Share

Bab 2. Kesepakatan Tiga Bulan

Deg! Detak jantung Astri seketika bergemuruh. Dia harus kembali berhadapan dengan papanya. Senyum dan wajah ceria Astri hari itu benar-benar redup. Titi yang ada di sebelah Astri, memandang putrinya, menatap dengan wajah serius.

"Darma pria yang baik dan punya masa depan bagus. Dia pantas dipertimbangkan menjadi suami kamu.” Kalimat itu dengan lancar dan jelas meluncur dari bibir Andika.

Darma dan ayahnya sudah pulang. Acara makan bersama berjalan lancar. Tirtaraka salah satu relasi Andika dalam bisnis. Dia pria berkarisma yang terbuka dan bersikap cukup menyenangkan. Darma, seorang pengacara muda yang sedang giat menaikkan karirnya. Dia bukan tidak memikirkan soal percintaan, tetapi dia butuh didesak sedikit saja, menurut ayahnya. Itulah kenapa Tirtaraka tidak keberatan mengajak Darma datang ke rumah Andika.

“Pa, aku bisa mencari sendiri pendamping hidup buat diriku. Papa tidak perlu lakukan ini. Darma bukan tipeku,” kata Astri tegas menolak Darma yang seolah akan dijodohkan dengannya.

“Sampai kapan? Kamu sudah dua puluh sembilan tahun, Astrina Talia. Papa terus menunggu kamu memberi kabar kalau kamu sudah punya kekasih dan siap berumah tangga." Tatapan tegas Andika membuat hati Astri menciut.

Lagi dan lagi soal pasangan Astri. Ini kali yang kesekian Andika bicara dan makin kuat mendesak Astri segera mendapat kekasih. Apakah Astri harus mengiyakan rencana ayahnya, agar dia menjalin hubungan dengan Darma?

Astri memandang sang ayah dengan lesu. Jujur, Astri menyesal dia benar-benar pulang hari itu, sampai bertukar jadwal, mengatur ulang kegiatan, hanya untuk mendapati kenyataan dia dikenalkan dengan Darma!

"Masa sampai sudah mau kepala tiga, satu kali pun Papa tidak pernah tahu kamu suka dengan cowok, dekat cowok, apalagi sampai gembira cerita kamu punya pacar." Andika lurus-lurus memandang Astri.

Astri menelan ludahnya. Itu kenyataannya! Astri belum pernah dekat dengan cowok apalagi berpacaran. Sisi itu yang Astri sama sekali tidak mau sentuh dari lembaran hari-harinya.

"Kamu wanita normal, kan?" tanya Andika. Dia mencondongkan wajahnya ke depan, memastikan setiap kata yang dia lontarkan, Astri mendengarnya.

"Mas!?"

"Papa?"

Titi dan Astri menyahut bareng.

"Mas ngomong jangan sembarangan, dong!" Titi tidak terima suaminya menduga putri mereka punya orientasi hubungan yang tidak lazim.

"Apa salah aku punya pikiran seperti itu?" Tatapan tajam Andika beralih pada Titi.

Wajah Astri seketika cemberut. Ingin sekali dia bangun dan keluar dari rumah. Untuk apa dia pulang kalau kenyataan ini yang dia dapati? Ayahnya mendesak Astri agar segera mencari pasangan dan yang mengerikan, Andika berpikiran kalau Astri penyuka sesama jenis? Seburuk itukah Astri di hadapan ayahnya sendiri?

"Kakakmu, Gilang, sudah menikah. Anaknya yang kedua tidak lama lagi akan lahir. Waktu di sekolah, belum masuk SMA pun, Gilang sudah bangga menceritakan cewek yang dia taksir. Beberapa kali dia kenalkan teman wanita ke rumah.

"Adikmu, Damira, sudah empat atau lima kali berganti kekasih. Dan aku hampir yakin, kali ini dia serius dengan Davin. Kalau sampai dia lebih dulu menikah dari kamu, gimana? Papa tidak mau itu terjadi, Astrina!"

Ini ternyata yang menjadi kekuatiran Andika. Karena anak bungsu keluarga itu sudah mulai serius dengan kekasihnya. Akan sangat tidak pantas seandainya Damira menikah sementara Astri belum menikah.

Astri menelan ludahnya. Dalam hal ini papanya tidak salah. Andika punya alasan tepat meminta Astri segera mencari pasangan. Tetapi Astri tidak sanggup dan tidak siap. Entah sampai kapan baru Astri bisa memulai hubungan dengan makhluk yang disebut laki-laki.

