ya kalau tidak yakin ya jangan diomongin. Selidiki dulu baru bicara,"sungut Raka. Ia tidak mempercayai ucapan Rara. Tidak ada penyelewengan di perusahaannya, dan ia sangat yakin hal itu. Semua orang yang berada di perusahaaannya bukan orang baru. Mereka sudah bekerja lama dengan Widjanarko, jadi mustahil mereka melakukan kecurangan di belakangnya. Widjanarko hanya menatap putranya itu sekilas. Ia lebih mempercayai Rara ketimbang orang-orang itu. Mungkin Rara ada benarnya tapi jika keberadaan Rara tidak didukung sepenuhnya ol
"Namanya Rara. Dia adalah orang kepercayaan Pak Widjanarko. Asisten kesayangan beliau. Selama ini ditugaskan untuk menangani perusahaan di luar negeri." Penjelasan singkat dari Doni terekam kuat dalam memori Wisnu. Pria itu terus saja mengingat informasi singkat mengenai gadis yang berdiri di belakang Widjanarko. Pantas saja dirinya tidak pernah melihat gadis itu. Tapi, mengapa sekarang ada di sini? Apakah kondisi perusahaan yang membuat Widjanarko menarik pulang gadis itu? Untuk membantu menyelesaikan masalah di sini? Jika memang demikian, maka ia akan sangat terbantu. Setidaknya, ia punya kawan untuk 'menjitak' kebebalan Raka yang selama ini sangat sulit dikendalikan. Senyum Wisnu seketika terbit. Mengingat penampilan Rara yang tampil biasa namun memiliki magnet yang kuat, membuatnya kembali bersemangat untuk kembali aktif di ruangannya. Selama ini, ia memilih untuk datang dua minggu sekali, tapi kehadiran Rara akan merubah semuanya. "Om pergi dulu. Kamu harus membantu Rara di s