Menikah dengan kuli panggul bisa hidup bahagia? Bagi Ayudisha, ini adalah suatu hal di luar nalar. Namun, dia tidak bisa mengelak saat Sigit datang melamarnya. Karena desakan ayah dan ibu tirinya, Ayudisha pun setuju. Hanya dengan cara inilah, dia terbebas dari julukan Perawan Tua. IG:@s.z.lestari
View More“Bangun! Dasar pemalas!”
Aku berusaha mengangkat badanku dari atas tempat tidur. Dengan kepala berat, aku mendongak menatap ibu yang berdiri berkacak pinggang di hadapanku.
“Ya, Bu?” aku menggenggam kepalaku yang berdenyut. Menangis semalaman membuat pagiku begitu berat.
“Pukul berapa ini?!” Ibu mengetuk lengan kirinya seolah dia menggunakan jam tangan di sana. “Bangun!” kini disertai tangannya yang melayang menampar lengan kananku kemudian mencubit punggung tangan kiriku. Sakit sekali.
“Bu, bukan mauku—”
“Enggak ada alasan!” Ibuku kembali bersuara mematahkan ucapanku yang tidak selesai. “Bangun kesiangan terus. Pantes aja jodohmu jauh!”
Aku mendesis pelan berusaha menahan sakit kepalaku. “Aku baru kali ini kesiangan, Bu.” Aku tidak pernah kesiangan sebelumnya. Karena kejadian kemarin, aku jadi terlambat bangun.
“Heh!” Ibu melotot padaku yang berusaha bangkit dari atas tempat tidur. “Bantah kamu, ya?! Berani bantah Ibu?”
Aku duduk di tepi tempat tidur kemudian menunduk. “Enggak bu.”
Ibu kembali memakiku. Aku hanya bisa diam menunduk sekarang. Aku tidak bisa bercerita mengenai kepedihan hati yang kuterima kemarin pada Ibu atau Ayah. Tidak ada tempatku bercerita mengenai keluh kesahku sendiri. Aku bahkan tidak punya teman karib untuk dijadikan pelabuhan resah hatiku.
“Contoh Utami itu. Pagi-pagi sudah bangun berangkat kerja. Punya calon suami yang kerjanya jelas.” Ibu kembali membandingkan aku dengan Utami. Adik tiriku. “Lah kamu apa? bangun kesiangan! Mana ada pria yang mau sama kamu!”
Aku memejamkan mata mendengar itu. Aku menahan sedihku jika mengingat kisah cintaku sendiri.
“Sana mandi! Masak!” Ibu menendang kakiku lagi. Aku meringis pelan merasakan sakitnya tendangan beliau yang tidak main-main. “Jangan jadi pemalas yang kerjanya tidur doang! Setelah masak, ke toko.”
“Ya, Bu.” Kujawab ucapannya dengan singkat dan serak.
“Gara-gara kamu kesiangan, Utami jadi enggak sarapan dan Ibu terlambat ke toko!” Ibu menggerutuiku. Aku selalu disalahkan olehnya.
Brak!
Setelahnya, pintu kamarku ditutup dengan sangat keras hingga pigura foto yang tergantung di sampingnya jatuh. Tidak ada kaca yang berhamburan dari pigura itu sebab kacanya sudah pecah akibat perlakuan Ibuku yang selalu seperti itu.
Aku berdiri dari dudukku. Langkahku goyah. Makian Ibu seperti terngiang terus di telinga. Kuambil pigura tersebut dan kutatap sebentar fotonya lalu menyimpannya di laci meja.
Aku menguncir rambutku menjadi ekor kuda. Kutatap sebentar wajahku di cermin. Mataku bengkak. Aku meringis pelan. Buruk sekali wajahku pagi ini. Suara Ibu masih terdengar marah-marah yang membuatku menghela napas pelan. Aku mencoba terbiasa dengan sikapnya yang selalu seperti itu sejak dahulu hingga sekarang. Tidak ada kasih sayang yang dia berikan padaku.
“Ayu!” Kali ini suara Ayahku. “Kopi Ayah mana?!” suara Ayah tidak kalah kencang daripada Ibu barusan.
“Iya, Yah!” aku segera menyahut lalu terburu-buru keluar kamar menuju dapur. Aku tidak mau menjadi sasaran kemarahan Ayahku pula.
Ayah sudah duduk di kursinya. Alisnya berkerut melihatku lalu menggeleng pelan. “Perempuan kok bangun siang,” ucapnya. “Rejeki dipatuk ayam,” imbuhnya lagi kemudian berdecak.
“Maaf, Yah.” Aku menjawab pelan. “Kopinya pakai gula?” tanyaku mengeluarkan cangkir dari dalam lemari penyimpanan.
“Kayak biasanya. Kopi pahit.” Ayah berdecak. “Kamu itu bagaimana, sih? Otakmu itu benar-benar payah!”
