Nina sudah berada di Jakarta, malam kemarin dia langsung pulang setelah Kumara mendapatkan tiket pesawat. Dia bahkan tidak mampu berjalan dengan baik dan dibantu oleh petugas bandara sampai ke dalam pesawat, perutnya tidak berhenti meronta karena merasa diaduk-aduk, dia mual dan sakit kepala.
Julie berkali-kali meneleponnya semalam, namun dia sudah tidak sanggup untuk mengangkatnya. Dia tertidur sambil menangis.
Pagi ini, dia bangun dengan perut yang lagi terasa diaduk-aduk, masih pukul delapan dan dia sudah muntah hampir sepuluh kali. Kini dia terduduk diatas kasur, dari pantulan kaca lemari dia bisa melihat dirinya begitu kusut, kurus, dan pucat.
Dia menoleh kearah ponselnya, dia harus memberi tahu Tikta. Baru saja dia mau memencet tombol panggil suara bel di pintu mengejutkannya, Nina menyimpan ponselnya dan pergi ke pintu depan membuka pintu.
“Na! Kok gak bilang sudah di rumah?” Catur masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi, pria itu datang dengan baju rapi tidak seperti biasanya, aroma parfum yang menyengat, rambut penuh gel yang tertata.
“Lo mau kemana?” Tanya Nina, sedikit menjauh karena entah kenapa bau parfum milik Catur makin membuatnya begitu mual.
“Gue ada acara seminar, tapi Julie minta gue cek lo dan bawa makanan. Makan bubur, bisa?” Tanya pria itu lagi, sambil pergi ke dapur mengambil mangkok dan menuang bubur yang dia beli ke dalamnya.
Catur bekerja sebagai Carpenter, atau tukang kayu atau tukang furniture. Tidak ada bahasa keren dalam bahasa Indonesia untuk menyebut pekerjaan yang tengah dia geluti. Yah, setidaknya usahanya sudah masuk Internasional. Dia memilih kayu terbaik untuk dijadikan furniture, bukan furniture dengan corak norak yang biasa kita lihat, dia membuat furniture dengan lebih minimalis dan estetik.
Peminatnya begitu banyak dari dalam dan luar negeri sehingga dia seringkali di undang ke acara seminar sebagai pebisnis muda sukses.
Nina dan Catur bertemu ketika keduanya sama-sama di London untuk kuliah, mereka bertemu tidak sengaja di klub malam dan karena merasa dari negara yang sama keduanya kemudian sering bertemu. Catur lebih dulu pulang ke Indonesia dan mengembangkan bisnisnya, sejak saat mereka bertemu di London sampai hari ini mereka tidak pernah terpisahkan.
“Gue gak bisa lama-lama ya Nin, kalau mau ke dokter tunggu gue beres dulu. Sekitar jam dua siang gue udah balik, nanti gue kesini.” Kata Catur, menarik lengan Nina dengan lembut, membimbing wanita itu agar duduk di meja makan. Menaruh mangkok berisi bubur di depannya.
“Tur,”
“Ya?”
“Gue hamil.”
Hening panjang menyergap, Catur terdiam mendengar apa yang dikatakan Nina. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja wanita itu katakan.
“Gue bakalan balik secepatnya.” Ujarnya setelah mengerti apa maksud Nina.
“Gak usah, gue mau hubungi Tikta. Gue bakalan pergi sama Tikta.”
“Tapi Nin, ‘kan belum tentu Tikta-“
Nina menaruh jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan Catur untuk diam, menghentikan semua omongannya.
“Hati-hati di jalan ya, nanti gue kabarin lagi kalau udah di rumah. Makasih banyak buburnya.” Ujar Nina dengan lembut.
Catur terdiam, dia kemudian mengangguk, mengelus puncak kepala Nina dan pergi. Nina melihat punggung Catur menjauh. Dia tidak tahu kalau Catur akan bereaksi demikian, pastilah bukan Catur yang melakukan hal itu padanya. Tidak mungkin.
Dia menghela napas, berjalan ke dalam kamar, diambilnya ponsel yang tergeletak diatas nakas. Dia mencari nama Tikta dan memencet tombol panggil, ada dering panjang yang tak berkesudahan. Menurut perkiraan Nina, seharusnya Tikta sudah kembali ke Jakarta sejak minggu lalu.
Tidak ada jawaban.
Dia memencet tombol telepon lagi, nada yang panjang. Dan tidak ada jawaban.
Dia menghela napas, menyimpan ponselnya, mengaduk buburnya. Tidak ada selera makan. Nina terdiam dan tiba-tiba airmatanya jatuh begitu saja.
