Malam itu diantar Rohanda, Vinza datang ke panti untuk bertemu David. Melihat Vinza di halaman panti, David lekas berlari dan memeluk gadis itu. “Kamu ke mana? Kenapa enggak ke sekolah? Bapak kamu enggak nyakitin kamu, kan?” tanya David.
Vinza menggeleng. David memeluknya, tetapi langsung Vinza dorong. “Kita putus saja, Vid,” ungkap Vinza.David diam. Ia kaget. “Kenapa? Aku sayang kamu, Vin. Aku akan ngomong sama Bapak kamu. Aku bakalan kasih dia uang banyak asal kita bisa sama-sama lagi. Aku enggak mau kehilangan kamu,” tegas David.“Sebanyak apa? Apa bisa lebih banyak dari uang Pak Dedih, juragan kambing? Kalau enggak sebanyak itu, mending kamu mundur. Biar aku nikah sama anak Pak Dedih. Masa depan aku lebih kejamin, Vid.”“Apa?” David kaget mendengarnya. “Vin, yang bener! Kamu masih sekolah. Gimana caranya mau nikah. Enggak! Kalau pun kamu mau nikah, aku yang akan nikahin kamu!”Vinza tetap menggeleng. “Aku sadar. Kalau kamu itu anak enggak jelas. Mungkin sudah nikah, aku bakalan hidup melarat sama kamu. Aku enggak mau. Kita putus saja.”Melihat itu Rohanda tertawa. Vinza berbalik dan meninggalkan David di sana sendirian. David berlutut. “Kamu kok gitu, Vin? Padahal aku beneran sayang sama kamu. Aku beneran mau nikah sama kamu,” batinnya. Lirih David melihat Vinza berjalan semakin menjauh. Sedang Vinza menangis. Ia tak bisa membayangkan akan menikah dan hidup dengan pria setua Hadi yang lebih cocok jadi pamannya.***Vinza masih duduk di sisi jendela. Ia menangis berhari-hari menangisi takdir. Sudah malas baginya untuk makan bahkan mandi. Bukan hanya karena tak bisa lagi bertemu David. Vinza pun akan resmi menjadi istri pria tua dalam hitungan hari.“Vin, makan dulu. Kamu harus kuat supaya bisa duduk di pelaminan buat nyalamin tamu nanti!” tawar ibunya.Vinza menggeleng. Mungkin hanya dia pengantin yang mengutuk hari pernikahannya. Dia malu bertemu dengan teman-teman. Apalagi ia putus sekolah untuk menikah karena uang. Iya, ‘kan? Terlihat jelas.“Neng, makan dulu!” Lagi, Romlah, ibunya Vinza memanggil.Tak tahan dengan panggilan ibunya, Vinza turun dari jendela. Namun, ia terjungkal dan jatuh ke lantai. Tubuhnya lemas. Romlah yang melihat itu lekas berlari masuk ke kamar dan meraih Vinza. “Neng, kenapa kamu?” tanya wanita itu khawatir.Vinza masih mendengar suara ibunya saat itu pun dengan wajah khawatir Romlah. Tak lama ia melihat wajah Rohanda dan gelap. Begitu bangun, Vinza sudah berada di ruang perawatan. Terlihat dari pintu ruangan yang terbuka orang tuanya tengah beradu argumen dengan keluarga Pak Dedih. Tak tahu apa yang mereka ributkan.Vinza bangkit sambil berpegangan ke ranjang pasien. “Mana mau anakku dinikahin dengan perempuan kotor begitu! Ini masalah serius! Anak kamu itu tukang zina!” teriak Pak Dedih.Vinza kaget, ia turun dari ranjang pasien dan berjalan sambil berpegangan ke dinding. Para perawat di sana menonton kejadian itu. “Bu, ada apa?” tanya Vinza.Romlah yang melihat putrinya lekas mendekati Vinza dan memeluk anak itu. “Vin, siapa bapaknya? Siapa bapak anak kamu?” tanya Romlah.Jelas Vinza terbelelak. “Anak? Anak apa?” tanya Vinza.Pak Dedih dan Hadi menatap Vinza dengan tajam. “Kembalikan uang lamaran yang kami beri! Kami anggap hutang! Kalau enggak bayar, ladangmu kami ambil!” ancamnya.Pak Dedih dan Hadi langsung meninggalkan tempat itu. Rohanda menatap tajam Vinza. Ia hampiri dan tampar anak perempuan satu-satunya itu. “Anak kurang ajar! Berani kamu bikin malu orang tua! Siapa? Siapa yang hamilin kamu?” bentak Rohanda.Vinza menggeleng. Ia usap pipinya yang nyeri dan sakit. “Sudah, Pak. Jangan kasar gitu sama anak kita. Dia anak kita satu-satunya!” tangis Romlah pecah.