Aku diam. Aku salah lagi. Aku bertanya seperti itu sebab Ayah terlalu sering berubah kemauan. Kemarin kubuatkan kopi pahit ternyata aku salah. Walau Ibu memakiku, Ayah tidak pernah menolongku. Malah Ayah seolah setuju dengan pola pengasuhan Ibu padaku.
“Masak cepat! Ibumu enggak sempat buatkan Ayah sarapan. Dia pergi ke pesta pernikahan temannya.”
Aku hanya mengangguk pada ucapan Ayah. Seingatku, Ibu tidak penah memasak untuk Ayah. Jika pun memasak, hanya masak air saja.
***
“Aku malu banget!”
Ibu datang seraya melepaskan anting-anting besar yang ada di telinganya. Beliau memakai kebaya berwarna merah mencolok dengan sepatu warna senada. Hari sudah sore ketika aku selesai melipat pakaian. Pekerjaan rumah yang menumpuk, membuatku datang ke toko sembako di pasar sebentar lalu pulang lagi ke rumah.
“Kenapa, Bu?” Ayah bertanya dengan mata masih menatap layar televisi.
Aku memilih untuk melanjutkan merapikan pakaian. Paling Ibu merasa iri dengan pencapaian yang diraih orang. Ibu selalu seperti itu. Tidak pernah cukup.
“Anakmu ini!” Suara Ibu yang meninggi membuatku mendongak. Jari telunjuknya yang dicat warna merah muda menunjukku. Alisku berkerut. Aku salah apa lagi?
“Kenapa dia?” Ayah bertanya tanpa minat. Matanya masih menatap televisi yang menayangkan siaran berita lokal.
“Bikin malu Ibu aja!” Ibu berdecak. Matanya masih menatapku. “Kamu nikah sana!”
Ucapan itu membuatku meletakkan kembali pakaian yang kulipat. “Aku belum mau, Bu.”
Ibu menggeram. Dia melemparkan asal sepatunya lalu berkacak pinggang dengan mata masih menatapku garang. “Gara-gara kamu, Ibu jadi malu banget. Kamu tau, orang-orang manggil kamu apa?"
Aku diam. Aku tidak peduli sebenarnya dengan julukan orang untukku.
“Perawan tua!” Ibu duduk di samping Ayah yang masih diam menonton televisi. “Ayah denger, enggak?!”
Ayah mengangguk. “Mau gimana lagi, Bu? Enggak ada laki-laki yang mau sama Ayu.”
“Aku masih 27 tahun, Bu.” Kuberanikan diri untuk menjawab.
“Heh, 27 tahun itu udah telat nikah!” Ibu menudingku marah. “Umur ideal perempuan nikah itu 19 tahun dan paling tua umur 20 tahun. Di kota Tarrim, ada enggak perempuan umur 27 tahun belum nikah? Enggak ada! Kamu doang, Ayu!”
“Tapi aku belum mau nikah, Bu.” Ada ketakutan yang membuatku memilih untuk sendiri.
“Enggak bisa!” Ibu menggeleng kuat-kuat. “Kamu harus nikah!”
Ayah berdehem. Dia menoleh pada Ibu. “Tapi, sama siapa?” tanyanya.
Senyum Ibuku terbit. Aku mencurigainya. Karena kali ini, menurutku menyeramkan. Aku menebak, Ibu punya rencana untukku. Aku mendadak menggigil.
“Ada. Kuli panggul toko aku di pasar Tarrim.”
