Malam itu Vinza tak bisa tidur. Ia masih terus memutar otak bagaimana caranya meminjam seorang pria untuk pura-pura menjadi ayahnya Rufy. Anaknya sangat cerdas, ia bukan anak yang cepat lupa. Vinza jadi mengenang saat dia janji mengirimkan mainan mobil tahun lalu. Karena tergesa-gesa, Vinza lupa membeli mainan itu. Ia pikir minggu depan saat menelpon, Rufy pasti lupa. Tidak, anak itu masih ingat dan menagihnya.
Kini tubuh Vinza merebah. Ia tatap langit-langit kamar. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, tetap tak bisa. Andai saja dia tak membuat kesalahan, mungkin tak akan ada di posisi ini. Kesalahan terbesar yang membuat masa remajanya runtuh.FLASHBACK“Pulang bareng, Vin?” tawar David, teman satu sekolahnya saat SMA dulu. David seorang yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, tak jauh dari rumah tempat Vinza tinggal.“Tumben! Bisanya juga bareng temen kamu.” Vinza melirik ke belakang. Teman David sedang jongkok di gerbang untuk menggoda setiap anak perempuan yang lewat.David, pria berkulit putih dengan mata sipit itu memang sangat menggoda. Tubuhnya tinggi dan tegap. Banyak yang berpikir kalau dia keturunan Korea. Nyatanya tak ada yang tahu. Sejak bayi dia dibuang di depan panti dan tumbuh di sana hingga kini. Tak pernah sekali pun ada seseorang yang mencarinya dan mengaku sebagi orang tua.“Itu, aku sekalian mau ngomong sesuatu sama kamu.”“Ngomong apa?” Vinza menaikan alis. Ia harus sedikit menunduk saat berjalan karena jalan kampung yang ia lewati masih berupa jalan bebatuan. Salah-salah bisa tersandung.“Maju dikit enggak apa-apa? Atau kita cari tempat sepi gitu?”Vinza sama sekali tak curiga. Ia iyakan tawaran David itu. Mereka berjalan ke sisi, tepatnya ke pesawahan dan duduk di saung. David menunduk sambil menggeser-geser kakinya ke pematang sawah.“Ada apa?” tanya Vinza karena David tak juga bicara.“Kamu sama si Fathur udah jadian?”Vinza terkekeh. “Yang bener saja! Ogah aku! Dia saja masih anak mamih, kok. Tadi pagi saja aku liat dia disuapi.”David ikut tertawa. “Yang bener?” tanya David lagi.“Serius.” Vinza mencabut rumput yang tubuh di tanah yang ia injak. “Eh, asli! Kamu mau ngomong apa?”“Aku suka sama kamu, Vin. Kamu mau pacaran sama aku?” tanya David. Kali ini pria itu langsung terbuka.Vinza meneguk ludah. “Yang bener! Jangan bercanda.”“Beneran.” David raih jemari Vinza. Ia pegang erat tangan gadis itu. “Aku sayang sama kamu. Mau jadi pacar aku? Aku bakalan jagain kamu. Janji!”Mata Vinza dan David saling bertatapan. Gadis mana di usia itu tak bahagia ditembak pria setampan David. Vinza tak perlu lama berpikir. Ia terima perasaan pria itu.Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa kini mereka sudah berada di semester akhir. Hubungan Vinza dan David masih awet. Bapak Vinza yang tahu soal itu dari Fathur, sempat marah. Ia tak mau menerima David yang tak jelas asal usulnya.“Kayak enggak ada laki-laki lain kamu! Gimana kalau ternyata dia anak haram? Mau hancurin masa depan kamu? Bisa apa dia! Orang tuanya saja buang dia! Masa mau kamu pungut!”“Tapi Vinza sayang sama dia, Pak.”