Share

Keluarga

Aku masih memukuli kepalaku karena malu sendiri dengan pertanyaan dan sikapku semalam.

“Aaaaa, mau di taruh dimana mukamu ini Talaaa!”, hardikku pada diriku sendiri.

Flashback

“Ayah bisa temenin Tala?”, ucapku spontan tanpa kusadari dan tak direspon juga olehnya.

Dia hanya menatapku datar dan aku merutuki diriku yang dengan bodohnya mengatakan hal seperti itu. Dia pasti berpikir kalau aku seperti anak kecil yang ketakutan hanya karena suara gemuruh badai dan petir dan akan menolakku dengan suara datarnya itu, tapi dugaanku salah karena nyatanya ia malah berjalan kearahku dengan lilinnya.

Ia meletakkan lilin itu di atas meja kecil yang ada di samping ranjangku. Karena suasananya sangat canggung akhirnya aku memilih naik ke ranjang terlebih dahulu untuk tidur lebih awal dengan posisi menghadap tembok dan membelakanginya. Aku sudah cukup malu karena memintanya menemaniku, bahkan jika lampu kamarku hidup pasti mukaku yang sekarang ini sudah terlihat semerah tomat. Aku benar-benar malu.

Sial. Karena terlalu malu dan canggung aku jadi tak bisa tidur. Aku ingin memperbaiki posisi tidurku namun takut mengganggu lelaki tua ini. Aku bingung harus melakukan apa. Lilin yang dibawa Ayah sudah mati sejak tadi tapi mataku masih sulit terpejam. Aku bahkan sudah menghitung domba sampai angka 100 namun naasnya dewa mimpi masih enggan datang kepadaku. Aku cukup frustasi dengan keadaan ini hingga kurasakan ada usapan tangan di kepalaku. Usapannya lembut meskipun tangan ini terasa kasar. Aku membeku dan otakku menjadi buntu.

“Tidur Ta”, suara datarnya yang begitu dalam terdengar layaknya mantra. Usapan tangan dan suaranya membuat semua sarafku berelaksasi dan mataku menjadi terasa berat. 

Namun, ada hal yang lebih memalukan daripada meminta Ayah menemaniku tidur atau usapan tangannya di kepalaku. Hal yang lebih memalukan lagi adalah ketika aku terbangun  karena suara Ayah yang memanggilku dengan posisi aku memeluknya dengan erat seperti memeluk guling bahkan aku enggan melepaskannya. Aku berani bersumpah bahwa aku melakukannya dalam keadaan yang tidak sadar. Benar-benar tidak sadar. Dalam tidurku aku bermimpi tidur dengan memeluk boneka beruang besar yang aku idam-idamkan dari dulu. Aku tidak tahu kalau ternyata yang kupeluk bukanlah boneka beruang melainkan Ayah. Rasanya aku ingin menangis saja saking malunya. Mau ditaruh dimana mukaku ini jika nanti aku bertemu dengan Ayah. Tadi pagi aku sudah beralasan masih mengantuk agar tidak sarapan dengannya lalu bagaimana dengan nanti malam, apakah aku harus pura-pura tidur agar tidak makan malam bersamanya. Aku tidak mungkin kan terus beralasan hanya untuk menghindarinya.

“Aaaa benar-benar memalukan”, aku frustasi dengan diriku sendiri.

Bukannya aku berlebihan atau apa ya, tapi seperti yang kalian tahu hubunganku dengan Ayah tidak sebaik itu. Kami baru bertemu lagi setelah belasan tahun berpisah dan aku baru hidup seatap dengannya selama semingguan. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudahnya tidur dipelukannya kemarin malam.

16:00

Aku tidak mau lagi memikirkan tentang kejadian kemarin, dan untuk melupakan kejadian memalukan itu aku berencana untuk keluar sebentar. Sekedar berkeliling kompleks untuk menghirup udara segar dan juga untuk mengenal wilayah disini dan juga untuk mencari minimarket terdekat untuk membeli camilan karena aku tahu disini tidak mungkin ada warung seperti halnya di kampungku dulu. Di jalan pulang aku bertanya ke seorang ibu-ibu yang sedang berada di halaman rumahnya agar tidak tersesat karena akua gak lupa dengan jalan yang ku lalui tadi sedangkan ponselku yang kugunakan untuk melihat maps tiba-tiba mati karena sepertinya aku lupa menchargernya lagi setelah semalam listriknya mati. Setelah sedikit berbincang-bincang dengan ibu yang kuketahui bernama Bu Reni ini dan mengetahu jalan untuk pulang aku segera melangkah agar bisa kembali. Bukan apa-apa tapi langit sudah sore ditambah ponselku juga mati, ini jelas bukan pertanda yang baik.

