Share

Asmara Ibu Asrama
Asmara Ibu Asrama
Penulis: Ayunina Sharlyn

Bab 1. Ultimatum Sang Ayah

“Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu! Paling lambat besok kamu sudah harus tiba di rumah. Kamu dengar, Astri!?” Suara berat dan keras terdengar dari ponsel Astri. Sang ayah memberikan perintah yang tidak mungkin dia bantah.

“Papa, minggu ini jadwalku sangat padat, aku tidak mungkin pulang. Aku usahakan minggu depan lagi baru aku pulang,” bujuk Astri. Dia sangat berharap nada memelas drinya akan meluluhkan hati Tuan Andika.

“Kamu pikir ayahmu bisa kamu bodohi? Sesibuk apa kamu di sana? Kamu pasti bisa mengatur pulang barang satu hari, bahkan tidak perlu menginap kalau perlu. Tapi kamu harus pulang!” Suara lebih tegas terdengar dari pria berusia hampir enam puluh tahun itu.

“Please, Papa, minggu depan aku atur waktuku.” Astri masih berusaha mengelak. Dia sudah bisa membayangkan sebenarnya apa yang ayahnya mau.

“Anak itu wajib taat pada orang tuanya. Tidak peduli kamu sudah dewasa dan bisa menghidupi diri kamu sendiri, aku tetap ayah kamu. Atau kamu mau aku anggap anak yang tidak menghargai orang tua? Kamu merasa sudah mampu melakukan apapun dengan dua tanganmu jadi ayahmu tidak penting lagi?” Kalimat-kalimat tajam itu menusuk hingga ulu hati Astri rasanya.

“Atau kamu mau pulang kalau Mama atau Papa terkapar di atas ranjang karena sakit?" lanjut Andika yang terdengar mengancam.

"Pa, ngapain sih, bicara kayak gitu? Iya, aku atur waktu aku pulang!" Akhirnya Astri mengalah.

“Kamu dengar yang aku katakan, bukan? Paling lambat besok,” ujar Andika tidak mau mengendorkan ultimatumnya.

“Baiklah. Aku akan pulang besok.” Astri tidak mungkin mendebat Andika lagi. Dia tahu hanya akan menambah ketegangan dengan sang ayah.

“Oke, aku tunggu.” Datar Andika menyahut.

Klik. Sambungan telpon selesai.

Astri memandang lurus keluar jendela kamarnya. Taman sekolah tampak segar di pagi hari. Taman itu persis ada di seberang asrama putri sekolah tempat Astri bekerja. Astri senang memperhatikan bunga-bunga yang mulai bermekaran memberi keindahan, menghiasi hari.

"Iya, aku pulang, Bapak Andika Kamajaya. Ada yang penting apa coba, maksa-maksa aku pulang?" gerutu Astri.

Sepanjang hari itu Astri tidak benar-benar menikmati semua aktivitasnya. Ultimatum sang ayah cukup mengganggunya. Astri terpaksa mengatur jadwal ulang agar dia bisa pulang tanpa meninggalkan beban pekerjaan yang akan menumpuk. Hingga esok harinya, dengan bus kota Astri menuju kota kelahirannya. Hatinya makin tidak tenang mengingat percakapan dengan ayahnya cukup tegang.

Astri tiba saat sudah menjelang sore. Astri sengaja tidak akan datang pagi-pagi karena tidak mau terlalu lama di rumah. Datang sore, segera malam, lalu hari berganti, dia segera balik ke Surabaya, itu rencananya.

Di depan rumah, Andika menunggu. Wajahnya yang lumayan tampan tampak tegas, penuh wibawa, dan terkesan sedikit galak menyambut Astri begitu wanita muda itu tiba di rumah. Astri menghampiri sang ayah, menjabat tangan ayahnya, dan mencium punggung tangan pria itu dengan rasa hormat.

“Akhirnya kamu sampai juga. Aku pikir kamu akan menunda pulang dengan alasan lain lagi,” kata Andika dengan wajah masih tegang.

“Papa kenapa berpakaian serapi ini?” Astri memperhatikan ayahnya. Tidak biasanya ayahnya berkostum formal jika di rumah.

Andika mengenakan batik berwarna biru, putih, dan hitam seperti hendak menghadiri suatu undangan saja.

“Masuklah, nanti kamu akan tahu,” jawab Andika sambil berjalan ke dalam rumah.

Astri bingung dengan kata-kata ayahnya. Dia mengikuti sang ayah masuk dan terkejut melihat ruang tamu ditata sangat bagus. Ada bunga-bunga hidup ditata cantik di vas dan diletakkan di pojok ruangan kiri dan kanan.

“Ada acara apa, Pa?” tanya Astri penasaran.

“Bersiaplah, kita akan kedatangan tamu kira-kira satu jam lagi. Jadi kamu cepatlah, jangan sampai tamu datang kamu belum siap,” kata Andika dengan suara lebih tenang.

