Dor dorr dorr
Suara letusan timah panas bersahut-sahutan. Baku tembak terjadi tak bisa dihindari. Sesosok tubuh yang terbalut pakaian serba hitam meliuk-liuk menghindari misil kematian. Tertinggal jauh di belakang, lima sosok pria berlari laksana raja neraka mengejar renjana.
Sosok yang dikejar itu jelas seorang wanita. Lekuk tubuh yang mempunyai tinggi 170cm. Wajahnya tertutup masker hitam, rambut panjangnya diikat ekor kuda terjuntai dari lubang belakang topi hitamnya. Setelan celana cargo dan kaos hitam lengan panjang berlapis jaket anti peluru membalut tubuhnya.
"Sial, kenapa kalian menjebakku!" Si Wanita menggeremeng penuh amarah. Sama sekali tidak pernah menyangka situasinya akan berubah secepat ini.
"Ada dendam apa kalian denganku?" Dia berteriak memuntahkan segenap kecewa. Dua dari lima pria yang mengejar di belakang adalah rekannya. Mereka sedang mengerjakan misi bersama. Alih-alih saling mendukung, dua rekannya malah berkhianat. Berbalik ingin membunuhnya.
Gadis itu bernama Xin Qian. Bersama dua rekannya, berbagi tugas untuk menyelesaikan misi membunuh pimpinan mafia dengan cepat. Dua rekannya sepakat untuk mengalihkan perhatian para pengawal pribadi sang Mafia. Sedangkan dirinya sebagai eksekutor.
Sebelumnya, mereka sudah berhasil menyusup menjadi penjaga villa tempat menginap Lin Chao Feng. Pimpinan Mafia yang harus dibunuhnya hari ini.
Alih-alih bisa mendekati Lin Chao Feng, dua rekannya malah berkhianat. Semua pengawal Mafia dan dua rekannya berkumpul di sana menyiapkan jebakan untuk Xin Qian.
Sungguh paradoks yang menggelikan. Xin Qian, sang pembunuh nomor satu kali ini menjadi target dalam misinya sendiri.
"Menyerah saja Xin Qian. Aku akan memberi kematian yang indah untukmu! Ha-ha-ha." Seorang pria tiba-tiba sudah bergabung bersama para pengejar. Siapa lagi. Pemilik suara tawa menggelegar itu adalah Lin Chao Feng, pimpinan Mafia yang harus dibunuhnya hari ini.
"Jangan harap bisa begitu mudah membunuhku, Lin Chao Feng!"
Xin Qian terus berlari dengan gerakan lincah. Dia cukup percaya diri dengan kemampuan bela dirinya. Ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi sehingga bisa begitu cepat menghindari tembakan yang bertubi-tubi. Bahkan, sesekali dia juga melepaskan tembakan ke arah para pria yang mengejar di belakang.
Dorr Dorr
Ceklek
"Sial, peluru habis!" umpat wanita itu kesal.
Sungguh sial. Di saat kritis pistol laras pendek terakhirnya kehabisan peluru. Tak ada pilihan lain baginya kecuali terus berlari ke depan.
"Shit! Jalan buntu!" Tak ada lagi jalan untuk melarikan diri. Dihadapannya hanya tersisa jurang yang begitu dalam.
Hanya ada satu pilihan untuk bisa lepas dari kejaran para pengawal itu yaitu melompat dari tebing. Tapi, jurang ini begitu dalam. Melompat ke bawah sana sama dengan bunuh diri. Dia akan mati dengan tubuh hancur. Dengan napas terengah-engah, Xin Qian kembali menimbang.
“Sial, aku tidak rela harus mati seperti ini!” Xin Qian menggertakkan gigi ketika melihat sekelompok pria itu telah tiba di hadapannya.
"Ha-ha-ha, tidak disangka kamu akan mati di usia semuda ini, Xin Qian." Lin Chao Feng mendesah lega dengan tawa ironi. Akhirnya, buruannya tak bisa melarikan diri.