“Halah! Cinta! Cinta! Kamu itu masih sekolah! Fokus sama sekolah kamu! Bukannya malah pacaran sama anak enggak jelas. Kalau kamu masih pacaran sama dia! Aku nikahin kamu sama anak juragan kambing!” ancam Bapaknya.Namun, tak semudah itu Vinza bisa melupakan David. Mereka masih berhubungan walau harus diam-diam. Untuk menumpahkan rasa rindu, mereka bertemu di hutan desa yang jaraknya tak jauh dari ladang warga. Jarang ada manusia pergi ke sana.“Sampai kapan kita mau kayak gini, Vid. Kamu ngomong gitu sama Bapakku. Jelasin kalau kamu bisa jaga masa depanku,” pinta Vinza.David memeluk kekasihnya. “Iya, ini juga lagi usaha. Aku mau kumpulin uang supaya bisa liatin ke Bapak kamu.”“Uang dari mana? Kita cuman anak sekolahan.”“Sabar, dong. Yang penting kita bisa sama-sama kan?” David kecup kening Vinza. Tangannya mengusap punggung tangan Vinza. “Kamu cantik, Vin. Tahu enggak, setiap malam aku selalu inget sama kamu.”“Beneran? Inget apa?”“Banyak. Senyuman kamu. Semuanya, deh!” ungkap David. Ia kecup bibir Vinza. “Aku sayang kamu.”Gombalan demi gombalan David keluarkan hari itu. Vinza semakin larut dalam cintanya. Dari kecupan di bibir hingga hari itu ia berikan sesuatu yang harusnya ia jaga hingga ia menikah.“Vid, aku takut kalau Bapakku tahu. Dia bisa ngamuk,” ucap Vinza sambil meraih pakaiannya yang sudah tanggal.“Ya, kamu jangan kasih tahu, dong. Kita diam saja sampai aku nikahin kamu, ya?” timpal David sambil berpakaian.Bagaimanapun seorang wanita yang sudah hilang kegadisannya, Vinza sangat takluk pada David. Setiap kali David meminta hal yang sama, Vinza pasti mengiyakan. Apalagi kalau David sudah mengeluarkan kata sakti.“Cewek lain pasti mau tidur sama aku,” begitu alasannya. Hingga Vinza tetap penuhi hasrat pria itu.Sepandainya tupai melompat, pasti akhirnya jatuh juga. Hendak berbuat tak senonoh untuk ke sekian kalinya, Vinza ketahuan oleh Bapaknya. Jelas saat itu Bapaknya murka. Rohanda meninju wajah David hingga pria itu jatuh.“Berapa kali aku bilang! Jauhi putriku! Anak enggak jelas juga! Mimpi kamu bisa dapatin anakku? Supaya kamu bisa nikmatin warisanku?” Rohanda meludahi David. Sedang pria itu tak bisa berkata-kata. “Awas kamu kalau berani dekati anakku lagi! Ini arit (sabit) bakalan ngelayang ke leher kamu!” ancam Rohanda.“Pak, aku beneran sayang sama anak Bapak. Kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku pantas buat dia,” pinta David meraih kaki Rohanda. Namun, David didorong.“Enggak sudi! Anak haram kayak kamu mana pantas dapatkan anakku!”Vinza diseret pulang. Di rumah ia dimarahi habis-habisan. Besoknya Vinza dilarang keluar rumah. Bahkan sekadar untuk sekolah. Tiba-tiba juragan kambing yang rumahnya masih satu RT dengan Vinza datang bersama anaknya, Hadi. Pria itu sudah agak tua, berbeda dua puluh tahun dengan Vinza.Jelas Vinza histeris. “Ngapain dia ke sini, Bu? Ngapain? Vinza enggak mau!” tolak Vinza. Namun, baru sampai di depan pintu, ia sudah dihadang pamannya Udin. Vinza diseret dan dipaksa duduk di ruang tamu meski dia menolak.“Aku terima lamarannya, Hadi. Kalau bisa secepatnya kita nikahin mereka,” jawab Rohanda atas lamaran keluarga itu.