Kicauan burung dan cahaya matahari membuat Sylphide terbangun. Tanpa sadar dia tertidur di samping Vins semalaman. Namun, pagi ini dia tidak menemukan Vins, mungkin pria itu sudah pergi entah ke mana tanpa membangunkan Sylphide. Gadis itu duduk dan memperhatikan sekitarnya. Tempat ini cukup terpencil dan jarang dilalui orang, pantas saja dia bisa tertidur nyenyak semalam. Tidak disangka juga dia bisa tertidur di tempat umum seperti ini. Sylphide memutuskan untuk berdiri dan pergi dari sana. Kakinya melangkah menyusuri pantai. Sedikit ke pinggir untuk merasakan air pantai yang tenang. "Hei, permisi," ucap seseorang. Sylphide menatap gadis tinggi di depannya, sedikit terpesona karena bentuk wajah yang sempurna itu. Dia membawa tas ransel yang besar di belakang punggungnya dan menggunakan topi serta kacamata hitam. "Apa kau orang asli sini?" Gadis itu membuka kacamatanya dan langsung bertanya karena Sylphide tidak juga menjawab sapaan tersebut. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun,
"Apa?" tanya Vins setelah menyadari tatapan Sylphide kepadanya. Gadis yang ditanyainya malah terkejut dan mundur selangkah semakin menjauh dari Vins. Dengan cepat Sylphide menggeleng. Dia tidak ingin mencari masalah dengan Vins. Namun, sebenernya Sylphide takut jika hanya berdua saja dengan seorang pria di dalam rumah. Memori otaknya terus membawa Sylphide pada ingatan saat dia tersiksa. Jantungnya terus berdegup kencang dan perasaan waspada selalu menghantuinya. Kenapa Vins tidak ikut saja dengan Gaia ke swalayan?"Sudahlah" ujar Vins lalu pergi entah kemana. Diam-diam Sylphide menghembuskan nafas lega dan menurunkan bahunya. Dia kembali duduk di sofa yang ada di sana dan menatap Gaia yang sedang memakai topi. "Apa kau sungguh tidak ingin ikut Sylphide?" tanya Gaia."Ya? Oh, tidak, aku ... aku akan di rumah saja," jawab Sylphide. "Baiklah, aku pergi dulu, dah!" Gaia keluar dari rumah dan berjalan menjauh. Sepanjang perjalanan, gadis itu mengarahkan kamera ke sekitarnya. Dia memo
"Kemana si bodoh itu pergi?" Kakinya sudah cukup lama berdiri dan menunggu. Jika saja tadi dia tidak memberikan izin kepada Orion yang mengatakan ingin buang air, mungkin dia tidak akan terjebak di sini bersama dua orang membosankan lainnya. Lihat saja mereka. Yang satu pria tampan nan tinggi tapi dia tidak bisa menggunakan mulutnya sama sekali. Dia selalu diam dan menjaga jarak dari mereka seperti mereka ini memiliki bakteri mengerikan yang bisa mengancam keselamatan hidupnya. Jangan salah paham, dia tidak bermaksud ingin menjadi dekat dengan pria tampan nan tinggi itu, hanya saja cukup menyebalkan melihat tingkahnya yang seperti ini.Lalu gadis yang kini sedang mengajak seekor kucing kecil bermain itu. Entah kenapa dia selalu tersenyum dan melakukan segala hal yang dikatakan orang lain. Seperti saat mereka pertama bertemu, seorang preman datang ke dalam bis dan memintanya untuk memberikan tempat duduk. Dengan bodohnya dia menuruti preman itu dan akhirn
Vins melangkahkan kakinya dengan cepat. Setelah tadi dia kembali ke pantai dan mencari-cari, kilasan itu datang lagi dengan dengung yang lebih keras. Setelah sampai di rumah Sylphide, dia membuka asal daun pintu itu hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Matanya saling menatap dengan enam pasang mata yang sedang terkejut itu. Entah siapa dan apa yang sedang mereka lakukan dalam lingkaran tersebut. "Vins?" ucap Gaia. "Sylphide, kemarilah!" panggil Vins tanpa memedulikan Gaia dan yang lainnya. Namun, Sylphide masih memandangnya dengan mata bulat dan tatapan bingung. Membuat Vins kesal sendiri dan akhirnya mendatangi Sylphide. Dia mendekatkan wajah secara tiba-tiba dan berbisik di samping Sylphide. Vins bahkan tidak menyadari wajah Sylphide sudah memerah. "Apa kau melihatnya juga tadi? Seorang wanita dengan lampion?" bisik Vins. Sylphide mengangguk sebagai jawaban. Dia menatap Vins lalu menatap sekelilingnya. "K–kurasa mereka juga melihatnya," ucap Sylphide. Vins pun ikut me
