"Jadi by the way lo kerja apa sih, Lang?"
Mita bertanya. Gadis itu berjalan di samping Gilang menyusuri jalan setapak sebuah taman kota yang lenggang.Gemericik pohon serta ranting yang tertiup angin membawa suasana kian sejuk. Walaupun langit sedang bersinar panas namun pepohonan yang tertanam rimbun mampu menutupi sinarnya untuk nggak menembus dan mengganggu pejalan kaki.Kaki mungil yang dibalut sepatu kets warna putih itu mengayun perlahan. Matanya yang sipit tak hentinya memandang suasana hijau di taman, sesekali menoleh ke samping untuk memperhatikan wajah manis Gilang dari samping."Karyawan biasa di perusahaan start up.""Ah masa sih?" ucap Mita nggak percaya dengan kalimat karyawan biasa. "Spesifik jabatannya lah, nggak dianggap sombong kok.""Hahaha.""Malah ketawa," balas Mita mengomentari tawa renyah temannya.Sedari tadi Gilang banyak tertawa. Kadang hal-hal receh saja membuatnya tertawa, hingga Mita bertanya-tanya sendiri. Sereceh itukah laki-la"Mau kemana?" todongan suara Ibu menggema ketika Mita sudah berpakaian rapih keluar dari kamarnya.Dia berpakaian atasan kaos pendek longgar dimasukkan ke celana jeans kulot menenteng tas slempang. Mungkin Ibu sangat heran dalam satu hari anaknya keluar main. Tadi siang dengan Gilang, lalu malam ini dengan siapa?"Ketemu temen-temen kerja Bu, katanya lagi ada acara kumpul dan aku di ajak gabung.""Pulangnya jangan malam-malam, kalau diatas jam 11 belum pulang pintu rumah Ibu kunci ya," ucap Ibu Sri yang seperti biasa dengan kata-kata lembut namun menusuk.Mita mengangguk patuh. Karena dia juga nggak biasa pergi malam-malam jadi nggak heran orang tuanya masih protektif.Semua gara-gara Farhan. Laki-laki itu memaksa Mita untuk ikut nongkrong yang katanya menjamin bisa merefresh kepenatan kerja.Awalnya sih Mita nggak mau, namun Farhan bilang jika ada Cakra dan teman-teman kantor lainnya yang ingin mengenal Mita."Anggap aja ini sebagai pengenalan lo
Vano mengernyitkan dahinya. Menjauhkan sejenak ponsel dari telinganya. Benar, dia sedang menelpon Mita si asisten pribadinya. Tetapi suara dentuman keras musik di sebrang telpon membuatnya merasa tertegun sebentar. Mita sedang clubbing?"Kamu ada dimana?" laki-laki itu mengeraskan suaranya. Sebab tiba-tiba perasaan emosi kesal menguasainya. Karena telah menduga jika Mita sedang bersenang-senang di tempat seperti 'itu'."Clubbing ya? Ternyata nggak bener kamu," katanya sekali lagi. Dia meletakkan tabletnya di meja nakas. Kemudian turun dari ranjang."Apaan sih pak! Saya ini pingin pulang! Tadi diajakin sama teman, nggak tau kalau tempatnya seperti ini." Mita keras berbicara, berusaha mengalahkan suara dentuman musik yang memekakkan telinga itu."Bawa kendaraan sendiri nggak?""Hah? Apa pak? Nggak kedengeran!"Vano menghela nafas. Mencoba sabar untuk menghadapi asistennya yang kadang-kadang kurang ajar. "Kamu bawa kendaraan sendiri nggak?" Dia kembali bertanya namun
Di bawah langit yang menghitam mobil Mercedes-Benz GLB-Class semakin melaju kencang di jalanan malam kota Jakarta yang lenggang. Suasana di dalamnya sangat sunyi, Vano menggenggam stir dan fokus memandang ke depan. Sedangkan Mita duduk menyender anti menoleh ke kanan. Rasanya dia ingin cepat-cepat keluar dari rasa sunyi nan canggung yang melanda. Ternyata lebih baik menikmati suasana nggak nyaman dengan Farhan dan kawan-kawan dibanding harus duduk bersebelahan dengan tuan bos yang mengesalkan."Di plang depan, belok kanan," ucap Mita kembali memberikan arahan.Vano nggak membalas. Dia diam tanpa kata setelah mengeluarkan kekesalannya. Laki-laki itu hanya bertindak menuruti arahan dari gadis disebelahnya. Sedangkan ekspresinya telah kembali datar seperti biasa menutupi segala rasa canggung yang melanda."Berhenti pak, sudah sampai," ucap Mita kembali ketika mobil telah sampai di depan gerbang rumahnya.Dia menunggu mobil berhenti. Ingin cepat-cepat melenggang pergi memasu