“Ini bukan yang gue mau, bukan keinginan gue…” Gumamnya disela tangisan, entah kenapa dia jadi begitu cengeng, perasaannya begitu sensitif. Dia merasa begitu kesepian, melihat ke sekeliling apartemennya yang kosong.
Airmatanya turun lagi sampai bunyi ponselnya mengalihkan perhatiannya.
TIKTA.
“Halo?”
“Nin maaf, tadi saya lagi jalan. Loh? Nin? Lagi nangis?” Tanya Tikta diujung telepon, suaranya terdengar begitu berat dan lembut.
“Ta, bisa ketemu?” Nina berkata, masih terisak.
“Bukannya kamu di Bali?”
“Semalem pulang, pengen ketemu Ta..” Ucapnya. Tikta terdiam diujung telepon.
“Share location ya, saya kesana aja. Ke tempat kamu, boleh?”
Setelah memberitahu dimana lokasi apartemennya, telepon di tutup. Nina masih menangis sambil memakan buburnya sedikit, dia merasa lapar tapi perutnya tidak menerima apapun, lagi-lagi dia memuntahkan buburnya di wastafel.
Sejam kemudian bel pintunya berbunyi, dia membuka pintu dan mendapati Tikta di depannya. Wajah pria itu baru dia lihat dengan jelas hari ini, pria itu, tampan. Wajah begitu asia, dengan kulit yang tidak terlalu putih, bibirnya tebal.
“Kok, kamu pucet banget? Sakit?” Tanya Tikta kemudian.
“Masuk dulu.” Nina membuka pintunya, Tikta dengan sedikit canggung masuk ke apartemen wanita itu. Apartemen yang tidak terlalu luas namun begitu rapi dan wangi, melihat kearah meja makan, ada mangkok disana.
“Kamu lagi makan?”
Nina menggeleng, “Gak masuk sama sekali.”
Tikta terdiam, dia menatap Nina.
“Na kamu…”
“Iya, aku hamil.” Nina langsung menjawab, dia tidak peduli apapun asumsi yang sedang dipikirkan oleh Tikta. Dia hanya ingin memberitahu pria itu kalau dia tengah hamil.
Tikta terdiam, dia kemudian duduk diatas sofa dan menatap Nina.
“Aku baru tahu kemarin, sebulan terakhir badan aku gak enak banget. Seminggu ini aku bolak balik IGD, tapi aku masih belum kepikiran hamil karena jadwalku padat banget. Jadi kupikir aku emang kecapekan,” Nina menjelaskan, dia masih berdiri di depan Tikta. “Tapi terus aku baru ingat, aku belum haid…”
Tikta masih mendengarkan ketika Nina kemudian buka suara lagi, “Sebenarnya haidku memang gak teratur, makanya semalam aku gambling minta asistenku untuk belikan testpack. Dan ternyata hasilnya positif.” Nina menyelesaikan penjelasannya, masuk ke dalam kamar dan membawa sekantung penuh testpack. Dia membeli lagi ketika perjalanan pulang semalam, kurang lebih ada tiga puluh merk di dalam kantung itu.
Tikta meraih kantungnya, dan melihat isinya. Semua hasilnya sama, positif.
Dia menghela napas.
“Kita ke dokter dulu aja ya?” Kata Tikta dengan lembut.
Nina terdiam di tempat, menatap Tikta dan kemudian menangis. Pria itu sedikit terkejut dengan reaksi Nina, buru-buru dia menghampiri Nina.
“Aku harus gimana Ta?” Ujarnya sambil menangis, “Aku bahkan gak tahu ini anak siapa…” Dia menangis lagi, meraung-raung.
Tikta menghela napas kemudian memeluk Nina erat. Bagaimanapun ketika pagi datang, hanya dia dan Nina yang berada disana dalam keadaan telanjang. Tikta tidak berpikir akan sampai sejauh ini, kehamilan. Dia yakin orangtuanya akan marah kalau tahu, tapi dia tidak mampu meninggalkan Nina.
Wanita itu begitu terlihat kusut dan berantakan. Memori tentang Nina yang dia lihat ketika mereka bertemu di klub malam hilang begitu saja tergantikan dengan Nina yang terlihat ringkih dan payah.
“Nin… Saya tahu ini gila..” Kata Tikta kemudian, masih memeluk Nina. “Kamu mau nikah sama saya?”
