“A,a,a, ….” teriaknya dengan suara yang gagap.Tubuh Pak Rahmat terjengkang ke belakang, sehingga lelaki tua itu terjatuh dalam kondisi terduduk. Jari telunjuk kanannya menunjuk ke arah gulungan karung goni yang teronggok di bawah sebuah pohon yang rindang.“A-Ada apa, Pak?” sarah, putrinya yang berdiri tak jauh dari dirinya pun ikut merasa cemas. Wajahnya terlihat begitu panik ketika mengetahui Pak Rahmat seperti orang yang tengah melihat keberadaan sosok hantu.“I-Itu …. a-ada, m-mayat!” Pak Rahmat masih menunjuk ke arah depan dengan kondisi yang sama.“A-Apa ….?!” Sarah melihat ke arah ayahnya dengan tatapan tak percaya. Kepalanya menggeleng pelan, sedangkan kedua tangannya membekap mulutnya sendiri.“M-Mayat? Ah Bapak, jangan bercanda!” bibir Sarah tersenyum hambar,pasti ada yang salah dengan apa yang diucapkan oleh ayahnya—Pak Rahmat.Tidak ada jawaban dari, Pak Rahmat. Lelaki paruh baya tersebut tak ubahnya seperti sebuah patung hidup. Akhirnya Sarah mendekat dan memegang pundak
"Aduh!" Sarah berguling-guling dari atas bukit. Secara tidak sengaja, ia terperosok di tepi pematang yang licin. Sehingga mengakibatkan dirinya jatuh bersama, dengan sosok misterius yang telah diburu oleh beberapa orang berbadan besar."Argh ….!" ia merasa jika tulang belulangnya telah remuk satu persatu, ketika dirinya menyadari ada luka yang diakibatkan oleh insiden tersebut.Ia membuka matanya perlahan, mencari sosok yang telah membuat dirinya kerepotan seperti ini. "Oh, syukurlah! Ternyata Kamu di sana," gumam Sarah ketika mendapati korban tersebut tak jauh dari tempatnya terjatuh.Sarah sedikit kesusahan ketika hendak berdiri. Ia menahan napas, setiap kali hendak bergerak. Lalu menghembuskan perlahan ketika berhasil berdiri dengan baik.Ia mendekati sosok itu kembali. Kemudian mendekatkan kedua jarinya di sisi urat leher korban. Sarah takut jika ia tidak memenuhi janji, ketika sosok tersebut mati terlebih dahulu akibat kecerobohannya."Fiuh, Kamu pasti wanita hebat! Di saat kond
Suara deru mesin terdengar di sepanjang perjalanan. Baik Marco maupun Lucas sama-sama meredam emosi mereka. Keduanya sudah bisa bernapas dengan baik, setelah beberapa waktu yang lalu mereka harus lari menyelamatkan diri dari kejaran para warga. Tiba-tiba saja, Marco menepikan minivan di pinggir jalan. “Brengsek!” Marco memukul kemudi mobil dengan cukup keras. Hal tersebut membuat Lucas melirik dengan kesal. Mulutnya mencebik, lalu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.“Kacau, kacau, kacau!” sambung Marco yang gemas dengan diri sendiri. Ia membuka kancing atas kemejanya agar bisa bernapas dengan leluasa. Hingga beberapa menit, mereka saling diam untuk mengontrol keadaan. Marco membuka kaca jendela untuk menghirup udara segar. Ia mengeluarkan satu kotak rokok filter, lalu menyalakan api dengan pemantik. Marco menghisapnya, dan tak lama kemudian kepulan asap sudah mengudara. Sehingga tercium aroma mint yang khas dari arah, Marco.“Maaf,” kata yang keluar dari mulut Lucas memecah
Elektrokardiograf (EKG), sebuah alat yang bisa mendeteksi irama detak jantung tersebut terdengar memecah keheningan. Di sebuah kamar Rumah Sakit Umum Daerah, di dalam kamar berukuran yang tidak seberapa besar. Terbaring seseorang dengan selang infus di pergelangan urat nadi sebelah kanannya. Seseorang yang berjenis kelamin perempuan tersebut, semakin terlihat menyedihkan dengan selang oksigen yang terpasang di bagian hidungnya.“Apa tidak ditemukan identitas apapun pada pasien ini, Sus?” tanya dokter umum yang datang berkunjung pagi ini. “Tidak ada, Dok. Kebetulan pasien ditemukan dalam kondisi yang …." kalimat suster mengambang, ia menghentikan ucapannya. Suster tersebut ragu, lalu menggigit bibir bawahnya karena takut salah bicara."Kenapa, Sus? Apa ada masalah?" tanya dokter yang baru saja selesai masa magangnya tersebut dengan mengernyitkan kedua alisnya."Kebetulan pasien di kamar ICU yang menyelamatkannya, Dok,” jelas suster jaga pada Dokter yang berperawakan 175 centimeter ter