“Xin Qian, bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu sebelum aku membunuhmu? Ha-ha-ha.” Suara gelak tawa menggelegar.
“Jadilah wanitaku malam ini, bagaimana? Ha-ha-ha….” Lin Chao Feng melangkah maju. Lima pria lain bersiap dengan senjata masing-masing. Di hadapan mereka adalah Xin Qian. Pembunuh nomor satu yang ditakuti.
“Cuih! Jangan mimpi. Aku lebih baik mati.”
“Ha-ha-ha, sudah berada di lubang neraka, tapi masih bisa bersikap sombong. Baiklah, kesombongan itu memang sesuai dengan nama besarmu.”
"Jangan banyak basa-basi. Membunuhku sungguh tidak akan semudah itu, Lin Chao Feng!” geramnya sembari berpikir mencari jalan untuk melarikan diri. Jarak antara mereka semakin terpangkas.
"Ckckck, Xin Qian, Xin Qian. Aku tidak berencana membunuhmu dengan mudah. Aku akan menyiapkan jamuan besar di istanaku sebelum mencabut nyawamu, bagaimana? Bukankah itu sepadan, Xin Qian? Ha-ha-ha….”
“Ngomong-ngomong, dua rekanmu tertarik dengan harga satu juta dollar untuk nyawamu, Xin Qian.” Lin Chao Feng kembali berceloteh.
Xin Qian mendengus kasar. "Bahkan harga nyawaku lebih mahal darimu, Lin."
Dua pria yang bertahun-tahun selalu menjadi rekan dalam menyelesaikan misi tersenyum miring sembari menodongkan pistol. “Dasar tidak setia kawan,” sembur Xin Qian emosional.
"Apa aku salah dengar? Kita telah hidup begitu lama di dunia hitam. Kamu masih bermimpi mendapatkan teman setia?!”
“Apakah kebersamaan kita selama ini tidak ada harganya sama sekali?” ketusnya. Xin Qian benar-benar kecewa. Dia sama sekali tidak menyangka semudah itu, dua rekannya melupakan pengalaman hidup mati bersama hanya demi uang.
Bisa-bisanya, ada orang yang menghargai nyawanya begitu mahal. Pantas saja dua rekannya berkhianat. Dengan nominal satu juta dollar, mereka bisa pensiun dini. Hidup berfoya-foya tanpa khawatir kekurangan uang lagi.
Di antara rasa kecewa karena pengkhianatan yang mendorongnya nyaris terperosok di lubang neraka, mendadak gadis itu teringat sesuatu. Dia meraba benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya. Menekan salah satu tombol yang ada di sana.
Tiba-tiba suara embusan angin begitu riuh terdengar dari arah tebing. Xin Qian menoleh ke belakang. Di sana terlihat pusaran angin yang berputar-putar di udara. Sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan tipis. Ini adalah pertama kalinya dia menggunakan alat canggih yang berhasil dikembangkannya, mesin waktu.
Ya, masih ada harapan bisa selamat dari lubang neraka ini. Meski kali ini pertama kalinya dia menggunakan mesin waktu ciptaannya. Dia berharap alat ini bisa mengantarkan dirinya berteleportasi ke tempat persembunyian rahasianya.
"Badai tornado!" pekik para pria yang tak jauh darinya.
Pusaran tornado menggulung tubuh Xin Qian. Di dalam pusaran angin yang menderu, panca inderanya seakan mati rasa. Dia hanya bisa pasrah memejamkan mata, mengikuti langkah takdir yang sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh benaknya.
"Lin Chao Feng, selamat tinggaaaal."