Begitu aku sampai di dekat jalan rumah aku melihat pintu rumah yang terbuka padahal seingatku tadi pintu rumah sudah kukunci sebelum aku pergi. Tanpa babibu aku langsung berlari masuk ke dalamnya karena takut apabila ada maling atau semacamnya yang masuk ke dalam rumah. Namun yang kutemukan bukanlah maling atau penjahat melainkan aku hanya melihat Ayah yang sedang minum air putih sambil mentapku aneh karena terlihat ngos-ngosan dan tampak berantakan.

“Aahh, aku lupa kalau Ayah juga punya kunci rumah ini”, keluhku dalam hati.

“Darimana?”, tanya Ayah.

Karena malu akupun bergegas menuju ke kamar dan melupakan pertanyaan Ayah barusan. Baru saja aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang, terdengar suara pintu yang diketuk dan dibuka. Aku terduduk karena cukup kaget dan pelakunya siapa lagi kalau bukan Ayah.

“Nanti malem jam 8 ikut Ayah makan malem di rumah eyang”.

“Eyang?”, tanyaku bingung.

“Pake baju ini”, ucap Ayah lagi sambil memberikan sebuah totebag kertas kepadaku.

“Emang gapapa kalo Tala ikut?”, aku mengambil totebag yang ia berikan padaku.

Ayah tidak menjawab dan hanya tersenyum kecil lalu berlalu keluar tanpa menutup pintu dan meninggalkan aku yang memandangnya penuh pertanyaan.

19:30

Aku sudah bersiap dan sekarang hanya mondar-mandir di dalam kamar sambil memikirkan seperti apa rupa keluarga Ayah. Jika Ayah saja tampangnya terlihat begitu datar dan kadang sangar lalu bagaimana dengan keluarganya, jangan-jangan aku bisa mati berdiri karena keluarga Ayah yang jauh lebih dingin dan seperti tidak punya hati. Tolong jangan ejek aku, tapi ini wajar bukan kalau aku punya ketakutan tersendiri dengan keluarga Ayah. Kami tidak pernah bertemu, saumpama pernah sekalipun aku juga sudah lupa karena pasti sudah sangat lama, dan entah kenapa feelingku tidak terlalu bagus malam ini. Aku merasa sesuatu yang buruk sedang menungguku disana.

Aku keluar kamar 10 menit sebelum jarum jam menunjukkan angka 8 dan kulihat Ayah belum ada di luar. Sepertinya ia masih di dalam kamarnya.

Toktoktok….

Aku mengetuk pintu kamar Ayah namun tidak terdengar jawaban apapun.

Toktoktok….

Kriettt….

Ayah melongok keluar dengan pintu yang sedikit terbuka dan menatapku dengan dahi yang berkerut seolah bertanya kenapa.

“Kata Ayah jam 8?”

“Kamu duluan ke depan”, suruhnya padaku dan aku mengangguk sebagai jawaban.

Kami menuju rumah seseorang yang Ayah panggil sebagai Eyang menggunakan mobil yang berjalan dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil aku berpikir banyak hal, otakku penuh dengan dugaan-dugaan peristiwa yang bisa saja terjadi dalam beberapa jam kedepan.

“Sepertinya akan ada banyak kejutan nanti”, ucapku tanpa sadar.

“Apa?” tanya Ayah.

“Eh, bukan apa-apa Yah”, elakku karena kaget.

Ayah menatapku seolah tak percaya dan itu membuatku agak gugup, aku mulai meremas jariku karena banyak pikiran sekaligus gugup.

“Kenapa Ta? Jangan mikir yang aneh-aneh, keluarga Ayah ga akan gigit kamu kok meskipun kalian udah lama ga pernah ketemu”, ucap Ayah dengan entengnya dan aku cukup kaget dengan perkataan Ayah.

“Darimana Ayah tahu kalau aku lagi mikirin keluarga Ayah dan takut kalau mereka ga baik sama aku?”, tanyaku dalam hati.

“Ga usah bingung Ta, muka kamu udah cukup jelasin ke Ayah kalo kamu lagi gugup dan cemas”, Aku cukup kaget dengan perkataan Ayah barusan, sepertinya aku harus berhati-hati mulai sekarang karena bisa saja Ayah itu cenayang kan.

“Ayah bukan cenayang”, ucapnya lagi yang membuatku semakin percaya akan suatu hal.

“Ayah benar-benar cenayang”, ucapku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status