Tikta menggenggam tangan Nina, wanita itu terlihat hampir pingsan ketika kakinya menyentuh tanah. Dia memeluk Nina erat, kemudian meminta salah satu perawat membawa kursi roda.“Bapak mau ke poli?” Tanya perawat itu lembut, membantu Nina untuk duduk diatas kursi roda.“Saya mau ke poli kandungan.” Kata Tikta lagi, mengecek jam di tangan kanannya.“Sudah ada janji pak?”Tikta mengangguk, “Dokter keluarga saya, dr Serif.”Perawat itu terdiam kemudian mengangguk, dia mendorong kursi roda dan mengarahkan Tikta. Bukan ke tempat antrian poli biasa yang penuh, tapi ke tempat lain di belakang. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, ketika pintu lift terbuka wangi pengharum ruangan menyambut mereka.Kursi di dorong sampai ke depan ruangan, perawat itu mengetuk pintu kaca tersebut.“Dok, pak Tikta dan istri sudah datang.”Tikta dan Nina bereaksi mendengar kata ‘istri’ disebut, namun mereka berusaha bersikap biasa saja. Pintu terbuka dan Tikta mendapati wajah yang sangat dia kenali, dokt
Nina tengah berbaring diatas kasur, matanya begitu berat, dia mengantuk. Hari ini begitu ajaib, pagi tadi dia muntah begitu banyak, kemudian dia bertemu dan Tikta. Setelah bertemu dengan pria itu dia makan dengan begitu lahap, tidak ada yang keluar sama sekali. Dia mengelus perutnya, “Kamu senang ya mau jadi penerus SSK Food?” Bergumam, kemudian dia tertawa sendiri. Benar, Tikta begitu serius bicara dengannya tadi. Pria itu bilang kalau dia benar-benar membutuhkan bantuan Nina. “Kita ambil jalan terbaik saja, anak kamu butuh Akta Kelahiran untuk administrasinya kemudian mendapatkan warisan utama keluargaku. Aku hanya butuh anak kamu untuk terbebas dari semua ini.” Nina membuka tasnya, mengeluarkan hasil USG dan memandang gumpalan hitam itu. “Aku benar-benar gak mau menjadi penerus SSK Food Nin, anak kamu boleh ambil semuanya.” “Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Meskipun kamu anak tunggal, tapi keluarga besarmu semua bekerja di SSK Food. Mereka gak mungkin dengan mudah mere
Nina terdiam.Setelah ucapan aneh Catur, semua masalah terselesaikan, kecuali satu hal! Ajakan pernikahan dari Tikta. Sudah satu minggu dari saat itu dan belom ada lagi kabar terbaru darinya lagi. Entah mengapa, hari demi hari kondisi Nina semakin menurun. Dua hari setelah dari dokter, dia memaksakan diri pergi ke butik. Semua karyawan memandangnya dengan begitu aneh. Tentu saja, Nina yang selalu berpenampilan stylish tiba-tiba datang dengan penampilan berantakan. Wanita itu datang dengan memakai kemeja kebesaran dipadu dengan jeans robek dan sepatu kets. “Halo semua, saya mohon maaf sebelumnya. Tapi saya mau mengumumkan sesuatu, saya harap semuanya mau bekerja sama karena jujur untuk saya pribadi tidak mungkin terus menjalankan butik ini tanpa bantu kalian ditambah kondisi saya semakin memburuk.” Hari itu dia membuka rapat pagi dengan kalimat begitu panjang, wajahnya pucat, rambutnya dikuncir asal-asalan. Semua karyawan memandangnya dengan perasaan takut. “Saya tengah hamil, us
Di sisi lain, Nina tidak mengerti apakah dia tengah berada di bawah sugesti? Tapi kalau dipikir-pikir selama ada Tikta di sampingnya dia makan dengan sangat baik. Tidak ada drama mual dan muntah. Setelah Tikta menyematkan cincin di jari manisnya, seorang staff yang bertugas mengantarkan makan siangnya. Dia tidak berselera karena tahu setelah makan pasti akan memuntahkan lagi semuanya. Tapi kemudian Tikta dengan penuh semangat membuka semua penutup makanan dan menyerahkan makanan itu tepat di depan wajah Nina. “Wah menunya daging panggang, kamu suka Nin sama daging panggang? Ada sop juga, nasinya agak lembek.” Pria itu mengoceh sambil merapikan semua mangkok dan piring diatas meja tambahan yang berada di sisi tempat tidur. “Makan dulu ya Nin, biar ada tenaga.” Ujarnya, dan seperti di sihir Nina menurutinya. Dia mulai makan dengan nasi dan sepotong daging panggang. “Enak?” Tanya Tikta kemudian dan wanita itu mengangguk pelan, rasanya hambar tapi entah kenapa di mulutnya terasa enak
