Share

Satu Langkah Lebih Dekat

Bosan....

Hanya ada satu kata itu di dalam otak kecilku. Sudah berulang kali aku memperbaiki posisi dudukku dan berselancar ria di dunia online yang penuh kebohongan ini tapi nyatanya aku masih tetap bosan. Tadi setelah pulang berkeliling mall bersama Ayah aku langsung menuju kamar dan mulai melakukan ritual rahasiaku. Yup benar, apalagi kalau bukan tidur.

Heiii, jangan hanya karena aku pecinta tidur kalian berfikir aku itu pemalas ya. Ya meskipun diriku memang tak serajin itu tapi Ibu selalu bilang kalau aku itu cerdas. Kalau kalian tidak percaya, aku akan menceritakan tentang kecerdasanku  sekaligus keberanianku semasa kecil.

Alkisah, di suatu hari yang begitu suram tepatnya di depan warung kelontong di dekat lapangan desa terdengar suara percakapan antara ibu-ibu dengan seorang remaja yang akan lulus SMA. Mereka sedang meributkan tentang hal yang cukup sensitif yaitu “kapan nikah”, dimana ketiga ibu-ibu ini memberikan wejangan kepada remaja peremuan yang kebetulan bernama Sri agar cepat menikah dan tidak menjadi beban bagi kedua orang tuanya lagi. Sri terlihat mendebat wejangan yang cenderung seperti perintah dari para ibu ini karena pada dasarnya ia ingin menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ia ingin menjadi seorang sarjana meskipun dirinya hanyalah gadis yang berasal dari desa di kaki gunung dan orangtuanya bahkan tak lulus SD, namun seperti biasa mereka yang lebih tua dan merasa memiliki lebih banyak pengalaman mengoloknya karena idealismenya yang terlalu tinggi. Mereka mengatakan bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karna ujung-ujungnya hanya akan menjadi ibu rumah tangga, jadi daripada menghabiskan banyak uang hanya untuk kuliah lebih baik uangnya digunakan untuk biaya resepsi pernikahan saja agar kedepannya tidak membebani kedua orangtua karena semua kebutuhan telah dipenuhi oleh suami. Hingga datanglah seorang gadis kecil bersama ibunya. Dengan wajah yang menggemaskan disertai lubang di kedua pipinya gadis kecil ini mengatakan satu pertanyaan yang terdengar polos namun sedikit tidak sopan bagi orang-orang tertentu.

“Mba Srii, yen wong wedhok kudu cepet-cepet nikah supoyo ora dadi beban bapak ibu berarti ibu-ibu iki kudune wis mati yo ben ora dadi beban anak putune?” yang artinya kurang lebih begini.

“mba Sri, kalau seorang perempuan harus cepat menikah hanya agar tidak menjadi beban untuk kedua orang tuanya berarti ibu-ibu ini harusnya sudah meninggal agar tidak menjadi beban untuk anak dan cucunya?”, tanya si gadis kecil yang berakhir dengan seruan makian dari ketiga ibu-ibu tadi.

Jadi, bagaimana menurut kalian, gadis kecil itu cukup cerdas atau malah durhaka?

....

Bicara tentang pendidikan, ada satu jenis pendidikan yang sepertinya sangat jarang di sosialisasikan di negara kita ini yaitu pendidikan mengenai etika dalam bermedia sosial. Kemarin aku sempat membaca novel milik Syahid Muhammad yang berjudul egosentris. Setelah membaca buku ini aku semakin berpikir bahwa seharusnya negara ini memiliki pendidikan etika dalam bermedia sosial. Kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan etika yang cukup membuat negara ini bahkan di cap sebagai negara dengan netizen di internet paling buruk oleh Microsoft. Memalukan bukan ketika negara yang dielu-elukan sebagai salah satu negara paling ramah di dunia berubah menjadi negara dengan netizen terburuk. Tapi sudahlah, memikirkan hal yang cukup berat seperti ini membuatku menjadi mengantuk. Sepertinya aku butuh tidur lagi.

19:00

toktok...

toktok...

“Ta?”, ucap suara yang sudah familiar di telingaku akhir-akhir ini.

“Ya, kenapa Yah?”

“Ayo makan”

“Iya, nanti aku keluar”

“Sekarang”

“Iya Yah”, gerutuku agak kesal.

