MasukKhalisa percaya, satu tahun pernikahan adalah awal kebahagiaan. Tapi semua runtuh ketika ia menemukan suaminya, Fahri, hidup bersama wanita lain yang hamil besar—dan keluarganya justru mendukung perselingkuhan itu. Dikhianati, dianggap tak berguna hanya karena belum bisa memberi keturunan, Khalisa bersumpah bangkit. Jika dulu ia hanya istri yang setia, kini ia akan menjadi wanita yang membuat suaminya berlutut. Air mata akan ia ganti dengan dendam. Dan satu-satunya cara membayar pengkhianatan itu adalah: membuat suaminya jatuh miskin di tangannya sendiri.
Lihat lebih banyak"Apa yang terjadi denganmu mas?" batin khalisa dengan khawatir, ia mondar-mandir menunggu kabar dari suaminya.
Genap satu bulan Fahri tidak memberi kabar. Khalisa duduk di ruang tamu rumah besarnya, menatap ponsel yang sunyi. Pesan-pesannya hanya berstatus centang satu. Teleponnya tak pernah dijawab. Alasan terakhir Fahri sebelum menghilang, “Aku harus ke pulau, sayang. Perusahaan mau buka cabang di sana. Mungkin sinyalnya jelek.” Awalnya, Khalisa percaya. Ia selalu percaya. Tapi semakin hari, perasaan gelisah itu semakin menusuk. “Ada yang tidak beres, biasanya mas Fahri selalu memberi kabar walaupun hanya satu kali dalam seminggu, mana mungkin hanya kunjungan harus sampai satu bulan.” bisiknya sendiri. Akhirnya, dengan hati yang campur aduk, Khalisa memberanikan diri pergi ke rumah mertua yang jaraknya membutuhkan 1 jam baru sampai. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Sederhana tapi rapi dan terdapat beberapa bagian sedang di renovasi. Khalisa berdiri lama di depan pagar, mengatur napas sebelum mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum…” Salam khalisa dengan gugup takut dengan kenyataan yang akan didapatkan tentang suaminya. Tidak berselang lama pintu dibuka oleh Bu Laila, mertua khalisa. Wajah wanita itu kaget melihat Khalisa berdiri di sana. "Waalaikumsalam, eh Khalisa? Tumben datang?” “khalisa cuma mau tanya…Apa mas Fahri kasi ibu kabar? Sudah sebulan tidak ada kabarnya.” Bu Laila menelan ludah, wajahnya canggung. “Aahh itu ibu juga belum..!!.” Tiba-tiba Khalisa melangkah masuk tanpa persetujuan ibu mertuanya, Jantungnya berdegup tak karuan. Begitu melewati ruang tamu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat tubuhnya kaku. "Mas Fahri!" Seru khalisa dengan nada tinggi, seakan perasaannya telah dipermainkan. Fahri terperanjat kaget dari sofa tempatnya duduk, dengan seorang wanita muda di sampingnya. Wanita itu tengah hamil besar, perutnya jelas menonjol. Senyum puas menghiasi wajahnya ketika melihat Khalisa berdiri di ambang pintu. "Siapa wanita itu mas? siapa!" Teriak khalisa air matanya sudah di pelupuk matanya "Tenang dulu sayang, Mas jelaskan ya." Ucap Fahri sambil memegang kedua bahu istrinya. “Jelasin apa?!” potong Khalisa dengan suara gemetar. Air matanya langsung jatuh. “Selama ini kamu di mana, Mas? Selama ini aku nunggu, aku percaya sama omonganmu… ternyata kamu ada di sini, dengan dia?” Bentak khalisa sambil menunjuk wanita yang sedang santai melihat tontonan gratis di depannya, buat Nayla pertengkaran khalisa dan Fahri merupakan awal yang baik untuk hubungannya dengan Fahri. Nayla mengelus perut buncitnya dengan tatapan menantang. “Jadi ini istri kamu, ya, Mas? Cantik sih, tapi kasihan… sampai sekarang nggak bisa kasih anak.” Ucap Nayla, seringai dibibirnya membuat darah khalisa mendidih. Khalisa menoleh ke Fahri, matanya merah. “Mas… dia siapa kamu? Kenapa dia bisa bicara kayak gitu?” Teriak khalisa dia tidak bisa lagi sabar menghadapi Fahri. Fahri menunduk, wajahnya penuh dosa. “Dia… Nayla. Dan… dia hamil anakku.” Ucapnya sambil menunduk. Dunia Khalisa runtuh seketika. Lututnya goyah, tubuhnya hampir jatuh kalau tidak berpegangan pada kursi. “Jadi… selama ini… kamu selingkuh?” Bu Laila, ibu mertua yang selama ini Khalisa hormati, tiba-tiba bicara. “Khalisa… kamu jangan salahin Fahri. Dia laki-laki. Wajar kalau dia butuh keturunan. Kamu sudah tiga tahun menikah, tapi belum bisa kasih dia anak.” “Bu?!” suara Khalisa tercekat, wajahnya pucat. “Saya ini istrinya, Bu! Saya setia, saya percaya sama Fahri, meski dia sibuk kerja, meski dia jarang pulang. Dan sekarang… Ibu malah bela dia?” Bu Laila mendengus. “Kamu baik, Khalisa. Tapi keluarga butuh penerus. Nayla bisa kasih itu. Dia sebentar lagi lahiran. Kami senang akhirnya punya cucu.” Khalisa menutup mulutnya, air matanya jatuh semakin deras. “Astaghfirullah… jadi semua ini… Ibu tahu? Ibu mendukung mereka berselingkuh?” Nayla tersenyum miring, suaranya tajam. "Kamu ini kasihan, Khalisa. Sudah yatim piatu, nggak punya siapa-siapa, sekarang ditinggal suami juga. Coba lihat diri kamu. Kamu pikir cukup hanya dengan setia? Nyatanya Fahri tetap milih aku, karena aku tidak mandul!” “Cukup, Nayla!” bentak Fahri, tapi suaranya lemah. Ia menoleh ke istrinya. “Lis, aku salah… tapi aku akan bertanggung jawab. Aku tetap sayang kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu.” Khalisa menatapnya dengan sorot mata penuh luka. “Sayang aku? Masih berani bilang begitu setelah aku lihat sendiri kamu duduk manis sama dia… dengan anakmu di perutnya?!” “Lis, dengar aku dulu—” “Tidak, Mas!” suara Khalisa pecah. “Aku nggak butuh penjelasan. Aku nggak butuh tanggung jawabmu yang setengah hati. Yang kamu butuhkan jelas dia, bukan aku. Dan yang keluarga kamu banggakan jelas bayi itu, bukan aku. Jadi cukup! Aku sudah selesai!” Fahri mencoba mendekat, tapi Khalisa mundur. “Jangan sentuh aku!” bentaknya. Air matanya jatuh tak terbendung, dadanya sesak. Ia menoleh ke Bu Laila. “Terima kasih, Bu, sudah memperlakukan saya kayak orang asing. Mulai hari ini, anggap aja saya nggak pernah jadi menantu kalian.” Nayla tertawa kecil, penuh kemenangan. “Bagus. Lebih cepat kamu sadar, lebih baik.” Khalisa menatapnya tajam. “Jangan terlalu percaya diri. Hidup ini berputar. Kamu boleh ketawa sekarang, tapi lihat saja nanti. Aku mungkin jatuh, tapi aku bukan perempuan lemah. Aku akan bangkit. Dan saat aku berdiri… kalian semua bakal lihat, aku yang akan menghancurkan kalian!”Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara
Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek
Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke
keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.