“Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu! Paling lambat besok kamu sudah harus tiba di rumah. Kamu dengar, Astri!?” Suara berat dan keras terdengar dari ponsel Astri. Sang ayah memberikan perintah yang tidak mungkin dia bantah.
“Papa, minggu ini jadwalku sangat padat, aku tidak mungkin pulang. Aku usahakan minggu depan lagi baru aku pulang,” bujuk Astri. Dia sangat berharap nada memelas drinya akan meluluhkan hati Tuan Andika.“Kamu pikir ayahmu bisa kamu bodohi? Sesibuk apa kamu di sana? Kamu pasti bisa mengatur pulang barang satu hari, bahkan tidak perlu menginap kalau perlu. Tapi kamu harus pulang!” Suara lebih tegas terdengar dari pria berusia hampir enam puluh tahun itu.“Please, Papa, minggu depan aku atur waktuku.” Astri masih berusaha mengelak. Dia sudah bisa membayangkan sebenarnya apa yang ayahnya mau.“Anak itu wajib taat pada orang tuanya. Tidak peduli kamu sudah dewasa dan bisa menghidupi diri kamu sendiri, aku tetap ayah kamu. Atau kamu mau aku anggap anak yang tidak menghargai orang tua? Kamu merasa sudah mampu melakukan apapun dengan dua tanganmu jadi ayahmu tidak penting lagi?” Kalimat-kalimat tajam itu menusuk hingga ulu hati Astri rasanya.“Atau kamu mau pulang kalau Mama atau Papa terkapar di atas ranjang karena sakit?" lanjut Andika yang terdengar mengancam."Pa, ngapain sih, bicara kayak gitu? Iya, aku atur waktu aku pulang!" Akhirnya Astri mengalah.“Kamu dengar yang aku katakan, bukan? Paling lambat besok,” ujar Andika tidak mau mengendorkan ultimatumnya.“Baiklah. Aku akan pulang besok.” Astri tidak mungkin mendebat Andika lagi. Dia tahu hanya akan menambah ketegangan dengan sang ayah.“Oke, aku tunggu.” Datar Andika menyahut.Klik. Sambungan telpon selesai.Astri memandang lurus keluar jendela kamarnya. Taman sekolah tampak segar di pagi hari. Taman itu persis ada di seberang asrama putri sekolah tempat Astri bekerja. Astri senang memperhatikan bunga-bunga yang mulai bermekaran memberi keindahan, menghiasi hari."Iya, aku pulang, Bapak Andika Kamajaya. Ada yang penting apa coba, maksa-maksa aku pulang?" gerutu Astri.Sepanjang hari itu Astri tidak benar-benar menikmati semua aktivitasnya. Ultimatum sang ayah cukup mengganggunya. Astri terpaksa mengatur jadwal ulang agar dia bisa pulang tanpa meninggalkan beban pekerjaan yang akan menumpuk. Hingga esok harinya, dengan bus kota Astri menuju kota kelahirannya. Hatinya makin tidak tenang mengingat percakapan dengan ayahnya cukup tegang.Astri tiba saat sudah menjelang sore. Astri sengaja tidak akan datang pagi-pagi karena tidak mau terlalu lama di rumah. Datang sore, segera malam, lalu hari berganti, dia segera balik ke Surabaya, itu rencananya.Di depan rumah, Andika menunggu. Wajahnya yang lumayan tampan tampak tegas, penuh wibawa, dan terkesan sedikit galak menyambut Astri begitu wanita muda itu tiba di rumah. Astri menghampiri sang ayah, menjabat tangan ayahnya, dan mencium punggung tangan pria itu dengan rasa hormat.“Akhirnya kamu sampai juga. Aku pikir kamu akan menunda pulang dengan alasan lain lagi,” kata Andika dengan wajah masih tegang.“Papa kenapa berpakaian serapi ini?” Astri memperhatikan ayahnya. Tidak biasanya ayahnya berkostum formal jika di rumah.Andika mengenakan batik berwarna biru, putih, dan hitam seperti hendak menghadiri suatu undangan saja.“Masuklah, nanti kamu akan tahu,” jawab Andika sambil berjalan ke dalam rumah.Astri bingung dengan kata-kata ayahnya. Dia mengikuti sang ayah masuk dan terkejut melihat ruang tamu ditata sangat bagus. Ada bunga-bunga hidup ditata cantik di vas dan diletakkan di pojok ruangan kiri dan kanan.“Ada acara apa, Pa?” tanya Astri penasaran.“Bersiaplah, kita akan kedatangan tamu kira-kira satu jam lagi. Jadi kamu cepatlah, jangan sampai tamu datang kamu belum siap,” kata Andika dengan suara lebih tenang.