Share

3. Saat kesuciannya direnggut

Malam itu Vinza tak bisa tidur. Ia masih terus memutar otak bagaimana caranya meminjam seorang pria untuk pura-pura menjadi ayahnya Rufy. Anaknya sangat cerdas, ia bukan anak yang cepat lupa. Vinza jadi mengenang saat dia janji mengirimkan mainan mobil tahun lalu. Karena tergesa-gesa, Vinza lupa membeli mainan itu. Ia pikir minggu depan saat menelpon, Rufy pasti lupa. Tidak, anak itu masih ingat dan menagihnya.

Kini tubuh Vinza merebah. Ia tatap langit-langit kamar. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, tetap tak bisa. Andai saja dia tak membuat kesalahan, mungkin tak akan ada di posisi ini. Kesalahan terbesar yang membuat masa remajanya runtuh.

FLASHBACK

“Pulang bareng, Vin?” tawar David, teman satu sekolahnya saat SMA dulu. David seorang yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, tak jauh dari rumah tempat Vinza tinggal.

“Tumben! Bisanya juga bareng temen kamu.” Vinza melirik ke belakang. Teman David sedang jongkok di gerbang untuk menggoda setiap anak perempuan yang lewat.

David, pria berkulit putih dengan mata sipit itu memang sangat menggoda. Tubuhnya tinggi dan tegap. Banyak yang berpikir kalau dia keturunan Korea. Nyatanya tak ada yang tahu. Sejak bayi dia dibuang di depan panti dan tumbuh di sana hingga kini. Tak pernah sekali pun ada seseorang yang mencarinya dan mengaku sebagi orang tua.

“Itu, aku sekalian mau ngomong sesuatu sama kamu.”

“Ngomong apa?” Vinza menaikan alis. Ia harus sedikit menunduk saat berjalan karena jalan kampung yang ia lewati masih berupa jalan bebatuan. Salah-salah bisa tersandung.

“Maju dikit enggak apa-apa? Atau kita cari tempat sepi gitu?”

Vinza sama sekali tak curiga. Ia iyakan tawaran David itu. Mereka berjalan ke sisi, tepatnya ke pesawahan dan duduk di saung. David menunduk sambil menggeser-geser kakinya ke pematang sawah.

“Ada apa?” tanya Vinza karena David tak juga bicara.

“Kamu sama si Fathur udah jadian?”

Vinza terkekeh. “Yang bener saja! Ogah aku! Dia saja masih anak mamih, kok. Tadi pagi saja aku liat dia disuapi.”

David ikut tertawa. “Yang bener?” tanya David lagi.

“Serius.” Vinza mencabut rumput yang tubuh di tanah yang ia injak. “Eh, asli! Kamu mau ngomong apa?”

“Aku suka sama kamu, Vin. Kamu mau pacaran sama aku?” tanya David. Kali ini pria itu langsung terbuka.

Vinza meneguk ludah. “Yang bener! Jangan bercanda.”

“Beneran.” David raih jemari Vinza. Ia pegang erat tangan gadis itu. “Aku sayang sama kamu. Mau jadi pacar aku? Aku bakalan jagain kamu. Janji!”

Mata Vinza dan David saling bertatapan. Gadis mana di usia itu tak bahagia ditembak pria setampan David. Vinza tak perlu lama berpikir. Ia terima perasaan pria itu.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa kini mereka sudah berada di semester akhir. Hubungan Vinza dan David masih awet. Bapak Vinza yang tahu soal itu dari Fathur, sempat marah. Ia tak mau menerima David yang tak jelas asal usulnya.

“Kayak enggak ada laki-laki lain kamu! Gimana kalau ternyata dia anak haram? Mau hancurin masa depan kamu? Bisa apa dia! Orang tuanya saja buang dia! Masa mau kamu pungut!”

“Tapi Vinza sayang sama dia, Pak.”

“Halah! Cinta! Cinta! Kamu itu masih sekolah! Fokus sama sekolah kamu! Bukannya malah pacaran sama anak enggak jelas. Kalau kamu masih pacaran sama dia! Aku nikahin kamu sama anak juragan kambing!” ancam Bapaknya.