Baru saja Tikta melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ibunya sudah tergopoh-gopoh datang menghampirinya. Wajahnya terlihat pucat. “Ta..Ta” Dia memanggil Tikta, mendekat kearah anak lelakinya yang kini berhenti dan menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kenapa bu? Kenapa panik banget?” Tanya Tikta, dia memeluk ibunya dan mengajak wanita paruh baya itu duduk di sofa ruang keluarga rumah mereka. Ibunya masih menatap Tikta, “Apa benar yang ada di berita?” Ibunya bertanya langsung tanpa basa-basi. Tikta terdiam, kemudian mengangguk pelan. “Benar bu..” “Kamu…” “Iya, Tikta memang berselingkuh. Wanita yang sekarang hamil itu kekasih Tikta bu, kekasih Tikta dan tunangan Tikta gak tahu satu sama lain kalau Tikta menduakan mereka.” Ibunya menutup mulut dengan kedua tangannya, terkejut dengan apa yang baru saja Tikta katakan. “Kamu serius ngelakuin hal itu, Ta? Gimana tunangan kamu?” Tikta tersenyum dan kemudian tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan ibunya, “Kenapa ibu peduli? Buk
Nina menatap Catur yang sejak kepergian Tikta tidak bicara sedikitpun, pria itu sibuk dengan ponsel di tangannya. Tikta pamit pulang setelah mendapat telepon dari sekretarisnya tentang dirinya dan Nina yang terlihat masuk ke dalam Rumah Sakit khusus Ibu dan Anak. Tikta berjanji akan kembali dengan segera setelah dia bicara dengan kedua orangtuanya.Catur memilih untuk tidak pulang dan menginap di Rumah Sakit pada akhirnya karena takut para reporter memaksa masuk ke ruang rawat inap milik Nina.“Lo masih mau pura-pura sibuk dengan hp? Bolak balik buka halaman home?” Nina membuka pembicaraan, dia tengah menatap Catur sambil menyilangkan tangan di dada. Catur melirik kearahnya, kemudian menghela napas.“Gue udah minta maaf.”“Yang mana?” Tanya Nina kemudian, dia masih sebal dengan omongan Catur yang menurutnya menyudutkan Tikta secara tiba-tiba.Dia kenal Catur dan ini kali pertamanya melihat pria itu begitu bersikap tidak baik dengan orang yang menurut Nina sudah dia kenal dengan baik.
Nina menatap sekelilingnya, dia baru saja dipaksa untuk masuk ke dalam sebuah mobil pribadi berwarna hitam seorang diri sedangkan Catur dicegah oleh sekitar tiga orang laki-laki di ruang rawat inapnya. Seorang laki-laki mengajaknya pergi menggunakan kursi roda, awalnya Nina memberontak karena dia takut itu adalah akal-akalan reporter saja. Tapi kemudian pria itu berkata kalau dia diminta membawa Nina ke kediaman tikta. Dia sedang berada di ruang tamu sekarang, dimana banyak sekali foto-foto berukuran besar terpajang di dinding. Foto Tikta, seorang pria dan wanita paruh baya. Ini kediaman Tikta. Rumah keluarganya. “Nona Gianina?” Seorang wanita muda menghampirinya dengan perlahan, dia tersenyum pada Nina yang kemudian dengan canggung juga tersenyum padanya. “Saya perawat pribadi di rumah ini, mohon maaf saya bantu untuk melepas infusnya?” Nina mengangguk, dia baru saja sadar kalau dia membawa infus ke rumah ini. Dia tidak sempat mencopot apapun seperti di FTV yang dia tonton keti
Sudah dua minggu sejak Nina keluar dari Rumah Sakit, dia sekarang tengah disibukkan dengan berbagai macam persiapan pernikahan. Setelah pulang dari rumah Tikta dia berdiskusi mengenai pernikahan sampai mereka sepakat untuk melakukan resepsi setelah pemberkatan, yang awalnya hanya ingin resepsi kecil-kecilan kemudian menjadi resepsi megah dan meriah.“Ibu gak bisa Ta kalau gak ngundang semua kolega bapak.” Semuanya berawal dari perkataan ibu yang ini dan kemudian setelah diskusi lagi mereka akhirnya sepakat untuk membuat acaranya megah dan meriah.“Maaf ya Nin malahan jadi gelar pesta rame begini.” Tikta meminta maaf pada Nina yang kemudian tertawa, tidak merasa keberatan.“Aku cuma mikir aja, kita rencana nikah sampai lima tahun aja dan kemudian bercerai. Aku gak enak takut kamu ngerasa rugi.”“Rugi?”“Ini budgetnya besar banget Ta untuk ukuran pesta pernikahan.”“Terus rugi kenapa?”“Rugi karena ujungnya kita pisah dan pernikahan ini cuma bohongan.”Tikta tertawa mendengar Nina, “Nik