“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
“Rufy?” Akhirnya apa yang ditunggu Vinza sedari tadi terwujud juga. “Bunda! Upi angen banget!” jawab Rufy dengan nada penuh rindu.Suara putranya begitu terdengar lucu dan menggemaskan. Tak terasa sudah sekian lama dia sendirian berjuang di Taiwan demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Walau, ia tak bisa bertemu putranya setiap hari. Meski dalam hati ingin mencubit gemas pipi Rufy yang tembem, mendengar celoteh gemasnya pun melihat dia tumbuh semakin mandiri.“Bunda juga kangen sama Rufy. Rufy sudah makan?” Vinza menahan air mata seperti dia menahan rasanya sebagai ibu yang ingin mengasuh dan mengurus anaknya setiap hari.“Udah. Api lom maen,” jawab anak itu sambil mengusap perutnya yang mungil.“Kenapa? Habis telpon Bunda, Rufy main, ya?” Rufy menggeleng. Anak itu memegang pipi dengan kedua tangannya. “Dak da mo main Upi. Emen dak suka Upi.” Suara anak itu berubah sedih.“Enggak suka karena apa?” Vinza kembali bertanya.“Upi anak halam,” jawab anak itu membuat Vinza tersentak. Peri
Vinza menyapu rumah tempat nenek yang ia jaga. Sudah dua tahun lebih dia tinggal di negara ini. Tugasnya mengurus seorang nenek yang sudah tua dan tak bisa lagi berjalan hingga duduk di kursi roda. Vinza bantu memandikan, menyuapi dan memberi obat yang sudah dokter resepkan. Jika malam sebelum nenek tidur, Vinza akan memijiti kakinya.Musim panas di Taiwan sangat terasa hingga tulang. Keringat bercucuran. Kadang suhunya bisa mencapai empat puluh derajat celcius hingga kipas angin seakan tak berfungsi. Padahal di rumah ini tidak ada AC. Kadang kalau malam, Vinza nekat tidur di lantai agar tak merasa gerah. Sudah bersih lantai rumah yang berbentuk ruko itu. Vinza mengusap keringat yang jatuh ke pipi hingga menuju leher. Di atas sana, matahari begitu terik. "Lelah banget, Ya Allah." Punggung terasa seperti patah. Kerongkongan kering. Apalagi saat melihat semangka berbaris di toko yang tak jauh dari rumah.Tuk! Sapu di tangan Vinza jatuh begitu saja ke lantai. Wanita itu tertegun. Ia u
Malam itu Vinza tak bisa tidur. Ia masih terus memutar otak bagaimana caranya meminjam seorang pria untuk pura-pura menjadi ayahnya Rufy. Anaknya sangat cerdas, ia bukan anak yang cepat lupa. Vinza jadi mengenang saat dia janji mengirimkan mainan mobil tahun lalu. Karena tergesa-gesa, Vinza lupa membeli mainan itu. Ia pikir minggu depan saat menelpon, Rufy pasti lupa. Tidak, anak itu masih ingat dan menagihnya. Kini tubuh Vinza merebah. Ia tatap langit-langit kamar. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, tetap tak bisa. Andai saja dia tak membuat kesalahan, mungkin tak akan ada di posisi ini. Kesalahan terbesar yang membuat masa remajanya runtuh. FLASHBACK“Pulang bareng, Vin?” tawar David, teman satu sekolahnya saat SMA dulu. David seorang yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, tak jauh dari rumah tempat Vinza tinggal. “Tumben! Bisanya juga bareng temen kamu.” Vinza melirik ke belakang. Teman David sedang jongkok di gerbang untuk menggoda setiap anak perempuan yang lewat. David
Malam itu diantar Rohanda, Vinza datang ke panti untuk bertemu David. Melihat Vinza di halaman panti, David lekas berlari dan memeluk gadis itu. “Kamu ke mana? Kenapa enggak ke sekolah? Bapak kamu enggak nyakitin kamu, kan?” tanya David. Vinza menggeleng. David memeluknya, tetapi langsung Vinza dorong. “Kita putus saja, Vid,” ungkap Vinza. David diam. Ia kaget. “Kenapa? Aku sayang kamu, Vin. Aku akan ngomong sama Bapak kamu. Aku bakalan kasih dia uang banyak asal kita bisa sama-sama lagi. Aku enggak mau kehilangan kamu,” tegas David. “Sebanyak apa? Apa bisa lebih banyak dari uang Pak Dedih, juragan kambing? Kalau enggak sebanyak itu, mending kamu mundur. Biar aku nikah sama anak Pak Dedih. Masa depan aku lebih kejamin, Vid.”“Apa?” David kaget mendengarnya. “Vin, yang bener! Kamu masih sekolah. Gimana caranya mau nikah. Enggak! Kalau pun kamu mau nikah, aku yang akan nikahin kamu!”Vinza tetap menggeleng. “Aku sadar. Kalau kamu itu anak enggak jelas. Mungkin sudah nikah, aku bakala
Saat itu Vinza merasa hidupnya semakin hancur. Mencoba mengugurkan pun, ia selalu gagal. Akhirnya terpaksa Vinza meneruskan kehamilan. “Nanti kalau lahir, biar Bibi yang rawat dia,” pinta saudara jauh Vinza yang sudah lama tak punya anak. Dibandingkan diasuh ibu muda yang belum punya pengalaman, bibinya berpikir lebih baik dia yang mengasuh dan didik dengan baik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tua kelak.Awalnya Vinza mengiyakan. Namun, begitu bayinya lahir. Vinza menolak. Ia ingin membesarkan anaknya sendirian. Apalagi ketika bayi mungil itu memegang pipinya dengan lembut. Terlihat lucu hingga tersentuh sisi keibuan Vinza dengan sendirinya. Walau tak lama setelah itu kemalangan kembali bertambah.“Bapakmu sakit, Vin. Ibumu juga sudah terlalu tua untuk meladang. Kamu mau kasih makan anak itu dari mana?” tanya Wati, bibinya. Wanita itu seperti sengaja mengompori Vinza.Udin, paman Vinza menawarkan agar keponakannya itu menjadi TKW di Taiwan melalui temannya yang