***
Musim dingin di perbatasan Da Liang, Dinasti Murong
Weng weng weng
Suara dengungan yang pertama menyapa indra dengar Xin Qian. Kepalanya terasa berat. Tubuhnya seakan tercabik-cabik oleh ribuan jarum tersembunyi. Rasa kebas level maksimal menghujam dari kepala hingga ujung kaki. Kendati kesadarannya makin pulih, tubuhnya masih belum bisa bereaksi. Matanya masih terpejam. Entah berapa lama Xin Qian terbujur kaku tak bisa bergerak, dia tidak tahu. Namun sekali lagi, indera dengarnya kembali menangkap suara angin lembut yang ada di sekitar. Ujung jari mulai bisa merasakan benda lembut dan dingin di bawah tubuhnya. Sekuat tenaga berusaha membuka mata. Bulu mata panjangnya bergetar perlahan sebelum akhirnya sepasang mata bulat itu terbuka.
Hal pertama yang menyapa pandangan mata adalah sinar matahari musim dingin dengan hamparan salju memutihkan ruang dan waktu. Xin Qian mendesis kesakitan. Kepalanya terasa nyeri.
“Ke-kenapa ada salju?” Bibirnya menggumam kaku. Xin Qian berusaha duduk. Belum sempat dia menyadari keberadaannya, dia mendapati beberapa bilah pedang panjang menghunus ke lehernya.
Kesadarannya seketika terpanggil. Apa-apaan ini?
"K-kalian siapa?" Xin Qian berseru waspada. Dahinya berkerut dalam ketika melihat penampilan tiga pria yang menghunuskan pedang.
"Tuan, ini dimana?" Sekali lagi Xin Qian bertanya. Kepalanya terasa berdenyut mendapati situasi asing seperti ini.
Tak hanya penampilan tiga pria yang saat ini menghunuskan pedang yang membuat kepalanya dipenuhi ironi. Kenapa musim di tempat ini juga telah berganti? Jelas-jelas sebelumnya adalah musim panas, kenapa tiba-tiba bersalju?
Mungkinkah dia sekarang sedang dalam perjalanan ke akhirat? Apakah dia telah mati? Apakah tiga pria ini adalah penampakan Dewa Maut? T-tapi kenapa mereka semua terlihat tampan? Sosok Dewa Maut yang biasanya ada di serial televisi biasanya digambarkan sangat mengerikan. Otaknya begitu berisik dengan penyangkalan. Selama hidupnya, dia bahkan tidak percaya adanya dewa di dunia ini.
"T-tuan, a-apa kita mau ke neraka?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Xin Qian.
"Tuan, katakan padaku. Apa kita akan ke Jembatan Naihe?" Xin Qian bahkan masih bertanya apakah para pria ini benar-benar para Dewa Pencabut Nyawa.
"Jangan harap! Belum saatnya kamu pergi ke sana. Sekarang, katakan padaku kamu siapa? Berani sekali menyusup di markas militer Da Liang kami!" gertak salah satu dari pria tampan itu.
Xin Qian mengernyit linglung. Masih berusaha mengumpulkan kesadaran, dia mengerjapkan mata lebar, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Kejadian terakhir yang diingatnya, dia mengaktifkan mesin waktu. Lalu, muncul badai tornado yang menghisap tubuhnya. Seharusnya dia berteleportasi di ruangan rahasia miliknya.
Sekarang ketika sadar, bukan ruangan rahasia yang ada di depannya. Dia malah berada di tempat asing bersama orang-orang aneh yang entah siapa mereka.
Da Liang?
Tempat apa itu? Xin Qian sudah membaca begitu banyak buku, tidak pernah mendengar ada sebuah daerah bernama Da Liang. Otaknya berputar dengan cepat.
Gadis cantik itu kemudian tersadar. Hanya ada satu kemungkinan. Pusaran badai tornado itu telah melemparkannya di lokasi syuting. Pasti begitu....
“Ah, aku tahu. Pasti kalian baru syuting film kolosal, kan? Ha-ha-ha, kenapa tidak bilang dari tadi.” Sekonyong-konyong Xin Qian berdiri. Dia tertawa renyah merasa telah menemukan jawaban atas semua keanehan ini. Tidak ada kemungkinan lain. Tiga pria yang sedang menghunuskan pedang ke lehernya ini berpakaian hanfu zaman kuno. Pasti mereka sedang syuting film kolosal. Benar, tidak?