“Halah! Kamu itu manjain anak kamu, makanya dia jadi wanita murahan kayak gitu!” bentak Rohanda.Vinza lekas berlutut di depan bapaknya. “Pak, maafin Vinza, Pak. Vinza enggak tahu bakal kayak gini. Maaf,” ucap Vinza.Namun, Rohanda mendorongnya hingga Vinza jatuh ke lantai. “Ini pasti kerjaan anak enggak jelas itu, kan!” Rohanda lekas pergi ke luar.Vinza sudah tahu akan ke mana bapaknya pergi. Ia mencoba menyusul dengan tubuhnya yang lemas. Romlah bantu memapah anaknya. Benar apa yang Vinza kira. Bapaknya pergi ke panti tempat David tinggal. Di sana Rohanda membuat keributan.“Berapa kali aku bilang. Sudah dua minggu David pergi dari sini. Dia cuman ninggalin surat kalau dia sudah nemuin orang tuanya. Ini juga kami bantu lapor ke polisi.”Mendengar itu, Vinza rubuh. Ia duduk berlutut. Tangisnya pecah. “Bohong! David ke mana? Dia harus tanggung jawab! Anakku gimana kalau enggak ada ayahnya? Bu, tolong cari David!”Bu Afifah kaget mendengar pengakuan Vinza. Ia dekati wanita itu dan memeluknya. “Ya Allah, Neng. Kenapa bisa gini? Iya, biar ibu bantu carikan. Ibu janji.”Nyatanya David tak kembali. Ladang Rohanda dijual demi menutupi hutang pada Dedih juga pada bank. Hutang yang membengkak yang dulu ia ambil sebagai modal bertani. Akhirnya Rohanda jatuh sakit, kena stroke.Saat itu Vinza merasa hidupnya semakin hancur. Mencoba mengugurkan pun, ia selalu gagal. Akhirnya terpaksa Vinza meneruskan kehamilan. “Nanti kalau lahir, biar Bibi yang rawat dia,” pinta saudara jauh Vinza yang sudah lama tak punya anak. Dibandingkan diasuh ibu muda yang belum punya pengalaman, bibinya berpikir lebih baik dia yang mengasuh dan didik dengan baik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tua kelak.Awalnya Vinza mengiyakan. Namun, begitu bayinya lahir. Vinza menolak. Ia ingin membesarkan anaknya sendirian. Apalagi ketika bayi mungil itu memegang pipinya dengan lembut. Terlihat lucu hingga tersentuh sisi keibuan Vinza dengan sendirinya. Walau tak lama setelah itu kemalangan kembali bertambah.“Bapakmu sakit, Vin. Ibumu juga sudah terlalu tua untuk meladang. Kamu mau kasih makan anak itu dari mana?” tanya Wati, bibinya. Wanita itu seperti sengaja mengompori Vinza.Udin, paman Vinza menawarkan agar keponakannya itu menjadi TKW di Taiwan melalui temannya yang
“Dia jadi pergi?” “Iyalah, lumayan duitnya puluhan juta. Gaji pabrik saja enggak segitu.” “Lebih gede dari gaji PNS!” “Sayang harus jual aqidah! Di sana pasti makan babi!” “Lha, pakek mikirin aqidah. Keperawanan saja dia kasih gratis. Anaknya saja haram.” Begitulah ucapan tetangga saat Vinza berangkat ke Taiwan. Dia menjadi bahan cemoohan, bahkan sempat diusir karena dianggap membawa petaka di kampung. Vinza tak mau menyalahkan sikap mereka, dia tahu diri. Di sini dia yang salah dan mungkin apa yang ia lakukan dulu akan dicontoh anak lainnya di kampung itu. Biarlah, jadi pembelajaran ke depannya untuk Vinza agar berhati-hati memilih pasangan. Pasangan? Yang seperti apa? Apa bisa orang itu menerima dirinya dan Rufy? “Vin, kamu mau sayur ini?” tawar tetangga. Selama dua tahun tinggal di sini, Vinza mungkin sudah lama lupa rasanya makan daging. Selain takut tanpa sengaja memakan daging babi, ia bersyukur Nenek seorang vegetarian. “Terima kasih, Bu.” Vinza menerima sayuran itu. Ia
“Kok enggak nyambung, sih?” pikir Vinza. Ia sudah coba menelpon pamannya. Namun, tak juga tersambung. Ia mencoba berpikir apa penyebab yang pas kenapa Udin sulit dihubungi. “Mungkin lagi ke sawah Mang Udinnya.”Vinza menyimpan ponsel di atas nakas dan kembali memasak untuk makanan Nenek sore itu. Sedang di Indonesia, Udin bingung sendiri. Jika ia biarkan Rufy bicara dengan ibunya, Vinza akan tahu soal Romlah dan pulang ke sini. Artinya wanita itu akan tahu gajinya selama ini dilipat oleh Udin untuk biaya hidup keluarganya. “Terus mau gimana? Mana si Upi dari tadi nangis terus. Aku pusing, Kang!” omel Sulastri, istri Udin. “Bawa jajan dulu kenapa? Inget, kita butuh duit ibunya!” “Mau sampai kapan? Nanti kalau sampai si Vinza ngehubungin lewat orang lain gimana? Dia pasti nuntut kita, Kang!” Sulastri sudah ketakutan sendiri. Apalagi bukan sedikit uang yang mereka ambil setiap bulannya. Dari dua belas juta uang Vinza hanya dua juta yang diberikan. Itupun kadang dipotong dengan alasan