Namun, tak semudah itu Vinza bisa melupakan David. Mereka masih berhubungan walau harus diam-diam. Untuk menumpahkan rasa rindu, mereka bertemu di hutan desa yang jaraknya tak jauh dari ladang warga. Jarang ada manusia pergi ke sana.

“Sampai kapan kita mau kayak gini, Vid. Kamu ngomong gitu sama Bapakku. Jelasin kalau kamu bisa jaga masa depanku,” pinta Vinza.

David memeluk kekasihnya. “Iya, ini juga lagi usaha. Aku mau kumpulin uang supaya bisa liatin ke Bapak kamu.”

“Uang dari mana? Kita cuman anak sekolahan.”

“Sabar, dong. Yang penting kita bisa sama-sama kan?” David kecup kening Vinza. Tangannya mengusap punggung tangan Vinza. “Kamu cantik, Vin. Tahu enggak, setiap malam aku selalu inget sama kamu.”

“Beneran? Inget apa?”

“Banyak. Senyuman kamu. Semuanya, deh!” ungkap David. Ia kecup bibir Vinza. “Aku sayang kamu.”

Gombalan demi gombalan David keluarkan hari itu. Vinza semakin larut dalam cintanya. Dari kecupan di bibir hingga hari itu ia berikan sesuatu yang harusnya ia jaga hingga ia menikah.

“Vid, aku takut kalau Bapakku tahu. Dia bisa ngamuk,” ucap Vinza sambil meraih pakaiannya yang sudah tanggal.

“Ya, kamu jangan kasih tahu, dong. Kita diam saja sampai aku nikahin kamu, ya?” timpal David sambil berpakaian.

Bagaimanapun seorang wanita yang sudah hilang kegadisannya, Vinza sangat takluk pada David. Setiap kali David meminta hal yang sama, Vinza pasti mengiyakan. Apalagi kalau David sudah mengeluarkan kata sakti.

“Cewek lain pasti mau tidur sama aku,” begitu alasannya. Hingga Vinza tetap penuhi hasrat pria itu.

Sepandainya tupai melompat, pasti akhirnya jatuh juga. Hendak berbuat tak senonoh untuk ke sekian kalinya, Vinza ketahuan oleh Bapaknya. Jelas saat itu Bapaknya murka. Rohanda meninju wajah David hingga pria itu jatuh.

“Berapa kali aku bilang! Jauhi putriku! Anak enggak jelas juga! Mimpi kamu bisa dapatin anakku? Supaya kamu bisa nikmatin warisanku?” Rohanda meludahi David. Sedang pria itu tak bisa berkata-kata. “Awas kamu kalau berani dekati anakku lagi! Ini arit (sabit) bakalan ngelayang ke leher kamu!” ancam Rohanda.

“Pak, aku beneran sayang sama anak Bapak. Kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku pantas buat dia,” pinta David meraih kaki Rohanda. Namun, David didorong.

“Enggak sudi! Anak haram kayak kamu mana pantas dapatkan anakku!”

Vinza diseret pulang. Di rumah ia dimarahi habis-habisan. Besoknya Vinza dilarang keluar rumah. Bahkan sekadar untuk sekolah. Tiba-tiba juragan kambing yang rumahnya masih satu RT dengan Vinza datang bersama anaknya, Hadi. Pria itu sudah agak tua, berbeda dua puluh tahun dengan Vinza.

Jelas Vinza histeris. “Ngapain dia ke sini, Bu? Ngapain? Vinza enggak mau!” tolak Vinza. Namun, baru sampai di depan pintu, ia sudah dihadang pamannya Udin. Vinza diseret dan dipaksa duduk di ruang tamu meski dia menolak.

“Aku terima lamarannya, Hadi. Kalau bisa secepatnya kita nikahin mereka,” jawab Rohanda atas lamaran keluarga itu.

“Enggak, Pak! Vinza masih mau sekolah! Vinza mau nikah sama David! Enggak mau sama lelaki lain! Pak!” tolak Vinza.

Rohanda menyeretnya ke kamar. Di sana Vinza langsung diancam. “Kalau kamu nolak, jangan salahkan Bapak kalau sampai pacar kamu itu tinggal nama! Bapak enggak segan hilangin nyawa dia!”

Di sana Vinza langsung gemetar. Ia ketakutan. “Cepat putusin dia dan nikah sama Hadi!” tegas Rohanda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status