“Dan kamu, Ayudisha!” Ibu menunjukku dengan jarinya yang bercat kuku merah. Nada suaranya tinggi. “Kamu jangan pikir bisa terus-terusan belain dia dan seolah kamu yang paling benar di rumah ini!”Aku tidak menyangka, Ibu akan mengatakan itu padaku. Aku memang benar di rumah ini.“Aku cuma membela suamiku, Bu. Dia baru aja pulang dari pemeriksaan dan—”“Persis!” potong Ibu cepat. Mata itu masih melotot menatapku dan nada suaranya tidak bisa rendah sama sekali. “Baru pulang dari kantor polisi! Kamu enggak malu suaminya dicurigai sebagai penyebab kebakaran?! Nama baik keluarga hancur gara-gara kamu!”Aku mengepalkan tangan. Nafasku naik-turun. Aku hanya berdoa tidak terkena serangan panik saat seperti ini. jika itu terjadi, betapa kasihannya Sigit.“Saya enggak minta Ibu percaya,” kataku akhirnya setelah napasku teratur. “Tapi saya tahu siap
Sigit menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Banyak tanya. Kronologi, posisi, siapa yang terakhir matiin lampu semua ditanya. Aku jawab jujur,” jawabnya lalu memejamkan mata.“Dan?”“Belum ada kesimpulan,” balasnya mengangkat bahu. “Tapi katanya ada saksi lain yang melihat kabel dari kios sebelah meledak duluan.”Aku menghela napas dalam. Ucapannya itu seuatu angin segar bagiku. “Jadi kamu bersih?” tanyaku antusias.“Masih saksi,” ucapnya lalu membuka mata. “Tapi setidaknya mereka mulai buka kemungkinan lain.”Ibu Maharani muncul dari ruang belakang. “Udah pulang?” tanyanya dengan nada setengah sinis.“Iya, Bu.” Sigit lalu duduk tegak.“Selamat ya. Tapi saya belum percaya kamu benar-benar enggak bersalah,” katanya seraya
Mentari belum naik sepenuhnya saat aku membuka jendela kamar. Pikiranku masih tertinggal di malam kemarin. Di sisi ranjang, selimut Sigit belum kusentuh. Aku hanya tidur satu jam lalu terjaga hingga fajar. Sesekali aku menatap layar ponsel seolah bisa mempercepat waktu.“Apakah dia baik-baik aja?” bisikku seraya melirik ponselku yang tidak ada muncul notifikasi sama sekali.Hanya satu yang Sigit kirim tadi malam, memintaku beristirahat. Tapi bagaimana aku bisa tidur saat suamiku sedang diperiksa karena sesuatu yang tidak pernah dia rencanakan?Kupaksakan diriku turun dari tempat tidur. Aku tidak mau dikatakan anak durhaka oleh Ibu Maharani. Aku ke dapur.Aroma kopi dari termos yang tadi malam sempat kubuat sudah hilang. Aku diam sejenak lalu menuang sedikit ke gelas. Tanganku gemetar. Perutku kosong, tapi yang terasa hanya nyeri di ulu hati.“Pagi-pagi udah keluyuran, Ayu?” Suara Utami menyentakku dari ruang te
“Ya enggak usah sok nggak tahu.” Mata Ibu melotot. “Lelaki yang kerjaannya cuma ngangkut barang, enggak jelas asal-usulnya, tiba-tiba muncul dan jadi suamimu. Kamu pikir saya enggak punya pertimbangan?”"Ibu yang paksa dia nikah sama aku," jawabku nyaris berbisik. Tapi aku tahu mereka mendengar.Ibu tiriku ini aneh. Dia yang memaksaku menikah dengan Sigit yang dia bilang ‘setara’ denganku. Malah dia yang menyesal telah menikahkanku dengan Sigit. Aneh jalan pikirannya.“Mungkin kamu memang cocoknya sama orang kayak dia,” Utami menambahkan dengan nada menusuk. “Tapi jangan bawa-bawa kami semua kalau ternyata dia biang masalah. Kamu pikir harga nama baik gampang ditebus?”Aku menggigit bibir bawahku, menahan kata-kata. Tapi tatapanku tetap tidak bergeming. "Kalau kalian mau terus menyalahkan Sigit, silakan. Tapi aku tahu siapa dia. Dia enggak akan sengaja me
Genggaman tangannya pada tanganku mengencang. Aku tahu, Sigit sedang menahan amarahnya. Entah kenapa suamiku hari ini tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah.“Kami akan cari tempat lain,” kataku mulai angkat suara saat Sigit hanya diam. “Kami enggak niat numpang.”Utami menertawakan. “Pakai apa? Gaji kuli?” tanyanya meledek.“Gaji kuli lebih halal daripada uang hasil menekan orang lain,” balasku tajam.Maharani menatapku seperti baru pertama kali melihatku benar-benar bicara.Sigit meraih tanganku. “Ayo, Yu. Enggak usah dengerin.”Kami masuk kembali ke kamar tanpa pedulikan suara Ibu Maharani yang menggelegar memaki kami tanpa ampun.Sigit duduk di tepi ranjang, aku duduk di sampingnya lalu mengelus bahunya lembut. Aku mendadak malu pada Sigit mengenai keluargaku yang tidak
“Polisi? Datang ke sini?” tanya Ibu Maharani dan langsung mematikan kompor. Wajahnya menegang.Utami berhenti mengunyah tempe dan menoleh padaku seolah aku yang menyebabkan semuanya. Aku diam. Napasku tercekat. Aku mengekori keluargaku ke ruang tamu.Dua pria berseragam masuk ke ruang tamu. Salah satunya membawa map tebal."Maaf mengganggu, Bu Maharani. Kami dari kepolisian sektor Tarrim.” Salah satu polisi yang kubaca bernama Dennis berbicara. “Kami ingin menindaklanjuti laporan kebakaran Pasar Kopajung. Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan."Ibu Maharani mencoba tersenyum. "Tentu, silakan duduk."Sigit belum pulang. Rasanya tubuhku mendadak lemas memikirkan nasib suamiku nantinya."Kami mendapat informasi bahwa titik awal api berasal dari kios milik Ibu,” ucap pria yang membawa map. Kubaca namanya Rinto. “Apakah benar saat kejadian ada aktivitas listrik atau a
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments