Share

6

Nina sudah berada di Jakarta, malam kemarin dia langsung pulang setelah Kumara mendapatkan tiket pesawat. Dia bahkan tidak mampu berjalan dengan baik dan dibantu oleh petugas bandara sampai ke dalam pesawat, perutnya tidak berhenti meronta karena merasa diaduk-aduk, dia mual dan sakit kepala.

Julie berkali-kali meneleponnya semalam, namun dia sudah tidak sanggup untuk mengangkatnya. Dia tertidur sambil menangis.

Pagi ini, dia bangun dengan perut yang lagi terasa diaduk-aduk, masih pukul delapan dan dia sudah muntah hampir sepuluh kali. Kini dia terduduk diatas kasur, dari pantulan kaca lemari dia bisa melihat dirinya begitu kusut, kurus, dan pucat.

Dia menoleh kearah ponselnya, dia harus memberi tahu Tikta. Baru saja dia mau memencet tombol panggil suara bel di pintu mengejutkannya, Nina menyimpan ponselnya dan pergi ke pintu depan membuka pintu.

“Na! Kok gak bilang sudah di rumah?” Catur masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi, pria itu datang dengan baju rapi tidak seperti biasanya, aroma parfum yang menyengat, rambut penuh gel yang tertata.

“Lo mau kemana?” Tanya Nina, sedikit menjauh karena entah kenapa bau parfum milik Catur makin membuatnya begitu mual.

“Gue ada acara seminar, tapi Julie minta gue cek lo dan bawa makanan. Makan bubur, bisa?” Tanya pria itu lagi, sambil pergi ke dapur mengambil mangkok dan menuang bubur yang dia beli ke dalamnya.

Catur bekerja sebagai Carpenter, atau tukang kayu atau tukang furniture. Tidak ada bahasa keren dalam bahasa Indonesia untuk menyebut pekerjaan yang tengah dia geluti. Yah, setidaknya usahanya sudah masuk Internasional. Dia memilih kayu terbaik untuk dijadikan furniture, bukan furniture dengan corak norak yang biasa kita lihat, dia membuat furniture dengan lebih minimalis dan estetik.

Peminatnya begitu banyak dari dalam dan luar negeri sehingga dia seringkali di undang ke acara seminar sebagai pebisnis muda sukses.

Nina dan Catur bertemu ketika keduanya sama-sama di London untuk kuliah, mereka bertemu tidak sengaja di klub malam dan karena merasa dari negara yang sama keduanya kemudian sering bertemu. Catur lebih dulu pulang ke Indonesia dan mengembangkan bisnisnya, sejak saat mereka bertemu di London sampai hari ini mereka tidak pernah terpisahkan.

“Gue gak bisa lama-lama ya Nin, kalau mau ke dokter tunggu gue beres dulu. Sekitar jam dua siang gue udah balik, nanti gue kesini.” Kata Catur, menarik lengan Nina dengan lembut, membimbing wanita itu agar duduk di meja makan. Menaruh mangkok berisi bubur di depannya.

“Tur,”

“Ya?”

“Gue hamil.”

Hening panjang menyergap, Catur terdiam mendengar apa yang dikatakan Nina. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja wanita itu katakan.

“Gue bakalan balik secepatnya.” Ujarnya setelah mengerti apa maksud Nina.

“Gak usah, gue mau hubungi Tikta. Gue bakalan pergi sama Tikta.”

“Tapi Nin, ‘kan belum tentu Tikta-“

Nina menaruh jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan Catur untuk diam, menghentikan semua omongannya.

“Hati-hati di jalan ya, nanti gue kabarin lagi kalau udah di rumah. Makasih banyak buburnya.” Ujar Nina dengan lembut.

Catur terdiam, dia kemudian mengangguk, mengelus puncak kepala Nina dan pergi. Nina melihat punggung Catur menjauh. Dia tidak tahu kalau Catur akan bereaksi demikian, pastilah bukan Catur yang melakukan hal itu padanya. Tidak mungkin.

Dia menghela napas, berjalan ke dalam kamar, diambilnya ponsel yang tergeletak diatas nakas. Dia mencari nama Tikta dan memencet tombol panggil, ada dering panjang yang tak berkesudahan. Menurut perkiraan Nina, seharusnya Tikta sudah kembali ke Jakarta sejak minggu lalu.

Tidak ada jawaban.

Dia memencet tombol telepon lagi, nada yang panjang. Dan tidak ada jawaban.