"Apa aku mengganggu kalian saat adegan syuting? Maaf. Aah, ya, sebaiknya aku segera pergi dari sini."
"Jangan bicara omong kosong! Cepat katakan siapa namamu!"
"Aku Xin Qian." Reflek, Xin Qian menjawab tanpa sadar. Dia menatap tiga pria itu bergantian. Ketiganya tidak mengendurkan kewaspadaan.
“Siapa yang menyuruh menyusup di markas kami, katakan!” Wajah ketiganya terlihat dingin, tak ada belas kasih. Xin Qian kembali mengerutkan dahi, heran.
"Mata-mata dari mana kamu?"
Xin Qian, "..."
‘Mata-mata apanya!’
"Heh? Aku bukan artis, kenapa masih memakai skrip film untuk bertanya padaku."
‘Galak sekali. Mentang-mentang jadi aktor, mereka bisa seenaknya sendiri. Lagipula apa harus menghunus pedang seperti ini? Menggelikan sekali. Aku bahkan punya senjata yang lebih keren dari kalian.’ Xin Qian memarahi tiga pria itu dalam hati.
Xin Qian mengedarkan pandangan. Lokasi ini adalah hutan di pegunungan. Dari jauh, Xin Qian bisa melihat ada barak militer dan banyak prajurit bersenjata lengkap yang hilir mudik. Xin Qian makin yakin dengan dugaannya, bahwa dia sekarang sedang di lokasi syuting drama kolosal. Sebaiknya, dia tidak berbuat kegaduhan dengan menyerang para aktor ini.
"Dimana sutradara? Aku akan bicara dengannya." Xin Qian terlalu malas untuk meladeni para aktor yang kelewat disiplin ini. Gadis itu bangkit dengan malas.
Saat melihat Xin Qian berdiri, ketiga pria itu saling pandang. Seakan melihat penampakan janggal yang belum pernah dilihat sebelumnya. Seorang wanita dengan pakaian aneh. Celana cargo dan kaos hitam lengan panjang dilengkapi dengan jaket anti peluru menjadi pemandangan asing di tempat ini.
Pandangan tiga pria itu seakan memandang rendah Xin Qian.
“Seorang wanita penghibur berani datang menyusup di Da Liang kami? Benar-benar bernyali besar!” Salah satu pria itu berkomentar pedas. Xin Qian nyaris terjungkal mendengar hinaan itu. Tidak terima.
“Hei, sejak kapan aku menjadi wanita penghibur? Jangan sembarangan bicara!” Berani sekali tiga pria ini menghinanya sebagai wanita penghibur.
“Tidak ada wanita baik-baik berpakaian seronok sepertimu, Nona. Benar-benar tidak sopan! Huh!”
“Kamu—” Belum sempat Xin Qian melampiaskan emosi, jam tangannya berkedip-kedip dengan cahaya kebiruan.
Bip Bip Bip
Tiga pria itu menjadi waspada. Wanita aneh yang menyusup ke markas militer mereka sepertinya tidak sederhana. Dia mempunyai senjata aneh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Hunusan pedang mereka makin mendekat di leher Xin Qian. Wanita ini terkejut melihat reaksi ketiganya. Kenapa mereka begitu waspada pada sebuah jam tangan?
"Ah, ini hanya jam tangan, tidak berbahaya!" sahut Xin Qian ketika sadar tiga pria itu mewaspadainya.
"Jam tangan?" Dahi tiga pria itu mengernyit dalam. Seperti tidak pernah mendengar istilah kata ‘jam tangan’.
“Kalian tidak tahu jam tangan?” tanyanya lebih pada diri sendiri.
