Share

Bab 3. Keributan

Astri berdiri di depan gerbang sekolah. Hampir jam setengah sembilan pagi. Hari cerah dengan matahari terang bersinar. Suasana terasa menyenangkan, apalagi terdengar suara riuh kelas yang sedang berolahraga di lapangan basket. Dari salah satu kelas terdengar suara tawa gembira.

Sayangnya, hari yang manis itu tidak membuat senyum dan wajah Astri ceria. Ultimatum papanya membuat dia masih galau. Sebelum balik ke sekolah, Andika kembali mengingatkan soal pria pendamping Astri. Astri mampu segera menemukannya atau dipanggil pulang untuk berlanjut hubungan dengan Darma.

"Gara-gara Papa ... hariku benar-benar redup di tengah panas kayak gini." Astri bergumam resah.

Kembali Astri melangkah menuju ke asrama. Dia menyimpan barang-barangnya, berganti pakaian, lalu pergi ke kantor. Saat melintas di depan ruang tim pembimbing siswa, Astri mendengar suara seorang murid bicara dengan keras bernada marah.

"Nggak kayak gitu, Bu! Wenny bohong!"

"Aku ga bohong! Kamu saja yang lebay, Len. Cuma kesenggol sedikit tanganku, udah jatuh sendiri!" Teriakan balasan terdengar lebih keras.

"Hei, kalau berani berbuat berani bertanggung jawab! Pengecut!" Suara yang pertama kembali terdengar.

"Siapa yang pengecut!? Kamu emang suka ngadu!" Balasan kembali terlontar keras.

Astri mendekat ke pintu yang terbuka. Di dalam tampak dua orang murid, Wenny dan Leni, bersitegang. Mereka berhadapan seperti hendak berkelahi. Sementara guru BK duduk di belakang meja memandang keduanya dengan tatapan bingung.

"Sudah! Kalian berhenti!" ujar guru BK itu. Tangannya memukul meja untuk memaksa keduanya berhenti saling berteriak.

Wenny dan Leni pun berhenti, saling menatap dengan wajah marah.

"Ibu Astri! Mari masuk! Kurasa aku perlu saksi untuk mengurus dua gadis ini!" Guru itu tampak lega saat melihat Astri di pintu ruangan.

Astri melangkah masuk, berdiri di antara kedua murid itu.

"Ini ada apa, sih? Dari luar kedengaran keras kalian ribut," kata Astri.

"Bu Astri, kalau tanya ke mereka lagi, ga akan ada habisnya. Satu bilang begini, satu bilang begitu. Ini bisa menghabiskan waktu ga ada guna," ujar guru BK yang usianya kira-kira beberapa tahun di atas Astri.

"Hmm, sepertinya kalian pingin diperlakukan lebih tegas, ya? Setuju dengan saya, Bu Nirma?" Astri melipat kedua tangan di dada sambil memperhatikan Leni dan Wenny bergantian.

"Kurasa iya. Aku sih, dengan senang hati menjatuhkan disiplin pada mereka," tutur Nirma.

"Bu, jangan! Aku ga mau sampai kakakku tahu!" Wenny langsung menyahut.

Kedua tangannya menyatu seperti berdoa, memohon dengan memelas. Disiplin berarti akan ada kabar ke rumah tentang kelakuan buruk murid di sekolah.

"Tidak bisa, Wenny. Aturan sekolah harus ditegakkan. Kamu paham itu, bukan?" Nirma bicara makin tegas.

"Bu, please, Bu, jangan sampai kakakku tahu soal ini," sahut Wenny dengan nada mulai ketakutan.

"Kalau begitu, duduklah. Kalian berdua. Jujur katakan apa yang terjadi, tanpa membela diri, tanpa menyalahkan yang lain. Jelas?" Astri bicara tegas juga pada keduanya.

Leni dan Wenny tidak mengelak. Mereka mengambil tempat, duduk bersebelahan di depan meja Nirma. Astri mengambil kursi dan duduk di samping Nirma.

Maka meluncur cerita bagaimana Leni menemukan ponselnya jatuh dan pecah. Leni mengatakan dia melihat Wenny sengaja menjatuhkannya. Menurut Leni, Wenny memang tidak suka dengannya dan selalu mencari cara membuat hidup Leni sial. Astri ingin tertawa mendengar itu. Sepertinya terlalu berlebihan kalau Leni mengatakan Wenny selalu ingin membuat dia sial.

"Ga gitu, Bu!" Wenny menyahut tidak terima dengan yang Leni katakan.

"Wenny, tunggu sampai Leni selesai," sahut Nirma.

Wenny cemberut. Dia mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Kedua tangan dia lipat, sedang wajahnya manyun, dan matanya melihat ke arah luar pintu.

Leni meneruskan penuturannya apa yang sebenarnya terjadi menurut versi Leni sendiri. Wenny sesekali menggeleng kesal dengan apa yang Leni ucapkan.