Astri memejamkan mata. Bayangan ngeri masa remajanya yang tercabik karena pria, muncul dengan cepat dalam pikirannya. Hati Astri seketika merasakan takut dan marah menjadi satu. Wajah pria berkulit sedikit gelap menghantui Astri. Astri menunduk dan menarik napas dalam, lalu segera membuka matanya lagi.

"Astri, kamu ada apa sampai tidak mau memikirkan jodoh? Kamu cantik, cerdas, dan banyak talenta. Karir kamu bagus. Kurang apa? Kamu tidak percaya diri?" tanya Andika dengan kesal.

"Bukan begitu, Pa. Aku belum siap. Itu saja. Kalau aku tidak yakin, bagaimana bisa aku menjalani hubungan, apalagi menikah?" Astri mencoba menjelaskan, meski bukan itu alasan sebenarnya.

"Kalau begitu sudah tepat Papa membawa Darma padamu," ucap Andika tegas.

"Pa, please, aku ga mau kayak gini." Astri memandang papanya. Dia tidak akan mau jika pernikahannya karena sebuah perjodohan.

"Karena kamu tidak mampu mencari orang yang bisa menjadi pendampingmu, Papa punya tugas dan tanggung jawab itu buat kamu, Astri." Andika memandang Astri lekat-lekat.

"Nggak, Pa. Jangan seperti ini." Astri menegakkan punggungnya. Lalu dia menoleh ke arah mamanya. "Ma, Mama tahu rencana ini. Dan Mama setuju?"

Titi tidak tega sebenarnya melihat Andika berlaku keras pada putri mereka. Tetapi Titi tidak bisa melarang Andika berbuat seperti itu. Astri sendiri yang memaksa Andika harus bertindak.

Titi mengusap-usap punggung Astri seraya mengangguk.

"Aku ga mau! Yang mau nikah aku. Kenapa Papa dan Mama yang repot cari orang?" tukas Astri. Belum hilang rasa terkejut di dadanya.

"Itu tergantung padamu. Kalau kamu bisa menemukan calon suami, untuk apa harus aku yang turun tangan?!" sahut Andika.

"Pa, aku pasti ketemu jodohku. Belum waktunya saja," ujar Astri sambil cemberut.

"Waktumu paling lama enam bulan! Satu semester ini. Jadi setidaknya dua atau tiga bulan kamu harus bisa membawa pria itu berkenalan dengan papa dan mama kamu." Andika berkata tegas. Tidak sedikitpun mengendurkan sarafnya.

"Tapi, Pa ..."

"Sudah terlalu sering kamu beralasan. Darma sudah melihat dan bertemu kamu, dan dari perbincangan kita tadi, dia siap kapan saja untuk menikah denganmu," lanjut Andika.

"Papa ..." Astri makin cemberut. Degupan kencang melanda dada Astri. Tidak dia kira papa dan mamanya bisa punya pikiran mencarikan dia jodoh. Dan yang lebih mengesalkan, sekalipun bersikap dingin dan sok jaim, Darma memang tidak menolak Astri.

"Semua sudah jelas kurasa. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan." Andika menutup pembicaraan.

Kalimat itu tanda semua selesai. Astri tidak bisa lagi melakukan negosiasi kepada ayahnya. Astri ingin segera pergi ke kamar dan menghempaskan tubuh di kasur, lalu tidur. Dengan begitu dia akan lupa apa yang papanya minta.

“Ingat itu, tiga bulan lagi, bawa seorang pria kepadaku. Kalau tidak, Darma akan aku minta melamar kamu,” tukas Andika.

Andika meninggalkan ruangan. Astri hanya bisa menggeleng kesal, lalu beranjak masuk ke kamarnya. Titi pun hanya bisa memandangi suami dan putrinya yang membiarkan dia sendirian di ruang makan.

"Papa ga jelas banget! Ngapain pakai ultimatum aku cari jodoh!?" Astri berteriak, tapi di bawah bantal. Astri kesal sekali dengan keputusan orang tuanya.

Astri bangun melempar bantal sembarangan, lalu duduk bersila. Hatinya benar-benar galau.

"Di mana aku bisa menemukan pria yang baik, lembut, dan bertanggung jawab? Yang menghargai aku dan menerima aku apa adanya? Dan cuma dalam waktu tiga bulan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status