“Enggak, Pak! Vinza masih mau sekolah! Vinza mau nikah sama David! Enggak mau sama lelaki lain! Pak!” tolak Vinza.Rohanda menyeretnya ke kamar. Di sana Vinza langsung diancam. “Kalau kamu nolak, jangan salahkan Bapak kalau sampai pacar kamu itu tinggal nama! Bapak enggak segan hilangin nyawa dia!”Di sana Vinza langsung gemetar. Ia ketakutan. “Cepat putusin dia dan nikah sama Hadi!” tegas Rohanda.Malam itu diantar Rohanda, Vinza datang ke panti untuk bertemu David. Melihat Vinza di halaman panti, David lekas berlari dan memeluk gadis itu. “Kamu ke mana? Kenapa enggak ke sekolah? Bapak kamu enggak nyakitin kamu, kan?” tanya David. Vinza menggeleng. David memeluknya, tetapi langsung Vinza dorong. “Kita putus saja, Vid,” ungkap Vinza. David diam. Ia kaget. “Kenapa? Aku sayang kamu, Vin. Aku akan ngomong sama Bapak kamu. Aku bakalan kasih dia uang banyak asal kita bisa sama-sama lagi. Aku enggak mau kehilangan kamu,” tegas David. “Sebanyak apa? Apa bisa lebih banyak dari uang Pak Dedih, juragan kambing? Kalau enggak sebanyak itu, mending kamu mundur. Biar aku nikah sama anak Pak Dedih. Masa depan aku lebih kejamin, Vid.”“Apa?” David kaget mendengarnya. “Vin, yang bener! Kamu masih sekolah. Gimana caranya mau nikah. Enggak! Kalau pun kamu mau nikah, aku yang akan nikahin kamu!”Vinza tetap menggeleng. “Aku sadar. Kalau kamu itu anak enggak jelas. Mungkin sudah nikah, aku bakala
Saat itu Vinza merasa hidupnya semakin hancur. Mencoba mengugurkan pun, ia selalu gagal. Akhirnya terpaksa Vinza meneruskan kehamilan. “Nanti kalau lahir, biar Bibi yang rawat dia,” pinta saudara jauh Vinza yang sudah lama tak punya anak. Dibandingkan diasuh ibu muda yang belum punya pengalaman, bibinya berpikir lebih baik dia yang mengasuh dan didik dengan baik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tua kelak.Awalnya Vinza mengiyakan. Namun, begitu bayinya lahir. Vinza menolak. Ia ingin membesarkan anaknya sendirian. Apalagi ketika bayi mungil itu memegang pipinya dengan lembut. Terlihat lucu hingga tersentuh sisi keibuan Vinza dengan sendirinya. Walau tak lama setelah itu kemalangan kembali bertambah.“Bapakmu sakit, Vin. Ibumu juga sudah terlalu tua untuk meladang. Kamu mau kasih makan anak itu dari mana?” tanya Wati, bibinya. Wanita itu seperti sengaja mengompori Vinza.Udin, paman Vinza menawarkan agar keponakannya itu menjadi TKW di Taiwan melalui temannya yang
“Dia jadi pergi?” “Iyalah, lumayan duitnya puluhan juta. Gaji pabrik saja enggak segitu.” “Lebih gede dari gaji PNS!” “Sayang harus jual aqidah! Di sana pasti makan babi!” “Lha, pakek mikirin aqidah. Keperawanan saja dia kasih gratis. Anaknya saja haram.” Begitulah ucapan tetangga saat Vinza berangkat ke Taiwan. Dia menjadi bahan cemoohan, bahkan sempat diusir karena dianggap membawa petaka di kampung. Vinza tak mau menyalahkan sikap mereka, dia tahu diri. Di sini dia yang salah dan mungkin apa yang ia lakukan dulu akan dicontoh anak lainnya di kampung itu. Biarlah, jadi pembelajaran ke depannya untuk Vinza agar berhati-hati memilih pasangan. Pasangan? Yang seperti apa? Apa bisa orang itu menerima dirinya dan Rufy? “Vin, kamu mau sayur ini?” tawar tetangga. Selama dua tahun tinggal di sini, Vinza mungkin sudah lama lupa rasanya makan daging. Selain takut tanpa sengaja memakan daging babi, ia bersyukur Nenek seorang vegetarian. “Terima kasih, Bu.” Vinza menerima sayuran itu. Ia
