Diam, Mita mencoba menikmati semilir angin malam yang berhembus menerpa wajahnya. Dia memakai sweter tebal sebab cuaca di Bandung memang sedang dingin, dan dia juga memakai celana training panjang hingga mata kaki. Tampilannya santai dan sedikit berbeda dengan rambut sepunggungnya yang tergerai. Karena biasanya Mita selalu mencepol ekor kuda rambutnya. Memakai riasan serta berpakaian formal. Bagi Vano yang pertama kali melihat asistennya dengan tampilan santai nggak seperti biasa itu, sempat tertegun sejenak. Sebab gadis bermata sipit itu makin terlihat polos dan semakin baby face.
"Mau makan apa pak?" tanya Mita memecah keheningan diantara mereka bedua. "Kalau disini adanya makanan-makanan pinggir jalan jauh dari kata steril seperti makanan yang disediakan di hotel," ucapnya sekali lagi sembari memberitahu Vano keberadaan tempat makan pinggir jalan yang berderet-deret dan ramai akan pengunjung.Dia nggak habis pikir saja saat bosnya melapor padanya mengatakan lapar dan nggakDua hari telah berlalu, kegiatan kerja yang mana sebagai tujuan utama sudah selesai dilaksanakan. Mita lega akhirnya dia bisa pulang juga. Gadis itu sudah selesai packing barang-barangnya serta packing barang-barang milik bosnya. Mereka akan beranjak pulang sesuai dengan jam tiket kereta pada pukul sepuluh malam.Lalu karena ini masih pagi baru akan menjelang siang, yaitu tepatnya baru pukul sembilan. Gadis itu hanya menikmati sisa waktunya dengan duduk-duduk di jendela kaca tebal menatap gedung serta jalanan dengan hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang. Mita menyenderkan kepalanya disana, tiba-tiba melamun sedangkan suara acara televisi memenuhi kamar yang sudah rapih dan bersih.Sebenarnya dia ingin membelikan oleh-oleh untuk keluarganya. Ya nggak banyak tapi seenggaknya sebagai tanda buah tangan karena Mita pergi ke luar kota.Tapi gadis itu nggak tau tempat oleh-oleh yang berada dekat dari hotel.Maka berbekal dari teknologi masa kini yang mumpuni. Mita p
"Bapak nggak beli apa-apa?" tanya Mita heran.Susah payah dia membawa barang-barang ditangannya. Sebab dia sehabis membeli beberapa makanan khas Bandung untuk dibawa pulang. Yaitu ada bakso goreng renyah, mochi, bolu serta kue-kue kering lainnya. Pasti Hansel akan senang dibawakan banyak makanan seperti ini."Nggak, buat apa," sahut laki-laki itu menjawab pertanyaan Mita.Ya, buat oleh-oleh lah, masa buat apa. Tapi diingat kembali, Vano kan kaya raya. Mungkin sudah biasa berpergian ke luar kota. Apalagi ini hanya Bandung, kota yang dekat dengan Jakarta. Pasti Vano sudah biasa pulang pergi Jakarta Bandung urusan bisnis. Jadi nggak terlalu excited seperti Mita."Kamu beli makanan sebanyak itu buat siapa?" tanya balik Vano melirik pada plastik tentengan asistennya. Dia terdengar ramah ketika mengucapkan kalimat itu. Kan Mita jadi enak dengarnya."Buat keluarga saya pak, terutama Hansel, adek saya itu suka makan."Vano mengangguk merespon jawaban Mita. Raut
Prediksi tentang Pak Vano :1. Perfeksionis2. Disiplin3. Bermulut pedas4. Tempramental5. Bisa ramah tapi dingin6. Tidak bisa melakukan hal-hal kecil7. Lepas tanggung jawab pada masalah sendiri8. Cerdas9. Baik dan perhatian kepada orang-orang dekat10. Serius dan kaku11. Tapi menyayangi HanselMita membaca ulang tulisannya sendiri di sebuah buku catatan yang dia gunakan untuk bekerja. Di nomor terakhir dia kembali membaca ulang sekali lagi.Menyayangi Hansel, sebuah fakta yang telah Mita dapatkan tiga minggu yang lalu. Bahkan semenjak itu, Vano dengan terang-terangan menitipkan makanan ataupun apapun untuk diberikan kepada Hansel.Awal-awalnya Mita menolak karena nggak enak. Menyuruh Hansel juga untuk menolak pemberian bosnya. Tetapi Vano memaksa dan berjanji nggak akan sering memberikan sesuatu pada Hansel. Minimal seminggu satu kali laki-laki itu menitipkan entah makanan atau kaset ps baru kesukaan Hanse