“Oh? Baiklah,” ujar Astri masih bingung.

Astri menuju ke kamarnya melewati ruang makan. Makin terkejut Astri melihat di sana disiapkan berbagai hidangan seperti akan ada jamuan istimewa. Ibunya tengah sibuk dengan pembantu rumah menyiapkan meja.

“Mama! Ini ada acara apa? Kenapa rumah heboh sekali?” Dengan kepala penuh tanda tanya Astri menghampiri sang ibu, Titi, dan memeluknya dengan rasa rindu.

“Aih, anak gadisku yang seperti lenyap ditelan bumi, akhirnya muncul juga ke permukaan,” jawab Titi dengan senyum lebar serta membalas pelukan Astri.

“Mama ga jawab pertanyaanku,” ujar Astri tidak lega.

“Ah, ya … ini … papa kamu …”

“Astri! Kenapa masih di sini? Cepat bersiaplah!” Suara berat Andika terdengar beberapa meter di belakang Astri.

Astri memandang ibunya yang batal menjawab pertanyaannya, lalu berbalik melihat pada Andika.

“Mama kamu harus menyiapkan meja di sini. Kamu jangan berlambat-lambat. Setidaknya dua puluh menit lagi semua di rumah harus sudah siap,” tandas Andika tegas.

“Oke, Pa. Tapi sepenting apa tamunya sampai harus Bersiap seperti ada pesta saja,” ujar Astri yang merasa rasa penasarannya diabaikan.

“Nanti kamu akan tahu. Setelah kamu siap, aku jelaskan.” Andika berkata cepat, tidak mau dibantah.

Masih dengan rasa heran, Astri masuk ke kamarnya. Dia membuka tas yang dia bawa. Tidak ada pakaian yang sesuai. Karena memang Astri tidak tahu akan ada acara khusus di rumah. Astri membuka lemari pakaiannya dan mulai melihat-lihat outfit mana yang sesuai.

Papa dan mamanya memakai setelan couple motif batik, paduan putih, biru, dan hitam. Manis dan sepadan dengan juga interior dan hiasan yang dipajang. Astri tersenyum. Dia punya gaun yang senada, di ujung bawah dan lengan ada juga motif batik meskipun warnanya lebih gelap.

Setelah siap, Astri kembali keluar kamar dan menemui orang tuanya. Mereka duduk di ruang depan siap menyambut tamu yang akan segera datang. Astri ikut duduk, memilih tempat di sebelah sang ibu.

“Jadi?” Astri memandang mama dan papanya. Astri meminta penjelasan siapa tamu istimewa yang akan datang ke rumah mereka.

“Tuan Tirtaraka Biswara bersama anaknya, Darma, akan datang berkunjung. Mereka ingin berkenalan dengan putri cantik keluarga ini.” Jawaban ringan terdengar dari Andika.

“Apa? Maksud Papa?” Astri mengerutkan keningnya.

Andika hampir membuka suaranya menjawab Astri, tetapi dia urungkan. Di halaman depan, tampak sebuah mobil hitam mewah muncul. Andika seketika berdiri, diikuti oleh Titi. Astri hanya bisa bengong dengan perasaan campur aduk.

Di teras rumah, terdengar suara ramah orang berbicara saling menyapa. Lalu masuklah Andika bersama Titi, diikuti dua pria gagah. Seorang hampir seumuran Andika dan yang satu, Astri yakin baru masuk tiga puluhan tahun.

“Jadi ini Astrina Talia?” Pria yang lebih tua memandang Astri dengan wajah berbinar dan senyum lebar.

“Benar, Pak, saya Astri,” kata Astri dengan dada berdebar tidak nyaman. Dia mulai paham apa yang sedang dilakukan sang ayah hari itu.

“Ini putraku, Darma Danuarta Biswara. Wah, senang bisa berjumpa dengan putri cantik Tuan Andika Kamajaya. Darma?” Pria itu menoleh pada putranya yang tampak dingin dan hanya mengurai senyum tipis di bibirnya.

Darma maju dan menyalami Astri. Astri pun enggan menguntai senyumnya. Dia merasa masuk ke dunia lain yang selama ini tidak pernah dia mau ada di sana.

“Mari silakan. Saya kira langsung kita ke ruang makan. Hidangan sudah menunggu. Perbincangan akan lebh santai sambil mengisi kampung tengah.” Andika mengajak tamunya masuk ke ruang dalam.

Mereka beranjak ke ruang makan. Astri tetap di tempatnya. Hatinya terasa berat dan ada yang menekan kuat di sana. Kalau boleh, Astri ingin kabur saja. Inilah alasannya mengapa dia malas pulang. Ayahnya selalu sibuk soal siapa pria yang akan menjadi suami Astri. Tetapi dia dikenalkan pada pria tanpa diberitahu lebih dulu, ini sama sekali tidak masuk akal!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status