Share

5. Nasibku malang sekali

Saat itu Vinza merasa hidupnya semakin hancur. Mencoba mengugurkan pun, ia selalu gagal. Akhirnya terpaksa Vinza meneruskan kehamilan. “Nanti kalau lahir, biar Bibi yang rawat dia,” pinta saudara jauh Vinza yang sudah lama tak punya anak. Dibandingkan diasuh ibu muda yang belum punya pengalaman, bibinya berpikir lebih baik dia yang mengasuh dan didik dengan baik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tua kelak.

Awalnya Vinza mengiyakan. Namun, begitu bayinya lahir. Vinza menolak. Ia ingin membesarkan anaknya sendirian. Apalagi ketika bayi mungil itu memegang pipinya dengan lembut. Terlihat lucu hingga tersentuh sisi keibuan Vinza dengan sendirinya. Walau tak lama setelah itu kemalangan kembali bertambah.

“Bapakmu sakit, Vin. Ibumu juga sudah terlalu tua untuk meladang. Kamu mau kasih makan anak itu dari mana?” tanya Wati, bibinya. Wanita itu seperti sengaja mengompori Vinza.

Udin, paman Vinza menawarkan agar keponakannya itu menjadi TKW di Taiwan melalui temannya yang menjadi agen. Akhirnya enam bulan setelah melahirkan. Vinza berangkat ke Taiwan. Sedih, pasti. Ia harus meninggalkan bayi kecil yang masih butuh ASI dalam asuhan ibunya yang sudah sepuh. Apalagi sang ayah juga butuh dirawat. Iya, Vinza ikhlas menanggung ini semua. Dia sudah sangat bersalah.

Iya, Vinza tak tega. Hanya saja ia tak punya pilihan lain. Sekarang sudah dua tahun lamanya Vinza di sini, jauh dari anak dan ibunya. Bapaknya sudah meninggal tahun lalu dan Vinza hanya bisa melihat prosesi pemakaman melalui video call. Satu demi satu petaka menghampiri Vinza. Namun, itu membuatnya jauh lebih kuat menghadapi hidup. Iya, dia kini tulang punggung keluarga. Dia menjadi ibu dan ayah untuk Rufy.

Di sisi lain, pria yang harusnya ikut menanggung kesedihan itu tengah duduk di railing sebuah kapal pesiar. Kemeja putih dan jas hitam dari Givenchy membalut tubuh atletis yang gagah dan berkulit putih. Beberapa penjaga melihatnya dari jauh untuk melindungi takut sesuatu buruk terjadi.

Terdengar bunyi ketukan sepatu hitam Prada yang ia ketukan di lantai kapal itu. Matanya menatap ke lautan sambil memegang ponsel berdesain mewah terbaru yang dilapisi emas. “Aku pikir mereka memang tak punya pilihan lain, Ru. Mau enggak mau mereka harus memotong ekor dan salah satunya Papamu,” ungkap David.

“Aku harus gimana, Vid?” tanya Biru Bamantara dari seberang sana.

“Terima permintaan itu untuk jadi Chairman di sana. Aku akan selidiki pelan-pelan.”

“Gimana? Apa kamu bisa selidiki dari sana?”

David menggeleng. Ia berdiri dan memberi kode agar pelayan membawakannya minum. “Kamu sudah nolong aku temukan keluargaku. Enggak mungkin aku diam saja tahu kamu kayak gini. Aku akan datang ke Bandung dan bantu tuntasin semuanya.”

“Yakin?” tanya Biru.

“Kenapa enggak? Hanya satu, siapin posisi paling dekat sama kamu.”

“Posisi paling dekat gimana?”

“Yang bikin kita ketemu terus supaya bisa sering komunikasi dan pasti kalau pun aku harus pergi ke suatu tempat, tak juga mengundang rasa penasaran.”

Biru mencoba mencerna maksud pria yang sebenarnya lebih muda darinya itu. “Ouh, oke. Aku mengerti. Kapan kamu ke Bandung kasih tahu aku!”

Tak lama mereka saling menutup panggilan. Pelayan datang membawa segelas air putih di nampan. David ambil gelas kristal itu dan meneguk isinya.

“Siapkan untuk mendarat. Aku harus pergi ke luar negeri,” ucap David.

“Maaf, Tuan Muda. Apa anda sudah izin pada CEO?” tanya ketua penjaganya.

“Aku bukan bocah kemarin sore! Lagipula kuliahku sudah selesai, ‘kan?”

“Tuan besar ingin anda melanjutkan Strata dua. Anda pasti bisa menyelesaikannya jauh lebih cepat.”

David mendecakan mulutnya. “Nanti! Aku mau liburan dulu!” tekan David kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status