“Kok enggak nyambung, sih?” pikir Vinza. Ia sudah coba menelpon pamannya. Namun, tak juga tersambung. Ia mencoba berpikir apa penyebab yang pas kenapa Udin sulit dihubungi. “Mungkin lagi ke sawah Mang Udinnya.”Vinza menyimpan ponsel di atas nakas dan kembali memasak untuk makanan Nenek sore itu. Sedang di Indonesia, Udin bingung sendiri. Jika ia biarkan Rufy bicara dengan ibunya, Vinza akan tahu soal Romlah dan pulang ke sini. Artinya wanita itu akan tahu gajinya selama ini dilipat oleh Udin untuk biaya hidup keluarganya. “Terus mau gimana? Mana si Upi dari tadi nangis terus. Aku pusing, Kang!” omel Sulastri, istri Udin. “Bawa jajan dulu kenapa? Inget, kita butuh duit ibunya!” “Mau sampai kapan? Nanti kalau sampai si Vinza ngehubungin lewat orang lain gimana? Dia pasti nuntut kita, Kang!” Sulastri sudah ketakutan sendiri. Apalagi bukan sedikit uang yang mereka ambil setiap bulannya. Dari dua belas juta uang Vinza hanya dua juta yang diberikan. Itupun kadang dipotong dengan alasan
Tak ada yang curiga Rufy dibuang di sana. Anak itu malah terpaku akan banyaknya hal yang ia lihat. Ada tukang ayam, ia ikuti. Tak lama ia diam di lapak ikan. “Ouh, auk (lauk=ikan) item!” seru Rufy menunjuk ikan mas. Rufy yang tadinya ditinggal di sisi sepi pasar itu, kini berpetualang ke keramaian pasar. Klotek ... klotek ... Sebuah suara memancing rasa penasaran. Anak itu berbalik dan melihat ada helikopter dari dus dan kayu. Benda itu kalau digesekan ke tanah berbunyik klotek-klotek dan baling-balingnya berputar. “Heli!” seru Rufy menghampiri penjual itu. “Pak, mo eli!” pinta Rufy. “Ibunya mana?” tanya Bapak itu. Rufy mengusap kepala. “Bunda Insa? Dak ada. Tugu sana!” tunjuk Rufy ke kejauhan. Penjual itu melihat ke arah yang Rufy tunjuk. Ada seorang ibu tengah duduk di sisi lapak sayur sambil meminum es kelapa. “Minta uang dulu. Baru nanti dikasih,” jelas penjual heli. “Uang, ya?” pikir Rufy. Ia menggaruk kepala. “Emak dak ada uang.”“Kalo gitu enggak boleh.” Penjual Heli itu
Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza. “Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana. “Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza. Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang t
“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok. “Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya. “Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid. Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian. Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa
Mobil itu menepi di sebuah desa. Selama tiga tahun ia pergi, kampung itu tak banyak berubah. Jalanannya masih bebatuan dan rimbun pepohonan tinggi di mana warga mengaitkan kehidupan, ada pohon jati, kemiri, petai, jengkol hingga melinjo. Mengenakan hoodie, ia berjalan menyusuri jalan kampung. Beberapa anak-anak kagum melihat betapa mengkilat mobil yang ia parkir di sana. Hitam dan bersih pun bodynya besar juga garang. Beberapa ada yang berubah. Kandang kambing yang biasa digunakan siswa-siswa SMP dekat kampung itu untuk buang air kini tak ada. Sawah berganti menjadi rumah dan lahan cabe rawit. Kini ia berhenti di depan sebuah rumah yang sudah reot. Kacanya pecah dan halaman terlihat kotor penuh debu dan daun berserakan. “Mereka pindah?” pikir David. Ia berbalik. Kembali David berjalan ke rumah besar tak jauh dari sana. Ada rumah gedung berlantai dua dengan cat jingga. Ada seorang perempuan tengah mengandung. Ia menyapu halaman dengan sapu lidi. “Ini rumah Pak Dedih?” tanya David.