Pagi hari menjelang. Kicauan burung-burung di pagi hari yang cerah terdengar. Mita membuka jendela kamarnya, lalu semburat sinar mentari langsung menerobos masuk ke dalam.Suasana pagi hari pada hari minggu tampak cerah. Jika Mita nggak memiliki rencana, dia akan berlama menatap langit di jendelanya.Namun karena gadis itu memiliki janji pukul delapan pagi, maka dia kini sedang bersiap-siap.Pakaiannya sudah rapih, semi formal. Celana jeans kulot panjang dengan blouse bermotif. Sejujurnya Mita bingung, harus dengan berpakaian seperti apa untuk menemui kedua orang tua bosnya.Sebab mau berpakaian formal tapi nggak lagi bekerja. Mau berpakaian nggak formal tapi ini akan menemui orang tua dari bosnya.Alhasil Mita memilih gaya semi formal untuk cari aman saja.Dan setelah berpakaian rapih, gadis bermata sipit itu segera duduk di meja riasnya. Dia akan merias dirinya sesimple mungkin tapi nggak terlalu pucat."Mita ..." suara Ibu memanggil dari luar kamar, kemudian
Rumah orang tua Vano terletak di daerah Tangerang. Butuh waktu perjalanan sekitar 1 jam untuk sampai. Beruntung jalanan lenggang sehingga Vano bisa mempercepat laju mobil. Namun sesuatu yang nggak disukai Mita adalah sama-sama diam.Selama perjalanan mereka sama-sama diam. Hanya mengeluarkan kata yang penting-penting saja, setelahnya kembali diam membisu dan menjadi canggung.Sebenarnya tangan Mita gatal ingin menyetel radio agar suasana nggak sunyi-sunyi amat. Tetapi orang disampingnya mengeluarkan aura dingin bagai kutub utara. Berbeda sekali dengan beberapa puluh menit yang lalu, dimana Vano bisa ramah dan auranya menyenangkan.Tuh kan.Vano memang selalu seperti itu jika bersama Mita. Entah dingin adalah sikap asli bosnya itu atau sebenarnya ramah merupakan sikap aslinya.Kalau memang sikap asli Vano ramah, Mita berasa dapat getahnya. Hal-hal jelek dia dapatkan sedangkan orang lain bisa mendapati Vano yang ramah, manis dan tampan.Kan nggak adil.
"Bangun! Kamu itu tukang tidur ya!"Guncangan kencang di bahu Mita membuat gadis itu semakin tersadar. Dia membuka kelopak matanya dengan terpaksa. Matanya memerah sehabis bangun tidur. Nggak menyangka bahwa dia tertidur dalam perjalanan."Sudah sampai pak?" tanya gadis itu sedikit serak. Dia menegakkan duduknya, menoleh pada Vano yang sedang membuka seatbealt nya."Kalau tidur itu mingkem, ngorok lagi," kata Vano mengabaikan pertanyaan asistennya.Hah?Mita mencerna dengan lelet. Otaknya belum sadar sepenuhnya. Ngorok?Duh, malu."Saya nggak ngorok ya pak.""Kamu tidur mana tau, saya yang dengar.""Bukan ngorok, itu tuh cuman helaan nafas tapi sedikit bunyi, bapak sok tau banget," balas Mita kesal.Padahal dirinya yang nggak tau apa-apa. Laki-laki itu hanya menahan tawanya. Kebodohan Mita memang terkadang lucu. Ingin tertawa tapi gengsi.Maka daripada tertular dengan kebodohan asistennya, Vano segera keluar dari mobil begitu sa
Suara dentingan antara sendok dan piring beradu dengan nyaring, seiring obrolan yang kian seru di ruang makan pada pukul sepuluh pagi. Pak Iskandar dan Tante Gina begitu semangat membuka obrolan, memancing keterdiaman Vano serta Mita untuk ikut andil dalam obrolan.Biasanya yang Mita tau. Cara makan orang kaya sedikit berbeda dengan kalangan biasa. Ada attitude atau bahkan sampai mempraktekan table manner yang ribet dan kaku.Atau misalkan simple nya nggak mengobrol ketika sedang acara makan.Namun semua opini gadis itu mengenai orang kaya seakan terhempas entah kemana ketika berbaur dengan keluarga Vano.Kehangatan sederhana yang sama melingkupi Mita selayaknya di rumah sendiri. Bahkan Vano yang biasa dingin bin nyebelin seketika menjadi laki-laki hangat dan ramah.Dua kali dirinya mendapati Vano yang beraura berbeda dan lebih menyenangkan dari biasanya. Yaitu ketika bersama Hansel dan Bapaknya tadi pagi, serta saat ini ketika bosnya bersama dengan kedua or
"Nggak kerasa ya, padahal kalian sampai sore disini, rasanya cepat sakali," ucap Tante Gina begitu mengantar anak serta asisten anaknya keluar rumah. Pak Iskandar pun ikut mengantar, namun beliau seperti belum mengikhlaskan bahwa akan berpisah dengan Mita. Asisten anaknya itu sudah ia anggap sebagai anak sendiri.Maklum, sebab Pak Iskandar dan Tante Gina hanya memiliki satu anak yaitu Vano. Dulu Pak Iskandar berharap betul memiliki seorang anak lagi yang berjenis kelamin perempuan. Namun Tuhan lebih mempercayai mereka dengan satu keturunan saja.Dan hari ini, ia bertemu dengan Mita. Sesosok anak yang diharap-harapkannya sejak dulu."Saya senang Tante, bisa main kesini, kenal sama Tante dan Om yang menyenangkan," ucap Mita tersenyum tulus. Dia menatap Pak Iskandar haru. Rasanya seperti menemukan sosok Bapak yang lebih cerewet dan lebih suka bercanda."Kamu yang lebih menyenangkan Mita, bikin suasana rumah kami jadi ramai, terimakasih ya menyempatkan main kesini, boleh kok