"Lihat, jam tujuh pagi." Xin Qian tersenyum linglung. Dia menunjukkan jam tangannya pada ketiganya.
"Eum, Sepertinya jam tanganku rusak. Kenapa masih pagi?" gumam Xin Qian.
Dia ingat, tadi dia dikejar-kejar oleh anak buah Lin Chao Feng saat jam makan siang. Kenapa sekarang berubah pagi. Seketika, Xin Qian ragu dengan asumsinya.
“Kalian tidak mengenal benda ini?” Tatap matanya tertuju pada tiga pria yang masih menghunus pedang. Mereka membalas menatap dingin. Tak menjawab sepatah kata pun. Aah, mereka tidak mengenal barang seperti jam tangan yang dikenakannya. Apakah sekarang ini benar-benar ... zaman kuno?
Apakah badai tornado telah melemparkan dirinya ke masa lalu?
“Katakan padaku, apakah kalian mengenal Xin jin ping?”
Ketiga orang itu kembali saling pandang.
"Ikut kami, dan jangan coba-coba kabur jika tidak ingin kehilangan nyawa. Terlalu lama anda mengulur waktu kami dengan pertanyaan gila, Nona!” Salah satu pria yang sejak tadi diam, kini bicara dingin.
Serentak, mereka melumpuhkan Xin Qian. Sebenarnya, bisa saja Xin Qian melawan tiga pria itu. Namun, saat kembali berpikir dia tidak mengenal wilayah ini, Xin Qian mengurungkan niatnya. Ada begitu banyak prajurit bersenjata lengkap, sedangkan dia hanya sendirian. Situasinya benar tidak menguntungkan jika dia melawan.
Baru saja tiga pria itu akan membawanya pergi, sesosok tubuh tiba-tiba muncul bagai bayangan. Kedatangannya bersamaan dengan embusan angin lembut. Kibaran hanfu hitam dengan sulaman benang emas berbentuk hewan mitologi yang tampak asing bagi Xin Qian. Penampilannya tampak megah. Hanya cukup sekali lihat, orang seketika mengenalinya sebagai seorang kaisar. Xin Qian tak bisa menutupi rasa takjub.
"Yang Mulia!" Serentak tiga pria itu menunduk hormat pada pria yang barusan muncul di hadapan mereka.
Tiga pria ini memang terlihat tampan, tapi pria yang baru saja datang jauh lebih tampan berkali lipat. Fitur wajah yang gagah dengan rahang kokoh, hidung tinggi dan bibir tipis kemerahan. Sepasang matanya tajam seperti tatapan seekor elang. Rambut di dahinya membentuk huruf M lalu ada sanggul kecil dengan mahkota giok yang berkilau. Wajah ini benar-benar sangat sempurna. Lebih tampan dari aktor-aktor zaman modern.
Selama beberapa saat Xin Qian tertegun dengan ketampanan pria itu.
"Apa dia mata-mata dari Negara Qing?" Suara dingin pria itu menyadarkan lamunan Xin Qian.
"Lapor, Yang Mulia. Dia bernama Xin Qian."
Xin Qian menatap pria yang dipanggil Yang Mulia tersebut. Jika benar saat ini berada di zaman kuno, mungkin saja pria yang terlihat dingin dan bermartabat ini adalah seorang kaisar. Ada aura agung yang tidak tertandingi sehingga tiga pengawal itu hanya bisa patuh.
"Bu-bukan. Aku bukan mata-mata. A-aku datang atas perintah guru untuk membantu kalian." Xin Qian berpikir cepat. Tak ingin mati konyol dengan tuduhan mata-mata, dia harus membuat alasan yang masuk akal.
Hari ini benar-benar sial. Berhasil selamat dari sarang harimau, dia masuk ke mulut singa. Huh, Surga benar-benar sudah tidak menghendaki dirinya hidup lebih lama.
"Baiklah, aku harus menyelamatkan nyawaku lebih dulu,” desisnya pelan.
Comments