Restoran lokal adalah tempat yang dipilih Billy untuk mengajak Vano makan siang. Dia sudah hapal betul mengenai lidah Vano yang lokal abis. Wajah boleh tampan bak artis papan atas, uang boleh banyak hingga bermiliar-miliar, tapi urusan selera makan si tuan muda tetap menyukai makanan nusantara alih-alih western atau ke Jepang-Jepangan.Dan kini mereka berdua berada di restoran langganan bernama, duduk di sebuah kursi yang masih kosong dan sempat menyedot perhatian beberapa pengunjung ketika baru saja masuk.Dua cowok tampan, maskulin, berpakaian rapih, tinggi dan macho, perempuan mana coba yang nggak mau menoleh hanya untuk memandang sejenak ciptaan indah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Tentu mereka nggak ingin melewatkan, hitung-hitung cuci mata kan?"Dari tadi lo kusut amat Van, kayak belum disetrika tuh muka," ucap Vano menuding ekspresi wajah sahabatnya itu dengan tatapan yang mencibir.Tak lama dari ucapan Billy, seorang pelayan datang membawa hidangan yang mere
~ Flashback ~ Malam minggu yang cerah, di luar angin sepoi menyertai, membuat hawa sejuk tercipta di ibu kota. Namun walau tampaknya anak-anak muda Jakarta sedang menikmati momen sakral seminggu sekali ini dengan berkumpul bersama teman-teman, bersenang-senang, atau menikmati momen bersama pasangan. Tetapi seorang anak muda kaya pewaris tahta bisnis keluarga yaitu Vano hanya duduk-duduk santai di balkon kamarnya. Suasana sunyi lebih dia senangi ketimbang ramai dengan orang-orang. Sedari dulu bahkan dia lebih menyukai sendiri. Namun ketika dia sedang sibuk dengan membalas email pribadi dari rekan bisnis atau teman-temannya di luar negeri, satu notifikasi muncul dengan nama Billy, yaitu sahabat sekaligus sekretarisnya. [Billy : gue udah dapat calon asisten yang cocok, besok lo temuin dia] Lalu secepat mungkin Vano memberikan balasan di kolom yang tersedia. Dia memang sedang membutuhkan asisten pribadi. Rasanya kepalanya selalu berdenyut
~ Flashback ~ "Van, seperti biasa, minggu di tengah bulan ada seminar, kali ini di universitas Trisakti dengan tema, millenial sukses di usia muda, lo bisa catat poin-poinnya nanti gue yang akan buat." Seorang laki-laki maskulin dengan rambut klimisnya berdiri menjulang di depan meja bosnya. Dia berpakaian setelan kemeja dan celana bahan diatas lutut dengan sepatu pantofel kekinian. Sedangkan sebelah tangannya membawa tablet yang tadi dia gunakan untuk menjelaskan agenda kerja bosnya. Lalu di depannya, sosok bos muda tampan itu hanya fokus dengan berkas di mejanya. Dia mengacuhkan Billy namun telinganya sudah mendengar. Dia pun hanya bergumam tanda sudah mengerti dengan penjelasan sekretarisnya itu. "Nanti gue kirim," katanya untuk memperjelas gumamannya. Billy pun mengagguk saja. Dia kemudian undur diri menuju tempatnya kembali untuk mengerjakan tugas lain yang belum terselesaikan. *** Seminar ke kampus-kampus adalah
Mita nggak tau apakah dia harus merasa senang atau malah merasa nggak senang ketika mendapati keberadaan Tante Gina dan Pak Iskandar di ruang tamu rumah Vano. Hari sore mulai gelap, tadinya dia ingin izin dengan Bik Muti untuk langsung pulang seperti biasa, namun ketika dia masuk dan mendapati dua orang yang sudah lama nggak dia lihat ada di ruang tamu membuatnya urung dan sungkan untuk pulang langsung. Akhirnya dia pun menampilkan senyum ramahnya, gurat wajah lelah Mita pudarkan dengan senyuman demi menyapa kedua orang tua bosnya. "Selamat sore om dan tante, saya kira nggak ada orang tadi, asal nyelonong seperti biasa saja malah," katanya merasa bersalah sembari berjalan mendekat ke arah tuan besar pemilik Miyora itu. Tangannya dia ulurkan untuk menyalimi Tante Gina dan Pak Iskandar bergantian. Sedangkan Vano baru saja masuk dan sedikit kaget melihat ada orang tuanya di dalam. "Kamu selalu pulang dulu ke sini Mit?" tanya laki-laki paruh baya itu yang berpena
"Jadi kamu mau-mau aja Mit, disuruh Vano siapin pakaian? dia nggak aneh-aneh kan? nggak modus?" tanya Pak Iskandar yang duduk di sebelah anaknya. Sedangkan Mita duduk di sebelah Tante Gina serta di depan Vano. Tuan muda itu sendiri, sedari tadi ekspresinya sangat nggak mengenakkan untuk dilihat. Suram bahkan nggak ada senyum-senyumnya. Dia juga nggak berminat menimpali obrolan kedua orang tuanya bersama dengan Mita. Gadis itupun sadar, sejak siang Vano banyak diam. Dia nggak banyak mengomentari pekerjaan Mita. Namun Mita sendiri jadi aneh. Sebab nyinyiran Vano sudah seperti makanannya sehari-hari. Melihat Vano banyak diam malah membuat Mita ngeri nggak berani mendekat. Kan, jadi serba salah. Vano nyinyir salah. Vano diam juga salah. Sebenarnya Mita maunya apa? Kini, di ruang makan mereka berempat sedang makan malam. Bukan makan malam sih, lebih tepatnya makan sore karena masih pukul 18.30 WIB. Dan di luar sedang hujan lebat. Beruntung Mita nggak jadi