“Oh? Baiklah,” ujar Astri masih bingung.Astri menuju ke kamarnya melewati ruang makan. Makin terkejut Astri melihat di sana disiapkan berbagai hidangan seperti akan ada jamuan istimewa. Ibunya tengah sibuk dengan pembantu rumah menyiapkan meja.“Mama! Ini ada acara apa? Kenapa rumah heboh sekali?” Dengan kepala penuh tanda tanya Astri menghampiri sang ibu, Titi, dan memeluknya dengan rasa rindu.“Aih, anak gadisku yang seperti lenyap ditelan bumi, akhirnya muncul juga ke permukaan,” jawab Titi dengan senyum lebar serta membalas pelukan Astri.“Mama ga jawab pertanyaanku,” ujar Astri tidak lega.“Ah, ya … ini … papa kamu …”“Astri! Kenapa masih di sini? Cepat bersiaplah!” Suara berat Andika terdengar beberapa meter di belakang Astri.Astri memandang ibunya yang batal menjawab pertanyaannya, lalu berbalik melihat pada Andika.“Mama kamu harus menyiapkan meja di sini. Kamu jangan berlambat-lambat. Setidaknya dua puluh menit lagi semua di rumah harus sudah siap,” tandas Andika tegas.“Oke, Pa. Tapi sepenting apa tamunya sampai harus Bersiap seperti ada pesta saja,” ujar Astri yang merasa rasa penasarannya diabaikan.“Nanti kamu akan tahu. Setelah kamu siap, aku jelaskan.” Andika berkata cepat, tidak mau dibantah.Masih dengan rasa heran, Astri masuk ke kamarnya. Dia membuka tas yang dia bawa. Tidak ada pakaian yang sesuai. Karena memang Astri tidak tahu akan ada acara khusus di rumah. Astri membuka lemari pakaiannya dan mulai melihat-lihat outfit mana yang sesuai.Papa dan mamanya memakai setelan couple motif batik, paduan putih, biru, dan hitam. Manis dan sepadan dengan juga interior dan hiasan yang dipajang. Astri tersenyum. Dia punya gaun yang senada, di ujung bawah dan lengan ada juga motif batik meskipun warnanya lebih gelap.Setelah siap, Astri kembali keluar kamar dan menemui orang tuanya. Mereka duduk di ruang depan siap menyambut tamu yang akan segera datang. Astri ikut duduk, memilih tempat di sebelah sang ibu.“Jadi?” Astri memandang mama dan papanya. Astri meminta penjelasan siapa tamu istimewa yang akan datang ke rumah mereka.“Tuan Tirtaraka Biswara bersama anaknya, Darma, akan datang berkunjung. Mereka ingin berkenalan dengan putri cantik keluarga ini.” Jawaban ringan terdengar dari Andika.“Apa? Maksud Papa?” Astri mengerutkan keningnya.Andika hampir membuka suaranya menjawab Astri, tetapi dia urungkan. Di halaman depan, tampak sebuah mobil hitam mewah muncul. Andika seketika berdiri, diikuti oleh Titi. Astri hanya bisa bengong dengan perasaan campur aduk.Di teras rumah, terdengar suara ramah orang berbicara saling menyapa. Lalu masuklah Andika bersama Titi, diikuti dua pria gagah. Seorang hampir seumuran Andika dan yang satu, Astri yakin baru masuk tiga puluhan tahun.“Jadi ini Astrina Talia?” Pria yang lebih tua memandang Astri dengan wajah berbinar dan senyum lebar.“Benar, Pak, saya Astri,” kata Astri dengan dada berdebar tidak nyaman. Dia mulai paham apa yang sedang dilakukan sang ayah hari itu.“Ini putraku, Darma Danuarta Biswara. Wah, senang bisa berjumpa dengan putri cantik Tuan Andika Kamajaya. Darma?” Pria itu menoleh pada putranya yang tampak dingin dan hanya mengurai senyum tipis di bibirnya.Darma maju dan menyalami Astri. Astri pun enggan menguntai senyumnya. Dia merasa masuk ke dunia lain yang selama ini tidak pernah dia mau ada di sana.“Mari silakan. Saya kira langsung kita ke ruang makan. Hidangan sudah menunggu. Perbincangan akan lebh santai sambil mengisi kampung tengah.” Andika mengajak tamunya masuk ke ruang dalam.Mereka beranjak ke ruang makan. Astri tetap di tempatnya. Hatinya terasa berat dan ada yang menekan kuat di sana. Kalau boleh, Astri ingin kabur saja. Inilah alasannya mengapa dia malas pulang. Ayahnya selalu sibuk soal siapa pria yang akan menjadi suami Astri. Tetapi dia dikenalkan pada pria tanpa diberitahu lebih dulu, ini sama sekali tidak masuk akal!"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia