Share

Tangis

Mobil Ayah memasuki sebuah kompleks perumahan yang terlihat sangat elit dimata gadis kampung sepertiku. Kami berhenti di depan rumah yang berukuran besar dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan banyak tanaman, bahkan ada seorang satpam yang membukakan gerbang agar mobil Ayah bisa masuk.

“Kayaknya orang yang namanya Eyang itu kaya banget deh”, pikirku polos.

Aku keluar dan berjalan di samping Ayah untuk masuk ke dalam rumah orang yang bernama Eyang ini, di dalamnya terlihat ada banyak orang dengan penampilan mengesankan dimana hampir semua laki-laki memakai kemeja rapi dan jas serta rata-rata seperti sosialita yang dari ujung kepala memakai barang-barang branded. Aku masih terus memandangi semua orang di dalam rumah ini sampai akhirnya mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang perempuan renta yang terduduk di atas kursi roda, perempuan tua itu memakai baju yang menurutku harganya pasti mahal, badannya terlihat kurus namun wajahnya masih terlihat segar dengan garis wajah yang tegas dan tatapan mata yang tajam.

“Jadi dia yang bernama Eyang? Pantesan Ayah mukanya nyeremin, keturunan ternyata”, batinku sembrono di dalam hati.

Ayah berdehem untuk mencoba mendapatkan perhatian semua orang, dan berhasil, semua mata memandang ke arah kami. Mereka semua tersenyum melihat kedatangan Ayah namun entah kenapa aku merasa itu bukan senyum tulus, ada sesuatu yang salah disini.

“Ini Tala, anakku”, ucap Ayah yang membuat hampir semua orang disini memandangiku kaget dan entah hanya perasaanku saja, mereka menatapku dengan tatapan dan senyuman yang aneh. Ayah menyuruhku memperkenalkan diri dan bergabung dengan mereka terutama untuk menemui seseorang yang diperkenalkan sebagai Eyang oleh Ayah kepadaku. Aku bergabung dengan mereka, namun aku tak pernah melepaskan tatapanku dari perempuan renta yang dipanggil Eyang itu. Dari sekian banyak orang hanya dia yang menatapku datar dengan ekspresi yang menurutku aneh, mirip dengan ekspresi Ayah saat pertama kali dia melihatku di Jogja kemarin.

Makan malam kali ini berjalan lancar, banyak orang tua seumuran Ayah yang mengajakku bicara tapi kurasa itu hanyalah sekedar basa-basi yang benar-benar memuakkan. Aku tak menangkap ketulusan apapun di mata mereka, yang kulihat hanyalah mereka mengajakku bicara hanya untuk terlihat “baik” atau karena ada sesuatu yang mereka inginkan namun tak kuketahui.

“Kamu mau kemana Bi?

“Bi, menginaplah disini seperti yang lainnya, sudah lama sekali Mama ga melihatmu. Apa kamu ga kangen sama Mama?”, ucap perempuan renta tadi pada seseorang yang ternyata adalah Ayah. Semua orang menatap Ayah dengan tatapan yang memintanya untuk menetap disini, namun Ayah malah diam dan menoleh untuk menatapku seolah-olah meminta jawaban dariku. Aku menatap Ayah balik dengan dahi yang berkerut karena bingung dan heran.

“Kamu mau nginep disini Ta?”

Aku bingung dan kaget karena Ayah malah bertanya kepadaku. Kalau boleh jujur sebenarnya aku tak ingin berlama-lama disini tapi…

“Tala pasti mau tidur disini Bi, apalagi dia kan baru aja dateng dari Jogja dan baru pertama kali ketemu sama keluarga besar kita, jadi harusnya kalian nginep aja disini aja biar Tala bisa makin akrab sama kita-kita, iyakan Ta?”, ucap tante Ara antusias dan menatapku seolah-olah meyakinkan. Beberapa laki-laki seumuran Ayah yang aku tahu merupakan sepupu dari Ayahpun mendukung perkataan tante Ara seolah-olah aku harus menuruti ucapan mereka dan apabila aku menolak maka aku sudah seperti cucu durhaka yang membuat anak lelaki kesayangan Eyang tak mau menurut padanya. Aku bingung dan aku merasa tak nyaman. Aku menatap Ayah yang ternyata juga sedang menatapku intens, dan entah bisikan malaikat darimana aku menggelengkan kepala tanda aku tak mau disini. Kukira Ayah akan marah karena responku itu, namun ia malah tersenyum kecil. Ia mengatakan kepada semua orang kalau dirinya tak bisa menginap dan aku butuh banyak waktu untuk menyesuaikan diri jadi mereka tak bisa memaksaku. Aku melihat tatapan tak suka dilayangkan oleh orang-orang disini kepadaku karena keputusanku yang sepertinya diluar dugaan mereka, namun ada tatapan lain yang lebih menarik daripada tatapan saudara-saudara Ayah. Perempuan renta yang sekarang kupanggil Eyang itu masih menatapku sama.

06:30

Aku tak tahu setan apa yang membuat diriku mau keluar kamar sepagi ini dan memilih duduk di kursi dapur sambil menopang dagu untuk menyaksikan Ayah memasak sarapan pagi ini yang lagi-lagi adalah nasi goreng kesukaanku. Sepertinya ada yang salah dengan otakku ini makanya aku tidak bisa berpikir jernih sejak semalam. Ada banyak pertanyaan di dalam otak kecilku, bahkan saking banyaknya aku sampai bingung harus menanyakan mulai dari apa dan mana.

“Yahh”

“Ayah”

Ayah berbalik dan menatapku dengan alis yang dinaikkan sebelah seolah-olah bertanya kenapa memanggilnya. Aku terdiam sambil memandangnya cukup lama kemudian menggelengkan kepala tanda tak jadi bicara dan memilih melamun sambil menunggu sarapanku jadi.

Kami sarapan bersama. Aku terus memandangi Ayah yang sedang makan sampai diriku tak sadar kalau aku hanya membolak-balik sarapanku tanpa ada minat untuk memakannya. Ayah yang sepertinya mulai risih karena terus dipandangi olehku mendongak dan menatapku dengan eksresi tak sukanya.

“Apa?”, ketusnya padaku.

 Aku tersentak namun hanya terdiam dan menunduk untuk melanjutkan membolak-balik sarapanku. Aku terdiam sejenak kemudian menurunkan tanganku menjadi di pangkuanku.

“Kenapa Ta?”, tanya Ayah kesal.

“Kenapa Ayah baru ke Jogja setelah Ibu pergi, bahkan Ayah baru sampe disana setelah 7 hari Ibu meninggal?”

“Kenapa Ayah ninggalin Tala sama Ibu di kampung?”

“Kenapa Ayah baru bawa Tala kesini?”

“Kenapa Ayah baru kenalin Tala ke keluarga Ayah semalem?”

“Kenapa baru sekarang Yah”

“Kenapa baru sekarang”

Aku bertanya dengan suara menahan tangis dan tangan yang bergetar. Aku memberanikan diri untuk mendongak perlahan untuk melihat bagaimana respon Ayah. Namun, yang kulihat hanyalah sebuah wajah dengan tatapan tajam dan ekspresi datar tanpa rasa bersalah sama sekali, tatapan yang sama sekali bukan harapanku. Hatiku hancur, aku kecewa dan air mataku mulai menetes perlahan. Aku berdiri dengan membanting sendok yang kupegang lalu berjalan cepat menuju kamar meninggalkan Ayah disana sendirian. Hanya ada satu kalimat yang berputar di otakku. Aku benci Ayah.

….

Aku terbangun dari tidurku setelah menangis cukup lama. Perutku berbunyi tanda lapar dan itu menyiksaku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 1 siang.

“Pantes aja aku udah laper banget, orang udah siang banget mana tadi malah ga sarapan lagi, hikss”, pikirku merana.

 Aku bangkit dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi untuk cuci muka. Setelah dirasa cukup segar aku kembali ke kamar dan duduk di ranjang sambil memikirkan bagaimana caranya keluar dari kamar dan menuju dapur untuk makan tanpa bertemu dengannya. Bukannya apa ya, tapi aku hanya malas saja melihat lelaki tua itu. Wajahnya sangat memuakkan dan aku sangat amat membencinya. Perutku kembali berbunyi dan kali ini rasanya lebih menyiksa daripada yang tadi. Sepertinya magku akan kambuh jika aku tak segera mengisi lambungku dengan makanan. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, akhirnya aku memilih keluar dari kamar untuk mencari makanan di dapur.

Aku ke dapur dan mulai mencari makanan yang dapat kumakan di dalam kulkas, naasnya isi kulkas kosong. Benar-benar kosong dan aku meringis prihatin pada diriku sendiri yang sepertinya harus kelaparan. Aku mencoba menuju ke ruang makan dan berharap masih ada sisa sarapan pagi tadi disana yang dapat kumakan dan benar saja di meja makan masih ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi yang terasa masih hangat. Ternyata Tuhan masih sayang kepadaku, buktinya dia masih membiarkan aku hidup dan tak mati kelaparan.

Aku mulai memakan nasi goreng ini yang ternyata rasanya sangat enak, entah rasanya benar-benar seenak itu atau mungkin karena aku sedang kelaparan saja sehingga semua makanan terasa sangat memanjakan lidah dan perutku. Setelah kenyang dan makananku habis tak bersisa otakku kembali bisa diajak berpikir waras, dan setelah berdiam diri beberapa saat aku merasa ada sesuatu yang janggal.

“Bukannya nasi gorengnya udah dari tadi pagi ya, harusnya nasinya udah dingin dong tapi kok tadi masih anget si, terus dia kemana coba kok ga keliatan dari tadi padahal hari ini kan weekend jadi ga mungkin dia kerja kan, terus aku juga udah disini lumayan lama tapi kok dia ga keliatan dimana-mana si. Apa dia di dalem kamar ya? Ishh apa-apaan sih Ta, ngapain juga kamu mikirin orang tua nyebelin kayak dia. Dia aja ga peduli sama anaknya jadi ngapain kamu mikirin orang tua kayak dia, buang-buang waktu aja deh”, batinku dalam hati.

Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuju ke dapur untuk mencuci piring dan gelas bekasku hingga mataku tak sengaja melihat ada sesuatu yang tertempel di pintu kulkas bagian atas. Aku meletakkan piring dan gelasku di dekat wastafel kemudian melangkah ke arah kulkas untuk mengetahui apa yang tertempel disana dan ternyata ada sebuah kertas note kecil disana yang ditulis menggunakan kertas yang warnanya mirip dengan warna kulkas ini jadi mungkin tadi aku tak melihatnya karena terlalu sibuk mencari makanan untuk kelangsungan hidupku. Aku mengambil note yang letaknya diatas kepalaku itu agar aku lebih mudah membacanya karena jujur saja tulisannya sangat jelek dan kecil jadi aku kesusahan dalam membacanya. Aku mengambil kertas note itu dan mulai membacanya. Seketika badanku kaku, aku tak percaya dengan apa yang aku baca dan air mata kembali turun di pipi tembamku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status