Dia menghela napas, menyimpan ponselnya, mengaduk buburnya. Tidak ada selera makan. Nina terdiam dan tiba-tiba airmatanya jatuh begitu saja.

“Ini bukan yang gue mau, bukan keinginan gue…” Gumamnya disela tangisan, entah kenapa dia jadi begitu cengeng, perasaannya begitu sensitif. Dia merasa begitu kesepian, melihat ke sekeliling apartemennya yang kosong.

Airmatanya turun lagi sampai bunyi ponselnya mengalihkan perhatiannya.

TIKTA.

“Halo?”

“Nin maaf, tadi saya lagi jalan. Loh? Nin? Lagi nangis?” Tanya Tikta diujung telepon, suaranya terdengar begitu berat dan lembut.

“Ta, bisa ketemu?” Nina berkata, masih terisak.

“Bukannya kamu di Bali?”

“Semalem pulang, pengen ketemu Ta..” Ucapnya. Tikta terdiam diujung telepon.

“Share location ya, saya kesana aja. Ke tempat kamu, boleh?”

Setelah memberitahu dimana lokasi apartemennya, telepon di tutup. Nina masih menangis sambil memakan buburnya sedikit, dia merasa lapar tapi perutnya tidak menerima apapun, lagi-lagi dia memuntahkan buburnya di wastafel.

Sejam kemudian bel pintunya berbunyi, dia membuka pintu dan mendapati Tikta di depannya. Wajah pria itu baru dia lihat dengan jelas hari ini, pria itu, tampan. Wajah begitu asia, dengan kulit yang tidak terlalu putih, bibirnya tebal.

“Kok, kamu pucet banget? Sakit?” Tanya Tikta kemudian.

“Masuk dulu.” Nina membuka pintunya, Tikta dengan sedikit canggung masuk ke apartemen wanita itu. Apartemen yang tidak terlalu luas namun begitu rapi dan wangi, melihat kearah meja makan, ada mangkok disana.

“Kamu lagi makan?”

Nina menggeleng, “Gak masuk sama sekali.”

Tikta terdiam, dia menatap Nina.

“Na kamu…”

“Iya, aku hamil.” Nina langsung menjawab, dia tidak peduli apapun asumsi yang sedang dipikirkan oleh Tikta. Dia hanya ingin memberitahu pria itu kalau dia tengah hamil.

Tikta terdiam, dia kemudian duduk diatas sofa dan menatap Nina.

“Aku baru tahu kemarin, sebulan terakhir badan aku gak enak banget. Seminggu ini aku bolak balik IGD, tapi aku masih belum kepikiran hamil karena jadwalku padat banget. Jadi kupikir aku emang kecapekan,” Nina menjelaskan, dia masih berdiri di depan Tikta. “Tapi terus aku baru ingat, aku belum haid…”

Tikta masih mendengarkan ketika Nina kemudian buka suara lagi, “Sebenarnya haidku memang gak teratur, makanya semalam aku gambling minta asistenku untuk belikan testpack. Dan ternyata hasilnya positif.” Nina menyelesaikan penjelasannya, masuk ke dalam kamar dan membawa sekantung penuh testpack. Dia membeli lagi ketika perjalanan pulang semalam, kurang lebih ada tiga puluh merk di  dalam kantung itu.

Tikta meraih kantungnya, dan melihat isinya. Semua hasilnya sama, positif.

Dia menghela napas.

“Kita ke dokter dulu aja ya?” Kata Tikta dengan lembut.

Nina terdiam di tempat, menatap Tikta dan kemudian menangis. Pria itu sedikit terkejut  dengan reaksi Nina, buru-buru dia menghampiri Nina.

“Aku harus gimana Ta?” Ujarnya sambil menangis, “Aku bahkan gak tahu ini anak siapa…” Dia menangis lagi, meraung-raung.

Tikta menghela napas kemudian memeluk Nina erat. Bagaimanapun ketika pagi datang, hanya dia dan Nina yang berada disana dalam keadaan telanjang. Tikta tidak berpikir akan sampai sejauh ini, kehamilan. Dia yakin orangtuanya akan marah kalau tahu, tapi dia tidak mampu meninggalkan Nina.

Wanita itu begitu terlihat kusut dan berantakan. Memori tentang Nina yang dia lihat ketika mereka bertemu di klub malam hilang begitu saja tergantikan dengan Nina yang terlihat ringkih dan payah.

“Nin… Saya tahu ini gila..” Kata Tikta kemudian, masih memeluk Nina. “Kamu mau nikah sama saya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status