Tak ada yang curiga Rufy dibuang di sana. Anak itu malah terpaku akan banyaknya hal yang ia lihat. Ada tukang ayam, ia ikuti. Tak lama ia diam di lapak ikan. “Ouh, auk (lauk=ikan) item!” seru Rufy menunjuk ikan mas. Rufy yang tadinya ditinggal di sisi sepi pasar itu, kini berpetualang ke keramaian pasar. Klotek ... klotek ... Sebuah suara memancing rasa penasaran. Anak itu berbalik dan melihat ada helikopter dari dus dan kayu. Benda itu kalau digesekan ke tanah berbunyik klotek-klotek dan baling-balingnya berputar. “Heli!” seru Rufy menghampiri penjual itu. “Pak, mo eli!” pinta Rufy. “Ibunya mana?” tanya Bapak itu. Rufy mengusap kepala. “Bunda Insa? Dak ada. Tugu sana!” tunjuk Rufy ke kejauhan. Penjual itu melihat ke arah yang Rufy tunjuk. Ada seorang ibu tengah duduk di sisi lapak sayur sambil meminum es kelapa. “Minta uang dulu. Baru nanti dikasih,” jelas penjual heli. “Uang, ya?” pikir Rufy. Ia menggaruk kepala. “Emak dak ada uang.”“Kalo gitu enggak boleh.” Penjual Heli itu
Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza. “Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana. “Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza. Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang t
“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok. “Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya. “Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid. Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian. Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa
Mobil itu menepi di sebuah desa. Selama tiga tahun ia pergi, kampung itu tak banyak berubah. Jalanannya masih bebatuan dan rimbun pepohonan tinggi di mana warga mengaitkan kehidupan, ada pohon jati, kemiri, petai, jengkol hingga melinjo. Mengenakan hoodie, ia berjalan menyusuri jalan kampung. Beberapa anak-anak kagum melihat betapa mengkilat mobil yang ia parkir di sana. Hitam dan bersih pun bodynya besar juga garang. Beberapa ada yang berubah. Kandang kambing yang biasa digunakan siswa-siswa SMP dekat kampung itu untuk buang air kini tak ada. Sawah berganti menjadi rumah dan lahan cabe rawit. Kini ia berhenti di depan sebuah rumah yang sudah reot. Kacanya pecah dan halaman terlihat kotor penuh debu dan daun berserakan. “Mereka pindah?” pikir David. Ia berbalik. Kembali David berjalan ke rumah besar tak jauh dari sana. Ada rumah gedung berlantai dua dengan cat jingga. Ada seorang perempuan tengah mengandung. Ia menyapu halaman dengan sapu lidi. “Ini rumah Pak Dedih?” tanya David.
“Assalamu’alaikum, Bu Ifa?” tanya Vinza. “Neng, David ke sini tadi. Dia nitipin surat ke satpam. Tapi Ibu enggak sempat ketemu. Tapi dari surat yang dia tinggalin katanya mungkin nanti ada orangnya datang ke sini kasih sumbangan. Ibu nanti akan titip pesan ke mereka, ya?” ungkap Bu Ifa. “Iya, Bu. Makasih. Sekalian ngomong sama Si Berengsek itu kalau anaknya ilang!” timpal Vinza. “Iya, Neng. Gimana? Belum ada kabar soal Rufy?”“Boro-boro, Bu. Ada yang nelpon malah orang aneh semua. Kemarin Vizna di PHPin. Katanya nemuin Rufy dan ajak ketemuan di alun-alun. Vinza tungguin sampai berjam-jam, orangnya enggak ada, Bu.”“Astaghfirullah. Kasian sekali kamu. Yang tabah, Neng.”“Iya, Bu. Makasih banyak.”Setelah menutup telpon. Vinza menghentakan kaki ke lantai. “Emang enggak tahu diri dia! Harusnya dia tanya-tanya sama orang! Andai saja aku ketemu sama dia! Sudah aku lelepin ke balong (kolam)!” pekik Vinza kesal. David tiba di apartemennya. Ia melepas hoodie dan melempar ke atas meja. Tub