Daedalus kecil membaca bukunya dengan serius, di depannya bahkan terpampang layar komputer yang memperlihatkan informasi mengenai Atlantis, kota yang katanya pernah ada tapi hilang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Plato dalam buku Timaeus dan Kritias. Setelah itu, muncul berbagai pro dan kontra sebagai respon dari teori tersebut. Namun, banyak juga yang membahasnya, menguliknya kembali dalam tulisan bahkan menjadikan tempat yang 'entah ada atau tidak' itu sebagai karya seni. "Tentu saja! Dia adalah anakku, tidak mungkin terlahir bodoh." Dari luar kamarnya, Daedalus dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang diperbincangkan oleh kedua orang tuanya. Umur Daedalus saat ini hanya sembilan tahun, tapi anak tersebut sudah menguasai empat bahasa dan diklaim memiliki kemampuan berpikir serta berkonsentrasi lebih dari anak seusianya. Dia dikatakan memiliki IQ di atas 170. Tentu saja semua orang akan terkagum-kagum dengan angka itu, terlebih lagi usianya masih sangat kecil. Entah b
Langitnya sangat indah di atas sana. Bintang bersinar sangat cerah dan bulan membentuk sabit yang bercahaya. Ditambah dengan pemandangan laut yang juga bersinar, bisakah Bella menyebutnya sebagai kesempurnaan?Kaki Bella menekuk dan dia memeluk dirinya sendiri di atas pasir pantai. Menikmati angin malam sambil menunggu teman-temannya datang. Tadi Bella memutuskan untuk pergi lebih dulu ke pantai karena sudah selesai dengan urusannya. Bella hanya bisa tertawa saat matanya melihat perkelahian Gaia dan Orion di penginapan. Mereka bertengkar hanya karena berebut kamar mandi sementara di dalam kamar mandi itu ada Neve yang sudah mandi selama satu jam. Mereka berdua berdebat tentang siapa yang akan menggunakan kamar mandi setelah Neve. Entah saat ini mereka sudah selesai atau belum. "Emm ... halo, Bella," sapa Sylphide yang datang tiba-tiba. Bella bahkan tidak menyadari suara langkah Sylphide karena terlalu menyelami pikirannya. "Oh, kau datang." Bella menatap Sylphide yang berdiri di sam
Rasanya sangat hening. "Jalang sialan!"Ah, tiba-tiba saja suara itu muncul di indra pendengaran Sylphide. Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya tadi dia melewatkan sesuatu. Di mana dia sekarang? Apa ruangan kosong? Di sini sangat gelap hingga Sylphide bahkan tidak bisa melihat setitik cahaya pun. Dia berusaha mencari dengan matanya, tapi dia tidak menemukan apa pun. Terkadang dia ragu saat mengayunkan tangannya dan meraba udara. Apa dia sudah bergerak sungguhan atau hanya imajinasinya saja? Pasalnya dia tidak bisa merasakan hembusan angin dan melihat apa pun. Sedang apa pula monster itu ada di sini? Bukankah seharusnya dia ada di penjara?"Ini adalah hukuman yang pantas untukmu!" Satu cambukan.Rasanya sangat perih. Sylphide bisa merasakannya, tapi entah kenapa Sylphide tidak bisa melihat apa pun. Sekali lagi, sangat gelap dan sekarang ditambah perasaan menyesakkan. Dia bingung dan ketakutan. Suara Sylphide tertinggal di tenggorokan. Untuk merintih pun dia tidak bisa. "Beraninya ka
"Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Gaia. Untuk ke sekian kalinya Gaia melihat ke atas langit hanya untuk memastikan apa awan sudah berbaik hati menutupi matahari. Namun, nyatanya matahari itu masih bersinar dengan sombong. Dia bahkan tidak mau mengalah dan menurunkan panasnya sedikit. Hampir seharian mereka terluntang-lantung di tempat aneh ini tanpa makan dan minum. Mereka bahkan tidak memiliki tujuan, hanya berjalan tanpa arah. Keringat pun sudah mengalir di sekujur tubuh mereka. Padahal mereka sudah meninggalkan kawasan laut cukup jauh dan ini pun bukan padang pasir. Hanya lapangan hijau dan dikelilingi pohon-pohon besar. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan tengah sejak tadi karena takut berurusan dengan hewan buas jika melewati pohon-pohon besar itu. Akan lebih parah jika mereka tersesat tanpa persiapan apa pun. "Aku lapar," keluh Gaia lagi. Matanya sudah mulai berkabut. Meski begitu, dia masih berusaha mengendalikan dirinya sekuat mungkin agar tetap sadar. "Aku–