Kulangkahkan kaki kecilku menuju ruang makan dan berakhir duduk di depan seorang lelaki tua. Sebenarnya aku begitu bersemangat untuk menyantap makan malam kali ini karena keberadaan nasi goreng kesukaanku, namun karena aku sedang malas berjumpa dengan lelaki tua ini entah kenapa moodku jadi memburuk dan nasi goreng kesukaanku menjadi tidak begitu menarik lagi. Heii, jangan salahkan aku yang memiliki mood swing terlalu ekstrim, salahkan lelaki tua ini yang selama beberapa hari meninggalkanku sendirian di rumah yang masih asing dengan lingkungan yang tak kukenali sama sekali selama 4 hari 3 malam dengan hanya meninggalkan catatan kecil di kulkas. Ia baru pulang tadi pagi dan langsung pergi lagi entah kemana dan tiba-tiba datang mengetok pintu kamarku dan mengajak makan malam. Wajar bukan jika aku kesal, siapa pula manusia di dunia ini yang tak kesal kalau ditinggal berhari-hari sendirian tanpa pemberitahuan dan jangan lupakan perihal ia yang tak memberiku uang jajan, ya meskipun di dapur ada bahan makanan, tapi aku kan tidak jago memasak, dulu Ibu selalu memarahiku kalau aku mau memasak di dapur karena katanya aku hanya akan mengacau dan aku cukup sakit hati dengan itu meskipun kenyataannya sangat benar.

“Kenapa ga masak?”

“Hah?”, bingungku.

“Kemaren Ayah lupa ngasi kamu uang jajan, terus makanan di dapur juga masih lengkap, kamu ga masak?” tanyanya sambil menyuap sesendok penuh nasi.

“Ouh Ayah lupa, kamu kan ga bisa masak”, ejeknya dengan suara yang benar-benar menjengkelkan.

Aku memicingkan mata seolah-olah menentang perkataannya meskipun yang ia ucapkan 100% adalah kebenaran tapi aku tetap tidak terima. Apa-apaan dia, mentang-mentang ia bisa memasak lantas ia bisa mengejekku seenaknya begitu?

“Aku bisa masak”, jawabku dengan suara yang menantang.

Ayah memandangku dengan tatapan meremehkan dan itu melukai harga diriku. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini!

“Aku beneran bisa masak”, lantangku lagi.

Ia tak menanggapiku dan malah berdiri meninggalkanku bersama amarahku dengan santainya.

“Dasar lelaki tua menyebalkan”, hardikku pelan sambil memakan nasi gorengku dengan jengkel.

“Eh, tapi tunggu darimana ia tahu kalau aku tidak bisa memasak, bukankah aku tak pernah bercerita padanya, lalu dia tahu dari siapa?”, tanyaku dalam hati sambil melihat punggungnya yang berlalu menuju kamarnya.

“Ada sesuatu yang tak ku ketahui disini”, lirihku.

22.00

Malam ini aku sudah bersiap tidur dengan alunan musik the caretaker yang berjudul everywhere at the end of time yang menceritakan tentang fase-fase demensia. Meskipun menceritakan tentang fase menyedihkan bagi mereka pengidap demensia namun alunan musik ini selalu berhasil membuatku merasa tenang dan berakhir dengan tertidur pulas sampai pagi.

Jeduar…

Aku terkaget dengan suara ledakan yang begitu nyaring, lampu tidurku pun mati yang menandakan ada masalah dengan listrik disini. Aku keluar kamar dan memastikan apakah hanya lampu kamarku saja yang mati tapi ternyata hampir seluruh ruangan di rumah ini lampunya mati, hanya ruang tamu saja yang masih terang karena memakai lampu emergency.

Jeduar…

Aku terkaget lagi ketika terdengar bunyi seperti ledakan yang begitu keras yang sepertinya bukan berasal dari PLN, dan benar saja tak lama setelahnya hujan deras mulai mengguyur daerah ini disertai petir yang siap menyambar apapun. Aku memandangi hujan dari jendela ruang tamu yang gordennya kusibakkan. Melihat hujan deras ini aku jadi teringat tentang Ibu. Dulu ketika listrik padam karena hujan badai maka Ibu akan datang ke kamarku bersama lilin kecilnya dan menemaniku tidur sampai pagi, tapi sekarang keadaanya sudah berbeda, tidak akan ada lagi orang yang menerangiku di kala gelap dan menemaniku agar aku tetap nyaman dan merasa aman.

Aku menghembuskan napas dan menyingkirkan pikiran mengenai Ibu, aku harus ikhlas.

“Aaaaaaa”, jeritku tatkala berbalik badan dan menjumpai seseorang berbadan besar dengan muka seram membawa lilin sedang menatapku.

“Ngapain?”

“Cepet tidur sana”, ucapnya dan aku yang masih agak kaget dan sedikit melotot hanya mengangguk sebagai balasan. Aku berjalan melewatinya dan menuju kamarku. Ketika hendak membuka knop pintu badanku tiba-tiba saja berbalik arah dan menatapnya.

“Ayah bisa temenin tala?”, ucapku spontan tanpa kusadari dan naasnya tak direspon olehnya.

Dia hanya menatapku datar dan aku merutuki diriku yang dengan bodohnya mengatakan hal seperti itu. Dia pasti berpikir kalau aku seperti anak kecil yang ketakutan hanya karena suara gemuruh badai dan petir dan akan menolakku dengan suara datarnya itu, tapi dugaanku salah karena nyatanya ia malah berjalan kearahku bersama dengan lilinnya.

Kami tidur sekamar malam ini dengan aku yang tertidur pulas di pelukannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status