Attala Zain Dimitri, atau yang lebih akrab dipanggil Zain meraih tangan, Rose. Keduanya lebih memilih untuk menepi dari hingar bingar dan hentakan musik dari atas panggung yang digelar. Pesta kelulusan sekolah, membuat muda mudi itu harus mengadakan satu perhelatan akbar di luar kota. Tepatnya di pulau Dewata, Bali. Sebuah pulau yang sangat indah dengan panoramanya.Ya, di sinilah mereka sekarang. Di sebuah resort tepi pantai Kuta, yang sangat indah dengan sunsetnya. Banyak hal yang mereka ukir di tempat tersebut, tak terkecuali mereka berdua—Zain dan Rose."Aku harus meneruskan sekolah ke Australia. Papa, menginginkan aku agar kelak bisa memimpin perusahaan keluarga." Zain, yang berdiri di depan balkon sedang memandang indahnya pantai Kuta. Dimana saat malam seperti ini, air laut sedang pasang dan ombaknya berlomba-lomba saling menggulung untuk mencapai ketepian."Lalu, bagaimana dengan hubungan Kita Zain?" Rose, seorang gadis bernama lengkap Diana Rosalina itu terlihat muram."Aku
Pak Rahmat, pria paruh baya tersebut duduk termangu memandang ke arah brankar. Di ruang ICU telah terbaring putrinya, Sarah. Luka tembak yang telah menembus bahu sebelah kiri, Sarah. Telah melumpuhkan beberapa syaraf otot di tubuhnya, terutama area jantung.Ia menatap dengan nanar, setelah menyadari ada seseorang yang datang dan berdiri di sampingnya. Pak Rahmat terkesiap, lekas ia bangkit dari tempat duduknya. "P-Pak Dokter," ujarnya dengan gugup. Sepertinya, pengalaman bersama petugas kepolisian membuat orang tua itu masih menahan rasa takut. Pak Rahmat takut dipenjara!"Tenanglah, Pak Rahmat. Maaf jika saat ini saya datang berkunjung tidak sesuai jadwal," dokter Frans menatap pasiennya dari balik kaca riben. Ya, tidak sembarang orang bisa masuk ke ruang ICU, meskipun itu adalah pihak keluarga."Tidak apa-apa, Pak Dokter. Apa ada hal penting yang akan dokter sampaikan pada saya?" lelaki itu menatap sang dokter dengan wajah kasihan. Ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi putri satu-
Angin sore begitu menyejukkan baginya. Perempuan yang dikenal tanpa nama tersebut tengah duduk di atas kursi roda, tatapan matanya kosong ke depan. Hingga ia tidak menyadari, jika suster membawakan semangkuk bubur untuknya. “Makan dulu, ya! Biar cepat sembuh,” ujar suster perawat tersebut dengan mengangsurkan sendok di depan mulutnya. Sampai beberapa detik berlalu, perempuan berwajah pucat itu tidak bergeming sedikitpun. Sang suster hanya bisa menghela napas dengan perlahan, lalu menaruh kembali mangkuk bubur ke dalam nampan yang terletak di sebuah meja taman. “Mau aku ambilkan minum?” suster mengambil segelas air putih, tapi tetap saja ia tidak merespon apa yang sudah ditawarkan oleh suster yang sudah merawatnya sore ini. “Huft ….” suster tersebut mencoba untuk mengatur kesabarannya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum meskipun terasa sangat pahit. “Kalau tidak mau makan, mana bisa minum obat? Kamu mau sembuh, kan?” rayu suster perawat itu dengan membelai rambutnya yang terurai.
“Nona Rose tidak saya temukan, Tuan,” Ramon memberikan sebuah informasi yang membuat Zain sedikit meradang. “Sudah kamu cari dengan benar, Ramon?” Zain menoleh pada pengawal pribadinya tersebut. Ia sempat memicingkan kedua matanya untuk memastikan ucapan sang bodyguard, Ramon.“Sudah, Tuan. Saya sudah menyambangi rumah, nona Rose. Tidak ada keterangan apapun dari sana, termasuk para warga.” Terang Ramon yang menjelaskan situasi yang telah didapatkan setelah mencari keberadaan, Rose.“Kenapa tidak usaha mencari ke tempat lain, Ramon?” lanjut Zain yang mulai murka dengan kegagalan tugas yang diperintahkan pada sang bodyguard.“Tempo hari saya mencari nona, ke sekolah putri Anda. Tapi tidak saya temui nona Rose di sana.” Ujar Ramon kembali, ia mengatakan apa yang telah dijalankan beberapa hari ke belakang. Ramon sibuk mencari keberadaan Rose yang tiba-tiba saja menghilang, setelah malam itu mereka bertemu untuk yang terakhir kalinya.Brak!“Brengsek!” Zain melempar sebuah map yang kini