"Kayak gitu, Bu. Pokoknya aku ga mau tahu, Wenny harus tanggung jawab!" ujar Leni dengan wajah geram.

"Leni, sekarang biarkan Wenny yang bicara, oke?" Nirma berkata tegas.

Wenny menoleh pada Nirma. Tapi dia enggan membuka mulutnya.

"Buat apa aku cerita? Karena aku pasti ga dipercaya," tukas Wenny. Dia bicara santai, tidak dengan nada tinggi seperti sebelumnya, tapi jelas masih tidak terima kalau dia disalahkan.

"Wenny, kamu tahu mengapa kita harus bicara bersama. Kamu juga paham mengapa Leni dan kamu harus mengatakan apa yang terjadi." Astri berusaha tetap tenang, tidak terpancing situasi yang panas di ruangan itu.

Wenny melirik Astri. "Biar jelas persoalannya. Lalu bisa tahu kebenarannya, dan akan diambil keputusan yang adil."

"Tepat sekali." Nirma menyahut. "Karena itu, kamu harus jujur, mengatakan apa adanya."

Astri dan Irma menatap pada Wenny. Yang kesekian kali, Wenny masuk ruang BK, bermasalah dengan temannya. Gadis cantik dengan rambut coklat kemerahan tebal seleher itu sudah mendapat julukan troublemaker. Ternyata sudah mau naik kelas 11 juga, dia belum berubah.

"Oke, aku akan katakan saja." Suara Wenny sedikit naik. "Aku memang menyenggol ponsel Leni. Biar saja jatuh dan hancur, sama kayak dia hancurin hati Shesa, rebut Kelvin, ga mikir perasaan teman."

Astri dan Nirma saling memandang. Mereka ingin sekali tertawa mendengar itu. Tapi keduanya menahan diri, menarik napas dalam. Ternyata pasalnya adalah soal teman laki-laki.

"Siapa yang rebut? Kelvin yang deketin aku! Kalau Shesa juga suka Kelvin, bukan urusanku." Leni sewot.

"Sudah, cukup!" Nirma menengahi. "Apapun alasannya, Wenny sudah mengakui, dia sengaja melakukannya. Dan itu salah."

"Bu, aku cuma ..."

"Tidak ada cuma. Kalau memang Leni bertindak sesuatu yang tidak benar, bukan dengan cara itu kamu mau menunjukkan kalau Leni salah. Kamu mengerti maksud Ibu?" ujar Nirma.

"Iya, Bu," kata Wenny. Hidungnya yang tinggi memerah. Makin tampak jika wajah cantik Wenny bukan murni Indonesia. Wenny paham yang Nirma katakan, tapi tidak sepakat. Wenny jelas masih tampak kesal.

"Kalau begitu, kamu tahu apa tanggung jawab yang harus kamu lakukan." Nirma melanjutkan.

"Ya, aku akan ganti ponsel Leni. Berapa, sih? Paling tiga juta doang," tandas Wenny.

"Enak saja. Kamu emang kudet. Itu keluaran terbaru, hampir delapan juta, tahu!" tukas Leni.

"Apa?!" Wenny kaget dan melotot lebar. "Ga mungkin!"

"Perlu aku tunjukkan notanya, Sis!?" sahut Leni sinis.

"Sudah. Kalian bisa tidak belajar bersikap dewasa?" Astri kesal juga melihat keduanya terus saja ribut.

"Iya, Bu." Leni dan Wenny menyahut bareng.

Nasihat meluncur dari bibir Astri untuk Wenny dan Leni. Mereka harus bisa saling memaafkan. Menerima kesalahan dan bersedia memperbaiki diri. Keduanya tidak ada yang bisa dibenarkan.

Selesai itu Leni diizinkan kembali ke kelas. Sedangkan Wenny, sekalipun dengan berat hati, dia akhirnya menerima konsekuensi dari yang dia lakukan. Nirma menghubungi wali Wenny untuk datang ke sekolah.

"Bu, aku ga mau bikin Kak Juan marah. Kenapa harus dia datang, sih?" Wenny bicara lirih di dekat Astri, setengah berbisik.

"Orang tua kamu harus tahu, Wenny. Karena ... ini bukan kali pertama juga ..."

"Aku ga ada orang tua, Bu. Kak Juan itu sibuk. Dia jadi ikut ribet, aduh ..." Wenny terlihat kesal, tetapi bukan marah. Lebih terkesan cemas.

"Bu Astri, kalau nanti wali Wenny datang, aku masih perlu Bu Astri menjadi saksi." Nirma melihat pada Astri dengan serius.

"Ya, tidak masalah, Bu Nirma." Astri mengangguk.

Siang itu, kira-kira jam dua, yang ditunggu datang. Pria dengan tubuh tinggi tegap dan gagah, kulitnya putih bersih, berambut ikal kecoklatan, hidung bangir bagus, bibir tipis dan sensual, berdiri di depan ruang BK. Matanya memandang pada Astri yang duduk melihat ke arah pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status